Sejarah Tukang Becak, Penyebab Ledakan Urbanisasi Jawa Tahun 1950-1970 - WisataHits
Yogyakarta

Sejarah Tukang Becak, Penyebab Ledakan Urbanisasi Jawa Tahun 1950-1970

Kisah para tukang becak tentu menjadi catatan sejarah yang unik dan langka. Ini tidak mengarah pada banyak referensi tentang sejarah transportasi umum tradisional.

Sebagai salah satu bentuk transportasi umum, becak juga menjadi tanda peralihan atau perpindahan mobilitas penduduk sipil dari menggunakan tenaga hewan ke tenaga manusia.

Meski tampaknya mengalami kemunduran, sejarah Indonesia menunjukkan bahwa tukang becak di perkotaan Jawa menjadi inspirasi bagi masyarakat pedesaan untuk bekerja seperti mereka.

Fenomena sosial ini kemudian menyebabkan laju urbanisasi meningkat di Jawa, seperti di Yogyakarta, Surabaya, Semarang dan sebagainya.

Peningkatan urbanisasi masyarakat pedesaan ke perkotaan Jawa untuk menjadi tukang becak juga terus meningkat, memuncak pada 1950-an-1970-an.

Pembahasan menarik kali ini penulis ulangi dalam kaitannya dengan dinamika sejarah tukang becak di perkotaan Jawa dari tahun 1950-1970.

Pengemudi becak merupakan profesi yang berkontribusi dalam kegiatan sosial dan khususnya mendukung kebutuhan akses mobilitas bagi masyarakat perkotaan.

Kisah tukang becak yang lahir dari kehidupan ekonomi transisi

Beberapa pengamat sejarah tata kota percaya bahwa kisah pengendara becak pada awalnya populer di kalangan penduduk kota karena transisi ekonomi.

Hal ini sejalan dengan era transisi ekonomi masyarakat perkotaan di Indonesia dari tahun 1950 hingga 1970 yang terus meningkat setiap tahunnya.

Meningkatnya transisi ekonomi dari kemiskinan ke kesejahteraan masyarakat di kota membuat masyarakat pedesaan di sana mencoba peruntungan.

Baca juga: Kehidupan Tionghoa di Batavia, Pendirian Arak hingga Pabrik Gula

Mereka menjual segala sesuatu di perkotaan seperti gandum di desa, ternak di desa, bahkan menjual tenaga kerja seperti buruh bangunan dan pengendara sepeda.

Karena meningkatnya kebutuhan mobilitas menggunakan angkutan umum di perkotaan, becak menjadi alternatif kendaraan yang murah untuk digunakan saat pergi ke pasar atau ke kantor.

Tingginya konsumen kendaraan becak tradisional membuat para tukang becak ini sukses hidup di perkotaan. Ketika mereka pulang ke rumah, mereka sering mengajari kerabat desa mereka untuk bekerja sebagai pengendara sepeda.

Ini pertama kalinya urbanisasi desa menjungkirbalikkan cara pandang sosial kota yang merupakan pusat pemerintahan dan desa sebagai pusat tenaga kerja. Penduduk desa tertarik ke kota karena merupakan pusat pencari kerja.

Becak, angkutan umum kelas menengah ke bawah

Kisah tukang becak belum diketahui pasti kapan muncul di Indonesia. Namun, sebagian sejarawan meyakini bahwa profesi ini sudah ada sejak orang Tionghoa pertama kali datang ke Nusantara.

Namun keberadaan tukang becak sepeda sempat populer di Indonesia pada tahun 1940-an atau setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945-an.

Menurut Rimsky Judisseno dalam bukunya yang berjudul “Aktivitas dan Kompleksitas Pariwisata: Gambaran Umum Kebijakan Pariwisata’ (Judisseno, 2017: 244) Kata becak berasal dari bahasa Cina hokkien, yang berarti ‘kendaraan kaki’.

Kendaraan ini berasal dari Jepang, yang kemudian diambil alih oleh orang Cina sejak tahun 1869 dan seterusnya. Dalam perkembangannya, Becak menjadi lambang kendaraan bagi kalangan menengah ke bawah.

Artinya kendaraan becak sangat diminati oleh masyarakat awam. Sedangkan kaum bangsawan di China memilih kereta kuda atau mobil untuk bepergian.

Namun, di Indonesia, becak tidak mengenal kelas penumpang. Karena beberapa tokoh penting di Indonesia, seperti B. Kelompok bangsawan Jawa terbiasa dan merasa nyaman dengan kendaraan klasik saat bepergian untuk membawanya ke pasar, ke kantor atau ke stasiun kereta api.

Awalnya digambar oleh orang-orang dari depan

Jika kendaraan becak saat ini umumnya dikemudikan dari belakang, Rimsky mengatakan hal itu berbeda dengan awal kedatangan becak ini dari Jepang. Ternyata becak harus ditarik dari depan menggunakan tenaga manusia.

Baca juga: Gaya hidup anak muda tahun 1950-an, glamor dan imitasi orang barat

Selain di Jepang, di Indonesia sendiri cara menarik becak dengan cara ini terjadi di Makassar.

Setelah ada di Makassar, becak garis depan tenaga manusia menyebar ke Batavia pada tahun 1930.

Di Batavia sendiri, para pengendara becak saat itu berasal dari kalangan Tionghoa. Mereka biasanya memiliki rambut dengan ekor kuda panjang di belakangnya.

Profesi yang dipraktikkan oleh orang Tionghoa di Batavia ini menunjukkan bahwa becak berasal dari Jepang. Kemudian diadopsi oleh orang Cina.

Keberadaan Becak di Perkotaan

Popularitas becak di masyarakat perkotaan didorong oleh sulitnya mencari bahan bakar setelah Perang Dunia II, atau krisis bahan bakar, khususnya bensin.

Oleh karena itu, banyak orang yang memiliki kendaraan seperti sepeda motor, mobil, truk, bus, dll berhenti beroperasi dan memilih alternatif menggunakan becak untuk bepergian.

Dari sinilah kesuksesan para pengendara becak di perkotaan mulai muncul. Bahkan pada tahun 1956 ada seorang tukang becak yang membuka pabrik pembuatan becak.

Keberhasilan tersebut, didorong oleh kelangkaan minyak pemanas, terutama bensin, mendorong penduduk pedesaan untuk melakukan urbanisasi ke daerah perkotaan.

Anda ingin sukses meskipun menjadi pengemudi becak. Pekerjaan tukang becak saat itu sangat menjanjikan dan mampu menghidupi keluarganya secara finansial.

Yogyakarta, kota di Jawa yang bergantung pada Becak

Yogyakarta merupakan salah satu kota besar di pulau Jawa yang sebagian besar penduduknya mengandalkan penggunaan transportasi umum khususnya becak.

Becak sepeda tidak hanya digunakan sebagai angkutan umum di Yogyakarta, tetapi juga sering digunakan sebagai kendaraan pengantaran. Dalam hal ini, becak digunakan untuk pengiriman jarak pendek barang-barang manufaktur dalam negeri seperti batik.

Baca juga: Kisah Urang Baduy, penjaga ekosistem pedalaman Banten

Akhirnya, karena peran multifungsi becak di Yogyakarta, pemerintah daerah Yogyakarta mengeluarkan arahan pada tahun 1960.

Kebijakan tersebut adalah menjadikan becak sebagai angkutan umum yang terintegrasi dengan angkutan perkotaan, termasuk angkutan wisata.

Namun, pada dekade berikutnya, tepatnya tahun 1970, penggunaan becak yang populer di kalangan masyarakat Yogyakarta mulai menurun.

Hal ini sejalan dengan munculnya produk sepeda motor roda 2 dengan performa mesin yang irit bahan bakar. Selain itu, harga sepeda motor roda 2 yang terjangkau membuat masyarakat Yogyakarta memilih kendaraan bermotor.

Selain itu, lahirlah beberapa angkutan umum yang memadai seperti bus kota, dll. Tarifnya relatif lebih murah dibandingkan tarif becak.

Pernyataan tersebut diberi judul Eka Rahayu Manggasari dalam Jurnal Lembaran Sejarah UGM:Kota Sebelum Mesin: Yogyakarta Periode 1950-an-1970-an“, (Manggasari, 2019:131). (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)

Source: www.harapanrakyat.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button