SCDP berusaha mengembalikan kejayaan Kakao di Jawa - WisataHits
Jawa Timur

SCDP berusaha mengembalikan kejayaan Kakao di Jawa

SCDP berusaha mengembalikan kejayaan Kakao di Jawa

Surabaya (beritajatim.com) – Pengembalian kakao ke Jawa tampaknya merupakan upaya Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur bekerjasama dengan Uni Eropa untuk mengembangkan petani kakao di lima kabupaten di Jawa Timur.

Melalui Sustainability Cacao Development Program (SCDP) dengan luas 10 hektar per kecamatan. Melalui program ini, GPEI Jawa Timur memberikan dukungan benih bermutu, pendampingan budidaya dan perawatan tanaman kakao, serta penyuluhan pasca panen dengan membentuk satuan tugas (Satgas) yang melibatkan dinas perkebunan di masing-masing kabupaten.

“Harapan saya tidak muluk-muluk, hanya mengembalikan tanaman kakao yang sebelumnya ditanam petani di lahan milik mereka. Tujuannya jelas agar produksi kakao nasional tidak semakin menurun mengingat banyaknya alih fungsi lahan yang dilakukan tidak hanya oleh petani tetapi juga oleh perusahaan perkebunan besar,” kata Ketua GPEI Jatim Isdarmawan Asrikan saat mengunjungi kelompok tani di 2 kabupaten yaitu Malang dan Blitar.

Berjalan sejak tahun 2016, program ini dikembangkan oleh Kabupaten Bondowoso, Malang, Blitar, Trenggalek dan Pacitan. Alhasil, kelompok tani binaan kembali merasakan dampak ekonomi dari tanaman yang pernah mengukuhkan Indonesia di posisi 3 besar eksportir kakao dunia.

Program SCDP secara unik melibatkan lebih banyak petani muda. Jadi tidak hanya untuk melestarikan kejayaan kakao di Pulau Jawa, tempat kakao dikembangkan di Salatiga pada zaman Belanda, tetapi juga untuk melestarikan semangat para penerus bangsa.

“Kami memahami bahwa ketika perkebunan kakao dikelola oleh petani yang lebih tua, yang lebih muda akan lari ke kota dan bekerja di sektor lain. Padahal, kakao membutuhkan petani muda yang mau berinovasi dan memajukan teknologi pertaniannya. Hanya kakao yang bisa menghasilkan produksi maksimal,” kata Isdarmawan.

Data Dinas Perkebunan Jawa Timur menunjukkan luas perkebunan kakao yang ada di Jawa Timur pada tahun 2021 adalah 57.020 hektar, terdiri dari perkebunan rakyat 40.184 hektar, perkebunan negara 12.229 hektar, dan perkebunan swasta 4.608 hektar. Sedangkan produksi tahun 2021 sebesar 34.988,85 ton (perkebunan rakyat 20.558,10 ton, perkebunan besar negara 11.201,9 ton, dan perkebunan besar swasta 3.211,75 ton).

Prospek kakao rakyat sangat baik dibandingkan dengan perkebunan kakao skala besar yang dikelola perusahaan, mengingat petani kakao cenderung lebih intensif menanam kakao karena milik sendiri. Luas perkebunan kakao besar di Jawa Timur belakangan ini terus menyusut.

“Perkebunan kakao besar tidak layak karena membutuhkan banyak pekerja dengan upah tinggi, sehingga biaya produksi (HPP) tinggi. Akhirnya tidak mudah mencari tenaga kerja karena anak muda (pekerja produktif) saat ini lebih tertarik bekerja di bidang manufaktur, jasa dan perdagangan,” ujarnya.

Isdarmawan Asrikan mengatakan budidaya kakao dapat meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan karena buah kakao dapat dipanen dua kali sebulan dan penjualannya mudah karena permintaan bahan baku biji kakao yang besar di industri pengolahan bahan baku. Ada banyak pedagang di sentra kakao kota dengan harga sekitar Rp 25.000/kg untuk biji kering tanpa fermentasi dan yang sudah difermentasi sekitar Rp 30.000-35.000/kg.

Menurut dia, ada sejumlah industri pengolahan kakao di Jawa Timur, termasuk dua perusahaan besar yang memindahkan pabrik dari Malaysia ke Gresik, yakni PT Cargill Indonesia dan PT JeBe Koko yang membutuhkan ribuan ton biji kakao per bulan.

“Produsen kakao di Jawa Timur lebih banyak mengimpor bahan baku biji kakao dari Afrika dan Indonesia Timur karena kurangnya pasokan dari Jawa. Potensi lahan kakao masyarakat Jawa Timur cukup besar, namun selama ini belum dioptimalkan, makanya kami bekerja sama dengan Uni Eropa untuk mengembangkannya,” ujarnya.

Lalu bagaimana dengan program SCDP setelah program berakhir?

Sukardjan dan Wahyu, petani muda asal Sukodono, Dampit, Kabupaten Malang, mengaku banyak terbantu dari segi ekonomi. Selama ini ampas kopi yang ditinggalkan para orang tua sudah tidak produktif lagi.

“Awalnya putus asa saja, tapi setelah panen ternyata sangat bagus. Karena kami juga mendapatkan bibit dari varietas unggul saat ini. Yaitu dari Sulawesi,” jelas Sukardjan.

Sukardjan, bersama 4 petani muda lainnya, juga mendapatkan pelatihan budidaya kakao dan dukungan benih dan pupuk, serta pendampingan rutin.

“Ternyata kita punya banyak ilmu pertanian. Salah satunya cara pembuahan yang diajarkan orang tua kita secara turun temurun, ternyata salah. Dan bagi petani seperti kami, ini adalah ilmu yang mahal karena kami sekarang dapat mengukur produktivitas tanaman kami.”

Muhammad Hamim, Ketua Kelompok Tani Kakao Tirtomulyo, Kabupaten Blitar, mengakui saat ini terjadi kelangkaan lahan. Para petani kini diperhatikan oleh pemerintah daerah, yang memberikan banyak dukungan untuk pengembangan perkebunan kakao mereka.

“Sebelumnya, tidak ada seorang pun di desa kami yang melihat kami. Tapi jika produksi kakao kita bisa mencapai 2 ton per hektar, banyak orang yang akan mendukung kita. Dan demplot kami banyak dikunjungi oleh petani dari luar Jawa. Jadi kami ingin mengembangkan desa ini menjadi desa wisata kakao,” kata Hamim.

Hamim berharap bantuan seperti SCDP juga bisa ditiru oleh pihak terkait di Blitar. Sehingga kakao kembali mendapat penghargaan.[rea]

Source: beritajatim.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button