"Pengorbanan" Emosi Petani Jeruk | Radar Malang Online - WisataHits
Jawa Timur

“Pengorbanan” Emosi Petani Jeruk | Radar Malang Online

Harga jeruk anjlok. Banyak pedagang improvisasi juga muncul di pinggir jalan. Mereka memasang label harga yang sangat murah dan mencolok pada papan kayu, karton, dan kertas. Ada yang dijual Rp 10.000 per kilogram, Rp 15.000 per 2 kg, bahkan ada yang Rp 5.000 per kilogram. Itu tergantung pada kualitas dan ukuran jeruk yang mereka jual.

Di tingkat petani, harganya lebih mengenaskan. Misalnya, apa yang dirasakan petani jeruk di Kota Batu. Para tengkulak sudah berani mematok harga Rp 3.000 per kilogram. Hal ini juga berlaku untuk jeruk yang berkualitas baik dan berukuran besar. Ini benar-benar murah.

Mengapa harganya begitu murah? Jawaban para petani sangat kompak. Karena panen bersama. Pasokan atau suplai jeruk berlebihan sedangkan permintaan konsumen tidak meningkat. Karena harganya yang sangat murah, petani sangat mengandalkan panen jeruk di lahan mereka. Kemungkinan hasil penjualan tidak dapat menutupi biaya panen. Baik untuk membayar pemetik jeruk maupun biaya transportasi ke tempat-tempat yang bisa dijangkau oleh pengepul.

Kamis (7/8), saya melintasi rangkaian kebun jeruk di Desa Bumiaji, Kota Batu, menuju kawasan wisata Bukit Jengkoang. Di beberapa taman Anda dapat melihat pohon dengan jeruk besar yang benar-benar matang. Warnanya oranye mencolok. Ini benar-benar menggoda. Terasa seperti air liur memberontak, mencoba keluar dari sudut bibir Anda.

Menurut keluarga petani, jeruk seharusnya sudah dipetik beberapa hari sebelumnya. Jika Kamis tidak dipetik, itu akan jatuh beberapa hari kemudian. Bahkan jika itu masih tergantung di pohon, itu sudah terlalu matang. Masih enak dimakan langsung. Namun, tidak mungkin untuk dijual ke kolektor. Sayang sekali, tapi jeruknya sangat enak.

“Untungnya kami adalah satu keluarga besar. Jeruk di kebun bisa dipanen dengan mengerahkan banyak kerabat dan kerabat. Jika orang membayar untuk memetik jeruk, mereka mungkin tidak membayar cukup,” kata seorang keluarga petani jeruk di desa tersebut.

Kondisi serupa dialami petani cabai. Komoditas yang justru sering menyumbang inflasi, seringkali menimbulkan masalah bagi petani. Saat musim tanam baru tiba, harga cabai kerap meroket. Yang busuk juga dijual. Namun, saat musim panen, harga turun ke titik terendah.

Seperti yang menjadi berita setiap tahun, selalu ada petani cabai yang membiarkan hasil panennya tidak dipanen. Busuk dan biarkan kering. Bahkan ada yang sampai emosi dan menebang semua pohon cabai mereka karena harga panen yang terlalu rendah.

Masalah utama dari permasalahan tersebut adalah pengelolaan pangan dan pertanian pemerintah belum optimal. Orang sering malas menanam komoditas yang nilai ecerannya sangat menjanjikan. Anda tidak melihat kapasitas pasar yang akan diserap oleh produk tersebut. Jadi, secara berkelompok, mereka menanam suatu komoditas dengan harapan mendapat untung besar pada saat panen.

Hal ini juga terjadi pada petani umbi porang. Empat atau lima tahun lalu mereka tergoda dengan kisah sukses petani porang yang bisa berpenghasilan miliaran rupiah. Sekarang jumlah petani porang sangat banyak. Harga produk pertanian tidak setinggi dulu. Bahkan, banyak yang mengeluh dan merasa “tertipu” untuk ikut budidaya porang.

Tentu saja, kita tidak bisa mengharapkan petani bisa menghitung sendiri kapasitas pasarnya untuk menampung produk yang akan mereka tanam. Kemampuan seperti itu hanya ada di institusi yang cukup besar. Yang paling logis yang memiliki kemampuan dan kewenangan tersebut adalah pemerintah melalui badan-badan terkait. Ini mungkin memiliki nama yang berbeda di setiap provinsi, kabupaten atau kota.
Petani tentu akan sangat senang jika mendapat jaminan bahwa komoditas yang mereka tanam akan terserap pasar pada saat panen raya. Dengan harga yang bagus. Ini memberikan margin yang besar di atas biaya operasional.

Untuk mencapai kondisi tersebut, pemerintah perlu menghitung kapasitas produksi komoditas pertanian di wilayahnya. Juga kapasitas pasar yang bisa ditampungnya. Ketika sensus ditemukan, jumlah petani dan lahan yang tersedia dipetakan. Kemudian mereka diinstruksikan untuk menanam bahan baku yang tepat pada jadwal yang tepat. Sehingga tidak ada lagi oversupply pada saat panen raya yang menyebabkan harga turun bebas.

Teknologi digital sudah sangat maju. Tidak sulit bagi pemerintah untuk membuat perhitungan seperti itu. Termasuk bersosialisasi dengan petani, yang pada zaman dahulu biasa dikenal dengan istilah “penyuluhan”. Sudah saatnya pemerintah mendorong petani menjadi ‘petani pintar’. Atau membuat program “smart farming” sekaligus yang tidak hanya membuat petani cerdas dalam menghasilkan produk yang berkualitas. Namun mereka juga memahami bahwa komoditas yang mereka tanam dapat diserap pasar sepenuhnya pada saat panen raya.

Agar apa yang dirasakan petani jeruk pada festival kurban ini tidak terulang di kemudian hari. Sehingga mereka benar-benar dapat mengorbankan hewan sebagai bentuk “ketaatan” kepada Sang Pencipta. Tidak ada perasaan “korban” karena kerja keras mereka selama berbulan-bulan tidak membuahkan hasil sama sekali.

Source: radarmalang.jawapos.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button