"Energi Hening", Yogyakarta di tengah pusaran perdagangan, pariwisata dan kelangkaan sampah di Yogya - WisataHits
Yogyakarta

“Energi Hening”, Yogyakarta di tengah pusaran perdagangan, pariwisata dan kelangkaan sampah di Yogya

Gudeg.net – “Sebenarnya dengan melihat pengelolaan sampah, kita bisa melihat seberapa beradab sebuah kota atau daerah. Tidak cukup dengan pengembangan, penambahan objek strategis, tetapi juga pengelolaan sisa hasil,” kata seniman Gunadi dalam perbincangan santai dengan Gudeg.net, Sabtu sore (9/11).

seni daur ulangMenjadikan seni menjadi karya seni melalui pemanfaatan sampah sudah menjadi bacaan banyak seniman ketika sampah plastik menjadi masalah serius bagi lingkungan. Berdasarkan penelitian, sebagian besar karya Gunadi berawal dari penelitian skala kecil yang berhubungan dengan realitas lingkungan dengan mengangkat isu-isu lingkungan dan sosial. Sampah rumah tangga salah satunya, terutama kantong plastik, kemasan plastik yang dilapisi aluminium foil, tetapi juga styrofoam.

“Bisa dibilang (kota) Yogyakarta sudah lama darurat sampah. Hal ini terlihat dari start point hingga akhir start sampah. Misalnya, pasar di kota ini, menurut saya, adalah tempat salah satu tumpukan sampah terbesar mulai bergulir bersama dengan objek wisata, perkantoran, dan sampah rumah tangga, ”kata Gunadi.

Dengan luas wilayah 3.250 ha berdasarkan data BPS tahun 2020 kepadatan penduduk Kota Yogyakarta adalah 13.413 jiwa/km2. Dibandingkan dengan empat kabupaten di wilayah Yogyakarta yang memiliki kepadatan penduduk kurang dari 2.200 jiwa/km2, Kota Yogyakarta membutuhkan daya dukung ekologi dari wilayah yang berdekatan. Sebagai kota yang mendasarkan perekonomiannya pada sektor komersial dan pariwisata, mengakomodasi wisatawan dan pengunjung lainnya adalah suatu keharusan.

Hingga Juli 2022, jumlah wisatawan di Kota Yogyakarta mencapai 3,9 juta, jumlah tersebut masih di bawah angka saat kondisi tidak terdampak pandemi. Terdapat 12 pasar tradisional dan 7 pasar modern sedangkan jumlah hotel mencapai 113. Permasalahan perkotaan Kota Yogyakarta masih terkait dengan pertumbuhan dan kepadatan penduduk, sampah perkotaan dan kesehatan masyarakat.

Dengan kondisi TPA Piyungan yang tidak mampu menyerap lebih banyak sampah, pengelolaan sampah di wilayah Yogyakarta telah mencapai status darurat sampah. Data Bappeda DIY menyebutkan, pada 2021 setidaknya ada 58,2% sampah yang belum terolah, atau setara dengan jumlah sampah yang mencapai 1.005,43 ton/hari.

“Permasalahan persampahan perkotaan di Kota Yogyakarta selama ini adalah belum adanya regulasi atau aturan yang secara khusus tepat dan dapat dipraktikkan secara masif di masyarakat. Ini tentang niat baik yang dilaksanakan dengan baik dan serius. Dengan kata lain, ada semacam kemalasan dari para pengelola daerah terkait masalah sampah perkotaan.” Kritik Gunadi.

Gunadi mengatakan sampah plastik masih menjadi masalah utama penanganan sampah di wilayah Yogyakarta. Meskipun TPA telah dibuat, namun serapan sampah plastik kurang dari 1% dari sampah plastik yang ada berupa botol plastik atau kemasan plastik yang dilapisi aluminium foil dan sejenisnya.

Dijelaskannya, dari segi penyerapan, sampah yang ada merupakan penyerapan nilai ekonomi dari sampah itu sendiri yang diukur dengan harga jual di pasaran, sedangkan bagian utama dari sampah itu sendiri masih didominasi oleh sampah organik dan non organik. . Keengganan untuk mengambilnya juga terkendala oleh banyak hal mulai dari regulasi, keterampilan mengolah hingga hadirnya pihak “judi”.

“Kalau bisa dibilang masalah utamanya adalah ketidaktahuan akan masalah tersebut, sedangkan yang mengetahui atau pernah menanganinya tidak cukup didukung. Masalah sampah perkotaan di kota Yogyakarta akhirnya hanya menjadi opini keengganan untuk ditangani lebih lanjut.” Tambah Gunadi

Sebagai bentuk pelayanan publik, pengelolaan sampah pada dasarnya menjadi domain dan tanggung jawab pemerintah. Namun masih banyak kendala dalam pengelolaan sampah, mulai dari masalah teknis, infrastruktur, sumber daya, aspek hukum, tata kelola dan kerangka kelembagaan hingga partisipasi masyarakat dalam kaitannya dengan kebiasaan penanganan sampah rumah tangga, menjadikan pengelolaan sampah sebagai tugas penting semua lapisan, baik masyarakat maupun masyarakat dan juga pemerintah.

“Pemilahan dan pengolahan yang digalakkan selama ini bukanlah solusi yang ideal, karena masih akan ada residu yang tidak diolah, apalagi jika dikaitkan dengan nilai ekonomi, penyerapan maksimal dengan mendaur ulang sampah ke dalam siklus pembangkitannya. Saya pikir dapat membantu sedikit, tetapi dengan banyak dukungan dari semua orang yang terlibat. Kalau bicara sampah itu seperti arisan, semua orang pasti akan berkontribusi dengan apa yang ada,” kata Gunadi

Sampah adalah energi masa depan

Agustus 2018, Komunitas Sakatoya mengadakan pertunjukan teater ekologis sebagai presentasi bacaan dramatis di gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjaseomantri (PKKH)-UGM bertajuk “Octagon Syndrome” dengan plot panggung menggunakan botol plastik bekas yang sudah dibersihkan. Menempatkan penonton bersama di atas panggung membuat penampilan Octagon Syndrome menjadi lebih dramatis karena penonton menyaksikannya dari dekat bahkan menjadi bagian dari pertunjukan itu sendiri. Dan realitas kemasan plastik saat ini tampaknya menjadi kebutuhan dalam banyak aplikasi sehari-hari.

Disadari atau tidak, ketika kemasan plastik menjadi sampah di alam, itu merupakan ancaman nyata mengingat berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk terurai secara alami. Sampah plastik membutuhkan waktu yang bervariasi untuk terurai di alam. Kantong plastik (retak, bungkus plastik) membutuhkan waktu antara 10 dan 12 tahun untuk didaur ulang.

Pada Oktober 2018, mereka berpameran bersama lima seniman Gunadi di Bentara Budaya Yogyakarta bertajuk “Hip Hip Hura Hura”. Saat itu Gunadi menampilkan karya dua dimensi dengan teknik dan media yang berbeda. Dalam karya tiga dimensi yang berjudul “angka” Gunadi memasang kabel pada botol lem, tutup plastik botol minuman, untuk membentuk figur burung temporer “Fragmen dari seri Semutterbuat dari plastik tutup botol minum, tombol keyboard PC (komputer pribadi) ke sosok semut.

Gunadi mengatakan sebagian besar sampah plastik adalah bungkus makanan kecil, bungkus/sobek plastik dan bungkus plastik berlapis alumunium foil tidak terangkut oleh TPA karena tidak memiliki nilai ekonomis dan hanya berakhir dan menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

“Masalahnya adalah apa yang ada di bawah 1 meter di tumpukan. Hampir sampah plastik tetap utuh dan tidak terurai. Belum ada penanganan terpadu terhadap sampah plastik. Jalan pintas biasanya dibakar, yang menimbulkan masalah pencemaran udara baru yang tidak kalah berbahayanya dengan pembakaran sampah plastik,” kata Gunadi.

Gunadi sudah lama mengetahui hal ini dan bereksperimen mengolah sampah kemasan plastik menjadi karya dua dimensi menggunakan teknik ini ukiran panas yang menjadi ciri khas karyanya, membuat tumpukan sampah kemasan plastik (lapisan) untuk kemudian menjadi media kerja dengan proses penyolderan untuk membentuk desain tertentu dan mendapatkan warna dari hasil ukiran itu.

“Setidaknya Lima” lapisan plastik sampah. Makin lapisan, warna yang dihasilkan akan lebih acak dan menarik. Semua jenis sampah plastik bisa digunakan, tapi saya kebanyakan menggunakan plastik dalam bentuk foil dan bukan kemasan sekali pakai. Kuncinya adalah menyesuaikan suhu dengan jenis plastiknya,” kata Gunadi.

Dalam eksekusinya, Gunadi lebih banyak bermain dengan bentuk dan kontur. Gunadi mengatakan warna yang muncul bisa berasal dari warna kemasan atau panas dari solder. Suhu mempengaruhi kecepatan leleh antara lapisan serta campuran warna bahan, yang melebihi harapan. Dalam hal ini, Gunadi masih menyimpan detail pekerjaan tersebut.

Pada Solo Artworks Exhibition (SAE) periode II edisi kelima yang diadakan di Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, Gunadi mempresentasikan sebuah karya berjudul “Silent Energy” yang dibuat dengan citra sebuah lukisan dalam mediumnya. ukiran panas pada sampah plastik dengan format 48 cm x 35 cm.

“Dalam energi diam Saya menambahkan kelebihan kawat logam tembaga yang dipelintir dan dibentuk menjadi cincin cincin penjepit. cincin penjepit menghasilkan energi pancaran dari proses pengepresan pada saat pembuatannya, yang disebut piezoelektrik. Secara umum, tensor ring dapat meredam radiasi gelombang elektromagnetik dari perangkat elektronik (TV, gadget, WiFi).” jelas Gunadi

Saat ini Gunadi sedang mengembangkan perhiasan Tensor dengan menggunakan besi tua, kawat tembaga berupa cincin, jimat/liontin dan memasukkannya ke dalam karyanya juga. ukiran panas-miliknya.

“Keengganan untuk membuang sampah pada tempatnya sudah terbentuk sejak awal. Kita punya banyak pakar, punya banyak kampus, dan/atau punya banyak ego yang mampu mengurainya. Masalahnya adalah birokrasi dan bottom line tidak memiliki kekuatan yang cukup.” Tambah Gunadi.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Pemerintah Daerah Yogyakarta menemukan, pada 2020, rata-rata timbulan sampah harian di TPA Piyungan adalah 630 ton. TPA Piyungan dengan luas 12,5 ha telah menjadi sasaran kelebihan muatan sejak tahun 2012. Pemerintah DIY telah mengoptimalkan TPA Piyungan dapat digunakan pada tahun 2023.

DLHK DIY mengatakan selain kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah, teknik operasional pemerintah dalam pengelolaan sampah juga kurang optimal. Sarana dan prasarana pengelolaan sampah masih belum memadai dibandingkan dengan jumlah sampah yang dihasilkan di perkotaan DIY.

“Pengolahan limbahnya menurut saya cukup menyesuaikan metodenya uh atau perayaan Jawa. Dengan cara rewang atau gotong royong bersama, apalagi kalau membicarakan sampah itu seperti arisan, semua orang pasti akan menambah apa yang ada. Hal ini juga berlaku pada pengelolaan pariwisata, salah satu aset yang terus diperkuat dari tahun ke tahun, bersama dengan kawasan penghasil sampah lainnya. Semudah datang bersih dan meninggalkan tempat bersih.” jelas Gunadi

Gunadi menambahkan, limbah yang dihasilkan industri pariwisata sangat beragam, mulai dari limbah kemasan yang terlihat untuk berbagai kebutuhan wisata hingga limbah yang tidak terlihat mengalir ke saluran limbah cair. Kebingungan masih merajalela ketika “sampah” hanya dilihat dari apa yang tampak dalam bentuk benda padat, sedangkan benda cair bukan karena termasuk dalam ranah sampah.

“Potensi ekonomi pengelolaan sampah sangat besar dan bisa menyerap banyak tenaga kerja. Itu nyata. Pendapatan dapat dihasilkan dari sampah organik dan non-organik melalui penjualan langsung. Pemrosesan lanjutan dapat menghasilkan minyak, pupuk, bahan lanjutan untuk produksi furnitur, belum lagi menambang logam mulia untuk skrap elektronik. Sampah adalah energi masa depan,” pungkas Gunadi.

Single upcycle art berjudul “Silent Energy” karya Gunadi akan dipamerkan di KuWait Studio di UWM Pojok Ngasem hingga 15 September 2022.

Source: gudeg.net

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button