Awal Perkembangan Akulturasi Sino-Jawa di Semarang - Solopos.com - WisataHits
Jawa Tengah

Awal Perkembangan Akulturasi Sino-Jawa di Semarang – Solopos.com

Awal Perkembangan Akulturasi Sino-Jawa di Semarang – Solopos.com

SOLOPOS.COM – Warak Ngendog, akulturasi budaya dari kota Semarang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Nasional (WBTB). (Antara/Aji Styawan)

Solopos.com, SEMARANG — Proses akulturasi yang terjadi di Indonesia awalnya semua berawal dari perdagangan. Demikian pula akulturasi etnis Tionghoa yang berkembang di Semarang, Jawa Tengah.

Kawasan Mangkang, Semarang Barat, khususnya Kampung Ngaliyan, menjadi awal berkembangnya budaya masyarakat Tionghoa Semarang. Dahulu, Mangkang merupakan pusat kawasan industri dan pabrik yang mensuplai banyak kebutuhan seperti makanan, tekstil, logam dan kebutuhan sehari-hari.

Promosi Hyperlocal Tokopedia Meroket Penjualan Online Sebesar 147%

Dalam buku berjudul Kota Semarang dalam kenangan Oleh Jongie Tio, saat ini banyak etnis Tionghoa yang mulai masuk ke pedalaman dan mendirikan pemukiman, seperti di daerah Kranggan, Damaran, dan Petudungan. Etnis Tionghoa juga bercampur dengan penduduk asli di kota Semarang, seperti Jeruk Kingkit, Ambengan dan Pandean.

Beriklan dengan kami

Etnis Tionghoa ini begitu maju dalam bidang perdagangan sehingga tidak heran Belanda membutuhkannya untuk membeli gabah di pedalaman. Itupun pemerintah Belanda juga mengangkat kepala atau kepala etnis Tionghoa untuk urusan dagang, sehingga muncul julukan seperti Lauitenant of the Chinese, Hauptmann atau Major. Kapten orang Tionghoa yang terkenal saat itu adalah Tuan Kwee Kiauw, seorang saudagar terkenal, tepatnya pada tahun 1672.

Kemudian memasuki abad ke-17, menurut sebuah buku karya seorang warga Belanda, JH Tops, berjudul Oversich dari cerita Javanche, beberapa orang Tionghoa mendatangkan ahli bangunan dari Batavia untuk membangun rumah. Rumah itu dulunya hanya bambu dan anyaman, tetapi kemudian menjadi dinding tebal dengan finishing atapnya yang khas.

campuran

Atapnya berbentuk kotak dan juga sering disebut dengan kuda pelanae, tempat duduk atau pelana kuda di atap. Namun saat ini rumah-rumah tersebut mulai berkurang di kawasan pecinan seperti Pekojan, Gang Baru, Gang Besen, Gang Lombok dan sekitarnya.

Saat itu, etnis Tionghoa dan penduduk asli kota Semarang mulai berbaur. Selain itu, pada saat itu, beberapa pria etnis Tionghoa tidak diperbolehkan membawa istri mereka dari Tiongkok. Nah, dari sinilah muncul etnis Tionghoa yang merupakan keturunan penduduk asli kota Semarang. Tak heran jika saat itu beberapa wanita keturunan Tionghoa mulai memakai kebaya, konde (sanggul) dan kinang (daun sirih), seperti penduduk asli Semarang.

Beriklan dengan kami

Hal ini juga terjadi dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Banyak kata dari bahasa Cina digunakan dalam interaksi sehari-hari mereka. Seperti kata warna atau cet (cairan pewarna), berasal dari bahasa Hokkian ‘itu’. Lalu berkata sudutperapian untuk memasak yang terbuat dari tanah liat disebut dengan kata anglo menggantung rendah dan lainnya.

Anda juga tidak boleh melewatkan beberapa kuliner atau hidangan yang identik dengan etnis Tionghoa, seperti bakso, mie, dan tahu. Ada juga masakan seperti kue ku, bakpao, wedang tahu, wedang ronde, kue pia dan salah satu makanan khas kota semarang yang sudah terkenal yaitu lumpia. Kemudian makanan lainnya seperti pangsit, bihun, misoa, pangsit, kue moho, kue bolu dan lain-lain.

Beriklan dengan kami

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button