Wisata Ramah Bencana | BALIPOST.com - WisataHits
Jawa Timur

Wisata Ramah Bencana | BALIPOST.com

Wisata Ramah Bencana |  BALIPOST.com

Dewa Gde Satrya. (BP/Khusus)

Oleh Dewa Gde Satrya

Pada akhir tahun 2022, pemerintah akan mencabut kebijakan PPKM tersebut. Kebijakan ini diyakini akan semakin meningkatkan kemeriahan pariwisata. Di sisi lain, perhatian harus diberikan pada potensi dan risiko bencana di berbagai tempat tujuan di negara ini. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mengklasifikasikan jenis bencana, yaitu gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir, kekeringan, angin topan, gelombang pasang, kegagalan teknologi, kebakaran, aksi terorisme/sabotase, kerusuhan sosial. Kompleksitas penyebab bencana akibat fenomena alam dan ulah manusia.

Sebagai catatan positif, kesadaran akan bahaya dan manajemen bencana tumbuh dari hari ke hari di berbagai wilayah di negara ini. Karena bencana diperkirakan akan berulang, maka penanggulangan bencana berbentuk suatu siklus. Pada prinsipnya siklus ini terdiri dari pencegahan, penanggulangan, pencegahan, penyelamatan serta rehabilitasi dan rekonstruksi. Sering disebut sebagai mitigasi saja, tiga kegiatan pertama dilakukan sebelum bencana melanda. Mitigasi berarti upaya untuk meminimalkan dampak dari suatu bencana yang terjadi.

Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat memiliki peran masing-masing dalam kesiapsiagaan bencana, khususnya dalam mengantisipasi bencana di kawasan wisata. Pertama, pemerintah diwajibkan oleh BMKG dan pemerintah daerah untuk memberikan informasi yang cepat dan akurat mengenai potensi bencana di daerah tujuan wisata, yang kemudian menjadi acuan bagi wisatawan. Misalnya, gempa Cianjur November 2022 memunculkan sesar baru bernama Sesar Cugenang. Kepala BMKG Dwikorita menjelaskan, dampak sesar baru itu menyebabkan warga di 9 desa mengungsi karena kawasan yang mereka tempati tidak memungkinkan untuk dihuni. Kawasan di sepanjang Sesar Cugenang hanya diperuntukkan bagi daerah aliran sungai, kawasan pertanian dan konservasi alam, serta destinasi wisata luar ruang tanpa pembangunan permanen.

Sejalan dengan BMKG, Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif menerbitkan tren baru dalam industri pariwisata dalam menanggapi bencana di Cianjur dan Gunung Semeru. Namanya, wisata perlindungan, merepresentasikan wisata luar ruangan tanpa bangunan permanen, yang dapat memberikan keuntungan ekonomi dalam situasi normal dan dapat menjadi tempat berlindung sementara saat terjadi bencana. Fadjar Hutomo, staf ahli Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bidang manajemen krisis, menjelaskan ada dua proyek percontohan untuk pariwisata perlindungan di Indonesia, di desa wisata Sarongge sebagai perlindungan gempa Cianjur dan di Taman Langit Gunung Banyak Batu, Jawa Timur (Kompas.com , 12.02 .2022). Model bisnis pariwisata ini akan ditanamkan dua investor yaitu Juragan99 yang akan menghadirkan campervan dan bobobox yang akan menyediakan destinasi wisata Bobocabin di Taman Langit Gunung Banyak. Wisata outdoor diyakini akan menjadi unit bisnis yang berkembang, terutama untuk menarik pasar wisata di daerah yang dianggap rawan bencana.

Shelter tourism sejalan dengan transformasi konsep camping menjadi glamping memadukan unsur glamour dengan standar hotel bintang lima yang ditawarkan kepada para tamu. Dalam praktiknya, glamping juga memenuhi kebutuhan konsumen akan fasilitas dan kenyamanan layaknya rumah sendiri. Glamping didefinisikan sebagai jenis berkemah yang melebihi tingkat kenyamanan dan kemewahan berkemah tradisional. Pilihan tipe glamping seperti rumah pohon atau rumah pohon, tenda lengkap, akomodasi dengan bentuk unik seperti gelembung, kotak kaca, van lengkap, kabin, dan bungalow (Utami, 2020). Kedua, peran sektor korporasi, penanggulangan bencana alam merupakan rangkaian kegiatan yang berkesinambungan dan saling berhubungan. Penerapan manajemen bencana dalam suatu perusahaan dapat ditugaskan ke departemen khusus yang bertugas mengawasi praktik bisnis perusahaan agar memiliki jiwa pengendalian kerusakan dan dapat bertindak cepat jika terjadi bencana alam. Tindakan berdasarkan semangat reduksi hampir mirip dengan tugas penjaminan mutu sebelumnya.

Sayangnya, penanggulangan bencana masih belum dianggap serius sebagai bagian dari operasional bisnis. Kalaupun ada praktik penanggulangan bencana, penerapannya terbatas pada kepentingan internal perusahaan saja. Misalnya, di gedung perkantoran, penanggulangan bencana dirancang untuk mencegah dan memadamkan kebakaran. Manajemen bencana membuat perusahaan semakin ramah terhadap alam dan manusia. Dan ketika bencana alam melanda, bisnis dan komunitas garis depan dapat mengambil tindakan penyelamatan. Penanggulangan bencana dengan demikian merupakan upaya humanisasi karena diarahkan pada keselamatan alam dan manusia.

Ketiga, pengurangan risiko bencana juga membutuhkan peran aktif masyarakat. Perilaku masyarakat yang tidak memperhatikan kelestarian alam menjadi akar permasalahan bencana. Mulai dari tindakan sepele membuang sampah sembarangan hingga aspek serius penggundulan hutan adalah bukti keterlibatan masyarakat dalam penciptaan bencana alam. Ketika kita mengantisipasi datangnya bencana, kita semua perlu menyadari bahwa ada hubungan erat antara bencana dan perilaku kita. Padahal, sikap manusia yang salah hanyalah sebagian dari latar belakang bencana tersebut. Di Indonesia, bencana juga bisa terjadi karena faktor alam. Hal ini menjadi jelas saat terjadi bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara pada tahun 2004 lalu.

Selaku Kepala Laboratorium Seismologi Institut Teknologi Bandung, Dr. Nanang, potensi tsunami di Indonesia dinilai sangat tinggi. Sejak 1801, tak kurang dari 161 bencana tsunami terjadi di Indonesia. Bahkan, catatan tertua menyebutkan gelombang tsunami melanda Laut Banda pada tahun 1674. Catatan statistik ini menjadi salah satu dasar empiris seberapa besar potensi bencana alam yang disebabkan oleh faktor alam seperti tsunami vulkanik dan gempa vulkanik. Perjalanan harus dilakukan dengan kewaspadaan, mengikuti informasi dan pedoman dari pemerintah dan dinas terkait, serta menjadi wisatawan yang bertanggung jawab saat melakukan perjalanan. Peluang bisnis akomodasi dan destinasi wisata alam terbuka harus disambut oleh semakin banyak pelaku bisnis untuk menyediakan pariwisata yang aman dan nyaman di tengah risiko bencana di negeri ini.

Penulis Dosen Ekonomi Perhotelan dan Pariwisata, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button