Yogyakarta

Warung Sate puas, tempat kamuflase untuk strategi • Radar Jogja

RADAR JOGJA – Warung Sate Puas, Bangunan Cagar Budaya (BCB) di Jalan Gamelan Kidul No.1, Kraton, Jogja merupakan salah satu landmark sejarah perjuangan kemerdekaan. Nama tempat itu sekarang adalah Monumen Perjuangan Gamel. Di tempat inilah bukti perjuangan rakyat Jogja pada masa Agresi Militer Kedua saat itu.

WINDA ATIKA IRA P, Jogja, Radar Jogja

Sebagai saksi cerita, Hadiwarno menceritakan sebuah peristiwa seru yang ia ingat saat berusia lima tahun. Saat itu, pada tanggal 29 Juni 1949, ketika pasukan Belanda ditarik dari Yogyakarta atau dari Indonesia. Para pemuda begitu heboh mengibarkan bendera merah putih di sekitar Warung Sate Puas.

Tetapi anak-anak muda itu berlari dan mencari tempat persembunyian. “Saat itu (mengibarkan bendera) bambu masih digunakan. Segera setelah instalasi, sebuah tank tentara Belanda datang dari selatan. Akhirnya waton ditancepke (dicolokkan). Mereka lari dan sembunyi,” ujarnya saat disambar Radar Jogja di rumahnya, Gamelan Kidul 4, kemarin (15/8).

Pria berusia 78 tahun itu memiliki pengalaman yang mendebarkan. Bagaimana tidak, kehidupan siang dan malam tanpa penerangan. Semua listrik padam. Segera dan sering terdengar suara senjata. Saat itu suasana tidak ada yang keluar rumah dari jam 6 sore sampai malam.

“Dengarkan der der dan sering ke rumah Pyuuuuung, jika itu masalahnya, bersembunyi di bawah meja. Dan di sini sering terdengar tank-tank Belanda lewat secara tiba-tiba,” kata punggawa keraton bernama KRT Hadipradoto itu.

Tujuan Belanda adalah untuk menghentikan gerilyawan berkeliaran. Jadi tetaplah mengancam dengan suara senjata dan peralatan pertahanan. Karena yang ditakuti Belanda saat itu adalah para gerilyawan yang berkeliaran secara sembunyi-sembunyi pada malam hari.

“Pada malam hari, dalam kegelapan, mereka (para gerilyawan) berkumpul dengan pakaian seadanya. Kenakan sarung dengan bambu runcing, tombak, keris, dan granat. Belanda takut akan hal itu. Dan tidak masalah jika seorang Belanda tertangkap, dia tiba-tiba memenggal kepalanya, “katanya dengan antusias.

Insiden itu kemudian diperingati dengan pendirian monumen tiang bendera di halaman toko. Sebuah patung prajurit yang membawa bambu runcing juga didirikan di dekatnya. Ia mengatakan, stand sate itu hanya kedok para pejuang untuk menyusun strategi menangkal penjajah Belanda.

Sultan Hamengku Buwono (HB) IX juga sering mengunjungi stand sate saat itu. Sultan meminta para pejuang agar Jogja tampak damai, tidak akan ada kerusuhan sama sekali. “Stand sate adalah kamuflase, semacam topeng untuk mengelabui Belanda. Jadi siang hari etok-etok e jajan, makan, tapi ternyata atur strategi, atur taktik,” jelas pensiunan Pemkab Bantul ini.

Di dalam stand sate terdapat bangunan lain yang digunakan untuk berkumpulnya para gerilyawan luar kota serta ahli strategi dalam kota untuk merundingkan cara melawan Belanda. Dan hal ini tidak diketahui oleh Tentara Belanda karena sifatnya yang gerilya sehingga harus dirahasiakan dan disembunyikan.

Gerai sate juga dilengkapi dengan potong rambut. Hal ini dilakukan agar para pejuang yang berada di gerilya memotong rambut mereka dalam waktu yang lama, agar Belanda tidak mencurigai tempat itu sebagai pangkalan yang strategis. “Akibat diplomasi, Belanda telah menyatakan akan diekstradisi oleh PBB sebagai agresor, mereka harus mematuhi tuntutan PBB, harus meninggalkan ibukota republik. Dan Jogja adalah ibu kota dari tahun 1946 hingga 1949, yang istimewa pada saat itu,” tambahnya.

Meskipun Perang Militer Agresif Kedua, pasukan Belanda tidak berani sewenang-wenang menekan gerilyawan. Karena wilayah Jeron Beteng berada di bawah kekuasaan Sultan HB IX saat itu. Selain itu, tentara Belanda mengetahui bahwa sebagian besar warga Gamelan Kidul, terutama abdi dalem keraton.

“Jadi inilah monumen pertempuran Gamel, karena yang memimpin jalan ke sini adalah para abdi dalem Gamel. Para abdi dalem Keraton Yogyakarta yang bertugas merawat kuda-kuda keraton,” ujarnya.

Monumen Perjuangan Sate Puas merupakan kediaman Djajengtutugo, yang kemudian bernama Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Danudipuro setelah menjadi abdi dalem keraton. Salah satu penanda sejarah adalah tugu peringatan pertempuran penyerangan Oemoem pada 1 Maret 1949. Dalam pertempuran itu, pemerintah Indonesia mengusir penjajah Belanda, bangunan yang memiliki pendapa dan sebagian dalem itu memiliki kontribusi besar. dan berperan dalam mendukung para pejuang dalam peristiwa SO pada 1 Maret 1949 sampai Detik Jogja Kembali kedua pada 29 Juli 1949.

Pendapa dan interior rumah KRT Danudipuro bahkan digunakan para gerilyawan untuk berkumpul sebagai dapur, sekaligus tempat menyusun strategi pada malam hari. Agar tidak menarik perhatian dan tidak menimbulkan kecurigaan, dibuka stand ‘Sate Puas’ di belakang rumah samping atas inisiatif salah satu warga.

Pada 2012, Pemprov DIJ membeli rumah tersebut dan kemudian merevitalisasinya. Saat ini, situs bersejarah tersebut menjadi tujuan wisata edukasi sekaligus lembaga publik yang melakukan berbagai kegiatan bagi masyarakat sekitar. “Dulu, pendapanya ditutup dengan palu godam. Sangat bagus setelah restorasi. Tapi aslinya tetap sama, masih belum banyak berubah,” tambahnya. (wia/laz)

Source: radarjogja.jawapos.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button