Simalakama Distribusi minuman beralkohol tradisional - WisataHits
Yogyakarta

Simalakama Distribusi minuman beralkohol tradisional

jakarta

Peredaran minuman beralkohol tradisional seperti buah simalakama. Bagaimana tidak, di satu sisi, peredaran miras tradisional kerap ditindak tegas oleh aparat kepolisian. Tidak jarang minuman beralkohol tradisional ini disita.

Namun di sisi lain, jika berbicara tentang budaya di Indonesia, kebutuhan akan minuman beralkohol tradisional adalah hal yang mutlak. Sehingga menimbulkan kebingungan bagi perusahaan yang membuat minuman beralkohol tradisional. Apakah Anda terus berproduksi di bawah bayang-bayang “penyitaan” oleh pihak berwenang atau memutuskan untuk berhenti memproduksi minuman tersebut.

Keberadaan minuman beralkohol tradisional tidak dapat disangkal. Misalnya Sopi dari Aren atau Aren berasal dari Maluku dan Flores, Swansrai Papua yang berbahan dasar air kelapa, Ballo Makassar yang berbahan dasar lontar, Tuak Nifaro dari Nias, Arak Bali, Lapen dari Yogyakarta, hingga Cap Tikus Manado. Berbagai daftar nama minuman tradisional beralkohol yang tersebar di mana-mana menunjukkan bahwa negara kita kaya akan jenis minuman tradisional beralkohol. Sudah sepatutnya pemerintah lebih memperhatikan keberadaan minuman beralkohol tradisional ini.

Minuman beralkohol tradisional memiliki peran penting dalam budaya dan memegang nilai penting di kalangan masyarakat adat sejak zaman dahulu, dimulai dari ritual keagamaan, ritual adat, dan simbol dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dengan diberlakukannya penyitaan minuman beralkohol tradisional, alkohol impor justru menjadi pilihan utama masyarakat. Lalu apa yang terjadi pada produsen minuman tradisional beralkohol di daerah ketika produknya sering disita karena izin pemerintah daerah melarang mereka untuk mendistribusikannya?

Saat itu, RUU Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol) memicu perdebatan sosial. Kata “larangan” diyakini memiliki makna filosofis dan semangat yang menekankan bahwa alkohol adalah barang yang dilarang karena tidak hanya membahayakan tubuh, tetapi juga sumber kejahatan, meskipun teks akademik Minol-Gesetzes tidak. memberikan informasi spesifik tentang dugaan ini. Namun, larangan minuman beralkohol bukan untuk tujuan terbatas. Seperti kepentingan biasa, ritual keagamaan, wisatawan, obat-obatan dan tempat-tempat yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan.

Adanya kerangka hukum untuk mengatur minuman beralkohol tradisional merupakan salah satu solusinya. Apalagi saat mengimpor minuman beralkohol dari luar negeri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai impor minuman beralkohol mencapai US$90,8 miliar pada 2017. Setahun kemudian, nilai minuman beralkohol yang diimpor ke dunia turun menjadi US$65,23 miliar. Pada 2019, nilainya naik lagi menjadi 97,3 miliar dolar AS.

Oleh karena itu, Departemen Keuangan mengumumkan bahwa minuman beralkohol berkontribusi sekitar Rs7,3 triliun terhadap pendapatan cukai pemerintah pada tahun 2019, jumlah yang digambarkan sebagai “besar untuk pendapatan pemerintah”. Maraknya minuman beralkohol impor, bukan minuman beralkohol tradisional, yang dijual pedagang di kawasan wisata seperti kawasan Labuan Bajo dan Lombok (khususnya kawasan Gili Trawangan) dituding sebagai bentuk “keberpihakan” pemerintah terhadap impor. minuman beralkohol.

Bagaimana turis asing bisa mencoba alkohol tradisional Indonesia ketika terlalu sulit ditemukan? Bahkan harus dibeli secara diam-diam agar tidak tertangkap pihak berwajib. Pemerintah patut bangga mengakui keberadaan minuman beralkohol tradisional di negeri ini. Begitu pula di Jepang yang bangga mengakui arak sebagai minuman beralkohol tradisionalnya, yang memiliki nilai budaya dan telah menjadi identitas Negeri Sakura.

Begitu juga dengan Korea Selatan yang kerap menyisipkan pemandangan minum soju di setiap produksi drama mereka. Soju, Sul, Munbaeju, Gyeongju dan Gwasilju telah dinyatakan sebagai warisan budaya takbenda oleh Badan Administrasi Warisan Budaya di Korea Selatan, bahkan ditempatkan pada posisi penting atau warisan budaya takbenda yang penting.

Anda pantas mendapatkan pengakuan pemandangan di film Horor yang lezat menampilkan minuman tradisional beralkohol bernama Tuak dari Sumatera Utara yang diminum oleh Pak Domu dan teman-temannya sambil bernyanyi di pinggir Danau Toba. Hal ini menunjukkan bahwa setidaknya ada masyarakat yang peka dan bangga dengan keberadaan minuman tradisional beralkohol ini sebagai bagian dari budaya masyarakat kawasan Danau Toba.

Diharapkan pemerintah melakukan hal yang sama. Keberadaan minuman beralkohol tradisional hanya akan terbatas pada minuman ilegal jika pemerintah tidak peka terhadap potensi keuntungan dari minuman tersebut. Karena mungkin wisatawan mancanegara lebih tertarik untuk mengkonsumsi minuman beralkohol tradisional kita daripada minuman beralkohol impor mereka.

Aturan minuman beralkohol harus memberi perhatian khusus pada minuman beralkohol tradisional. Pencabutan lampiran terkait investasi minuman keras dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal merupakan “hambatan” bagi UMKM yang akan memproduksi minuman beralkohol tradisional. Akibatnya, karena tidak ada izin bagi industri miras, penyitaan dilakukan tanpa henti karena belum mendapat persetujuan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Aturan ini harus menjadi pengecualian bagi industri minuman keras tradisional, sehingga menjadi angin segar bagi produsen minuman keras tradisional di daerah untuk bersaing dengan minuman beralkohol impor. Tak terkecuali minuman beralkohol tradisional yang mendapat tempat di lidah wisatawan mancanegara dan mendongkrak pundi-pundi negara di sektor pariwisata.

IKLAN

GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN

(mmu/mmu)

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button