Pada tahun 2022, terdapat 949 kasus DBD di Bantul dengan 5 kematian - WisataHits
Yogyakarta

Pada tahun 2022, terdapat 949 kasus DBD di Bantul dengan 5 kematian

Pada tahun 2022, terdapat 949 kasus DBD di Bantul dengan 5 kematian

TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bantul melaporkan peningkatan kasus demam berdarah dengue (DBD) tahun 2022 dibandingkan tahun sebelumnya.

Kepala Dinas Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Bantul Abednego Dani Nugroho mencatat pada tahun 2022 terdapat 949 kasus DBD dengan lima kematian.

Angka itu naik lebih dari dua kali lipat dibanding tahun lalu, ketika ada 410 kasus dengan satu kematian.

Baca Juga: Kunjungan Wisatawan ke Gunungkidul Meningkat 44 Persen Saat Libur Imlek

“Tahun-tahun sebelumnya hanya satu atau dua orang yang meninggal karena demam berdarah, bahkan ada tahun-tahun yang tidak ada kematian. Sementara pada tahun 2022 akan ada lima kematian akibat DBD, kami kira ini sangat tinggi,” ujarnya, Senin (23/1/2023).

Menurutnya, banyak kematian tersebut bukan karena keterlambatan penanganan medis atau keterlambatan diagnosis di fasilitas pelayanan kesehatan.

Namun karena keterlambatan masyarakat, mereka bisa check in di fasilitas kesehatan.

“Saat dibawa ke puskesmas atau rumah sakit, kondisinya sudah parah. Kondisi ini diperparah dengan adanya penyakit penyerta lainnya,” imbuhnya.

Penyakit metabolik yang menyertai pasien DBD antara lain stroke, penyakit jantung, hipertensi dan diabetes melitus.

Lebih lanjut Abednego mengatakan, tingginya kasus DBD pada tahun 2022 tidak bisa dibandingkan dengan jumlah kasus pada dua tahun sebelumnya.

Pasalnya, pada 2020-2021 kasus yang disebabkan oleh nyamuk Aedes aegypti tumpang tindih dengan kasus Covid-19, meski secara epidemiologis tidak ada kaitan antara Covid-19 dengan DBD.

Itu sebabnya departemen kesehatan mencoba menganalisis fenomena ini.

“Kami masih menganalisis faktor mana yang berpengaruh. Mengapa data turun tajam selama Covid-19? Apakah ada faktor sosial atau faktor teknis? Misalnya, saat pandemi, ketika orang mengeluh demam, ingin tes, takut swab, sehingga tidak dites dan akhirnya tidak terdeteksi. Hal ini bisa dilakukan agar kasus DBD tetap rendah selama pandemi,” jelasnya.

Terkait program nyamuk ber-Wolbachia, Abednego mengatakan program tersebut baru bisa terdeteksi dalam 2-3 tahun ke depan.

Sedangkan program Wolbachia baru dilaksanakan di Bantul pada pertengahan tahun lalu.

“Mudah-mudahan akhir 2023 atau 2024 sudah terlihat. Misalnya di kota dan Sleman yang sudah menerapkan penyebaran nyamuk ber-Wolbachia juga mengalami penurunan di tahun ketiga,” ujarnya.

Baca Juga: Imlek Jadi Momen Mainan Barongsai Dijual di Sleman untuk Mencari Cuan

Oleh karena itu, Abednego menegaskan upaya untuk menekan jumlah kasus DBD antara lain dengan penerapan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).

Apalagi dengan musim hujan yang masih berlangsung beberapa bulan ke depan, akan banyak genangan air yang menjadi tempat nyamuk bersarang dan berkembang biak.

Hal itu senada dengan yang disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Bantul, Sri Wahyu Joko Santoso. Pria yang biasa disapa Dokter Oki ini menambahkan kasus DBD masih didominasi oleh daerah pinggiran atau padat penduduk seperti Kapanewon Kasihan, Banguntapan dan Sewon.

“Pola demografi dan kepadatan penduduk bisa menjadi pemicu. Namun yang terpenting adalah memperbanyak PSN dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) agar terbebas dari DBD,” ujarnya. (untuk)

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button