OPINI: Multiplier Effect Pariwisata - Harianjogja.com - WisataHits
Yogyakarta

OPINI: Multiplier Effect Pariwisata – Harianjogja.com

Pada Juli 2022, penulis mengunjungi tiga destinasi wisata di Indonesia. Destinasi wisata tersebut adalah Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo, Bali (Kuta, Legian dan Nusa Dua) ​​dan Kawasan Batu, Malang.

Pengamatan penulis selama beberapa hari di ketiga destinasi wisata tersebut menunjukkan bahwa aktivitas wisata sudah mulai meningkat. Tanda-tanda kebangkitan ini adalah banyaknya kunjungan wisatawan ke tempat wisata, hotel, dan kepadatan bandara dan stasiun kereta api. Harus diakui aktivitas wisata tidak lagi seperti sebelum adanya pandemi Covid-19.

Kondisi serupa juga terjadi di toko perangkat keras sebagai salah satu tujuan wisata di Indonesia. Kegiatan pariwisata sudah mulai beradaptasi dengan membaiknya kondisi pandemi Covid-19 berdasarkan status pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Tingkat 1 dan 2. Tanda-tanda pemulihan pariwisata dapat dilihat antara lain Jumlah wisatawan yang datang untuk melakukan -itu-sendiri, termasuk hunian hotel keluarga angkatdan kemacetan lalu lintas di beberapa destinasi wisata.

Bagaimana dampak pemulihan kegiatan pariwisata terhadap perekonomian lokal dan nasional? Jawabannya dapat diturunkan dari efek pengganda (efek pengganda) kegiatan pariwisata.

Dampak kegiatan pariwisata secara makro melalui usaha makanan dan minuman, akomodasi, jasa transportasi, kawasan wisata, jasa hiburan, MICE (Rapat, insentif, konferensi, dan pameran) dan upaya lainnya akan mengarah pada peningkatan produk domestik bruto (PDB). Kegiatan mikrowisata dapat meningkatkan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Selain itu juga dapat mendorong perolehan devisa, pendapatan daerah, pembangunan daerah, serta penyerapan investasi dan pengembangan usaha yang terkait dengan kegiatan pariwisata.

penyedia layanan wisata

Multiplier effect dari kegiatan pariwisata adalah semua kegiatan pariwisata menghasilkan konsumsi di sisi wisatawan dan pada saat yang sama menghasilkan pendapatan yang diterima oleh penyedia jasa pariwisata dan pelaku pariwisata lainnya serta pelaku ekonomi yang terlibat. Selain itu, investasi di sektor pariwisata akan digalakkan dalam jangka menengah dan panjang.

Investasi tersebut tentunya akan mampu menyerap tenaga kerja dan menarik kegiatan ekonomi lainnya. Tautan ini termasuk tautan ke depan (tautan ke depan) dan mundur (tautan balik). Semua kegiatan konsumsi dan investasi yang mempengaruhi peningkatan pendapatan mengakibatkan peningkatan pendapatan KELUAR total atau disebut sebagai PDB.

Berdasarkan data Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif (2022), kontribusinya cenderung meningkat sebesar 4,11% (2017), 4,50% (2018) dan 4,70% (2019) pada periode 2017-2019 (Sri Susilo, 2022).

Apalagi seiring dengan terjadinya pandemi Covid-19, kontribusinya menurun menjadi 4,05% pada tahun 2020. Kemudian pada tahun 2021 akan sedikit meningkat menjadi 4,20%, kondisi ini sejalan dengan dimulainya kegiatan wisata. Pada tahun 2022, kontribusinya meningkat menjadi 4,30%.

Selama kurun waktu 2010-2019, jumlah tenaga kerja yang bergerak di bidang kegiatan seperti pariwisata cenderung meningkat (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2021). Sebagai contoh, pada tahun 2016 jumlah tenaga kerja sebanyak 11,8 juta pekerja atau 9,87% dari total angkatan kerja nasional. Kemudian, pada 2019, tumbuh menjadi 13 juta atau 12,28% dari total tenaga kerja nasional. Pada tahun 2020, jumlahnya turun menjadi 10 juta pekerja atau sekitar 3 juta dibandingkan tahun sebelumnya.

Penurunan tersebut terkait dengan pandemi Covid-20 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020. Pandemi menyebabkan penerapan langkah-langkah untuk membatasi mobilitas, sehingga kegiatan wisata hampir sepenuhnya dihentikan. Di sisi penawaran, para pemangku kepentingan pariwisata menghentikan atau menghentikan kegiatan mereka. Di sisi permintaan, wisatawan diharuskan untuk keluar rumah dan melakukan aktivitas di luar rumah hanya jika diperlukan untuk keperluan penting saja. Sehingga aktivitas pariwisata Pemkot juga terhenti. Kondisi ini menyebabkan para pelaku pariwisata melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pemutusan hubungan kerja (PHK).

Hal ini menunjukkan multiplier effect kegiatan pariwisata terhadap perekonomian Akun Pariwisata di Indonesia (TSA) tahun 2016–2019 diterbitkan oleh BPS (2021). Kontribusi pariwisata terhadap perekonomian dapat dilihat dari indikator nilai tambah bruto industri pariwisata (Industri pariwisata dengan nilai tambah bruto/GVATI), dampak langsung pariwisata pada penciptaan nilai (Nilai Tambah Bruto Langsung Pariwisata/TDGVA) dan dampak langsung pariwisata terhadap produk domestik bruto/PDB (Produk Domestik Bruto Langsung Pariwisata /TDGDP).

Dari tahun 2016 hingga 2018, GVATI cenderung menurun (BPS. 2021). Pada 2016, nilai GVATI adalah 7,10 persen. Pada tahun 2019, angka GVATI menunjukkan nilai sebesar 7,15 persen, meningkat dari tahun sebelumnya.

Selain itu, dari tahun 2016 hingga 2019, nilai TDGVA menunjukkan peningkatan dari 4,63% pada tahun 2016 menjadi 4,97% pada tahun 2019. Pada periode yang sama, nilai TDGDP meningkat dari tahun 2016, dengan nilai TDGDP meningkat dari 4,65% menjadi 4,97% pada tahun 2019.

Dampak kegiatan pariwisata terhadap perekonomian secara detail juga dapat dilihat dari publikasi Neraca Satelit Pariwisata Nasional (Nesparnas) yang diterbitkan oleh Badan Publikasi Pusat (BPS, 2019). Dari publikasi tersebut dapat diukur dinamika dan skala ekonomi yang dihasilkan oleh kegiatan pariwisata, mata rantai sektor ekonomi yang terkait dengan pariwisata, serta peran pariwisata dalam perekonomian nasional, misalnya dalam pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja. penciptaan, pendapatan pemerintah dari pajak dan retribusi dan ketika mengekspor barang dan jasa.

Agar aktivitas pariwisata lebih cepat pulih, masyarakat harus berani bepergian meski tetap mengikuti protokol kesehatan. Dari sudut pandang pemangku kepentingan pariwisata, mereka menyiapkan kegiatan pariwisata yang menerapkan prinsip CHSE kebersihan, Kesehatan, keamanan & kelestarian lingkungan). Oleh karena itu, upaya pemulihan pariwisata harus dilakukan secara simultan baik dari sisi penawaran (pelaku pariwisata) maupun sisi permintaan (wisatawan).

Source: opini.harianjogja.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button