Mitos seribu pintu dan kisah lembut penjara bawah tanah - WisataHits
Jawa Tengah

Mitos seribu pintu dan kisah lembut penjara bawah tanah

Semarang (pilar.id) – Hari semakin larut ketika pria itu mulai duduk di kursi di tengah panggung. Sesaat ia melihat awan menebal. Setelah adzan Maghrib, dia mulai menyanyikan dua lagi, hanya diiringi oleh gitar akustik yang terdengar sederhana.

Beberapa turis asal Bekasi mendekat lalu duduk menikmati lagu-lagu romantis yang dibawakannya. Segera penyanyi itu menawarkan panggung kepada pengunjung.

Salah satu turis berdiri, lalu dengan percaya diri melangkah maju dan menyanyikan lagu pertamanya. Teman-temannya yang juga mengenakan kaus oblong hijau tertawa riang dan bersenandung di tengah cuaca yang semakin mendung.

“Tenang saja, belum hujan. Nyanyi saja,” kata salah seorang dari mereka. Beberapa saat kemudian, lagu-lagu itu mulai mengalir lagi. Suara itu dengan lembut melayang ke dinding Gedung Lawang Sewu, sebuah gedung yang menjulang tinggi dengan seribu pintu.

Sementara itu, kursi dan meja di sekitarnya dipenuhi turis lain yang sebelumnya sudah berkeliaran di sekitar gedung. Menikmati kisah dan legenda masa lalu, kemungkinan dihitung di bawah pohon mangga raksasa yang dikatakan telah berdiri sejak 1918.

“Rasanya sama. Siapa pun yang datang ke sini pasti penasaran. Begitu juga dengan cerita horor seperti yang biasa kita dengar di media sosial dan TV,” kata Ambar, 19, turis asal Jakarta.

Meskipun mereka akhirnya merasa seperti “tidak melihat hantu”, dia dan keempat temannya mengatakan bahwa mereka tidak kecewa. Karena sejauh pengalaman, ia bisa menikmati salah satu bangunan bersejarah di kota Semarang, Jawa Tengah ini hanya dengan bekal Rp 20.000.

Ia sempat mendengar dari pemandu yang menemani perjalanannya bahwa Lawang Sewu adalah sebuah gedung perkantoran yang terletak di seberang Tugu Muda, dulunya bernama Nederlandsch-Indischer Spoorweg Maatschappij (NIS). Kini Lawang Sewu lebih dikenal sebagai tempat wisata yang dikelola oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI).

Di sudut ruang museum, kita mengetahui jika Lawang Sewu kemudian dikembangkan oleh Otoritas Kereta Api Indonesia (DKARI) setelah ditaklukkan pada masa Perang Kemerdekaan.

Mulyadi, 46, turis asal Cilacap, mengaku tak pernah bosan datang ke Lawang Sewu. Kekaguman lulusan Sekolah Teknik Sipil Surabaya itu terus bertambah karena banyak membaca tentang bangunan-bangunan Eropa di Indonesia.

“Ada yang bilang pintunya hanya 900. Tapi bukan itu yang saya suka. Tapi tekniknya. Keberadaan pintu, jendela dan langit-langit yang tinggi menjadi tambahan referensi arsitektur Eropa di Indonesia,” ujarnya.

Dulu jaman belum ada AC, lanjutnya, mereka menggunakan jendela dan pintu untuk membantu sirkulasi udara agar ruangan tidak panas.

“Kalau soal cerita horor, ya, saya pernah mendengarnya. Tapi itu benar atau tidak, saya tidak tahu,” katanya sambil tertawa. Jelas, katanya, bahwa ruang bawah tanah telah ditutup karena alasan keamanan.

Sumber pilar.id saat ini membenarkan pernyataan tersebut. “Ini hanya faktor keamanan. Kalau mistik saya tidak tahu,” ujarnya.

Pejabat Lawang Sewu yang enggan disebutkan namanya itu mengaku ruang bawah tanah itu sebenarnya digunakan sebagai tempat penahanan.

Bangunan yang dibangun pada tahun 1904 ini menjadi mimpi buruk bagi banyak orang pada masa pendudukan Jepang. Karena di sini ada tiga jenis penjara, masing-masing penjara diduduki, penjara berdiri dan ruang penyiksaan tahanan.

Dari sini cerita berkembang. “Saya tidak tahu apakah itu benar atau tidak. Tidak pernah bertemu. Ya, saya harap kita tidak bertemu satu sama lain, “katanya pelan. (HDL)

Source: www.pilar.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button