Menarik wisatawan asing, kawasan wisata berkonsep eksklusif - WisataHits
Jawa Timur

Menarik wisatawan asing, kawasan wisata berkonsep eksklusif

Bisa dikatakan nama Pantai Bowele (Bolu-Bolu, Wedi Awu dan Lenggoksono) di Tirtoyudo sudah mendunia. Banyak turis asing dari Amerika, Afrika dan Eropa telah menikmati keindahan pantai. Mereka tertarik pada ombak, yang ideal untuk berselancar. Peran Mukhlis, seorang aktivis pariwisata lokal, cukup besar untuk mengharumkan nama Bowele.

YUDISTIRA SATYA WIRA WICAKSANA

Sambutan ramah Mukhlis terlihat saat Jawa Pos Radar Malang berkunjung ke rumahnya di Homestay Banyu Anjlok, Senin (1/8). Mengetahui itu berasal dari Radar Malang, dia teringat akan kenangan 10 tahun lalu. Yaitu saat Java Pos Radar Malang Tour Seribu Pantai yang mempopulerkan pantai di desa Purwodadi kecamatan Tirtoyudo.

Karena saat itu tidak ada yang tahu nama Bowele. Baru sejak Radar Malang populer, orang-orang mulai berdatangan. Dan Mukhlis dipercaya oleh kepala desa Purwodadi saat itu untuk mendampingi tim Jelajah Pantai Seribu. Ia juga aktif sebagai pegiat pariwisata hingga saat ini sebagai Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Bowele, Desa Purwodadi, Tirtoyudo.

Sifatnya begitu ramah. Bahkan, gaya keramahtamahan pemandu wisata saat ini semakin terlihat dari sikap pria berusia 43 tahun ini: “Saya masih ingat Mas ABM (Wapemred Radar Malang) datang bersama tim 10 tahun lalu. Dari tulisan seribu pantai, Radar Malang, Banyuanjlok, Wedi Awu, Bolu-Bolu dan Lenggoksono menjadi terkenal,” kata Mukhlis di awal pembicaraan.

Mukhlis dengan bangga menunjuk salah satu kliping koran Radar Malang. Sampulnya tergantung di dinding di ruang tamunya. Begitu juga tulisan para wartawan Jawa Pos Group tentang Desa Wisata Bowele. Dia menempatkan semua berita di koran ini. Mukhlis menjelaskan, tanpa Radar Malang desanya tidak akan sepopuler sekarang.

Pria yang juga seorang guru itu juga mengapresiasi jasa besar yang dilakukan koran ini terhadap desa Purvodadi. Dia ingat betul, Radar Malang datang sekitar satu dekade lalu, pada 2012. Mukhlis adalah sekretaris Kelompok Masyarakat Pemantau Pesisir (Pokmaswas) Desa Purwodadi saat itu. Statusnya juga masih menjadi guru relawan di SDN Purwodadi.

“Sebelum Radar Malang hadir, Pokmas fokus pada pencegahan illegal fishing. Tapi saya memimpikan potensi wisata pantai ini. Meskipun saya tidak pernah membayangkan itu. Daerah ini akhirnya menjadi tempat selancar yang populer bagi ekspatriat. Saya ingat pernah direkrut pada tahun 2012 oleh kepala desa “mbaturi” Mas ABM dan kawan-kawan,” kata pria yang sudah fasih berbahasa Inggris dan sedikit Spanyol-Jerman itu.

Mukhlis mengenang kembali kenangannya bersama tim Radar Malang. Yakni mulai dari larung sesaji di pantai hingga wartawan pertama kali ke Banyu Anjlok. Menurutnya, ia harus menggunakan kapal untuk sampai ke tempat ini. Maka Mukhlis mengeluarkan uang pribadinya untuk membawa tim ke Banyu Anjlok. Dia menghabiskan 150.000 rupee untuk menyewa perahu.

“Saya tidak menyangka Desa Purwodadi berkembang sejak saat itu. Gugus pantai di sini semuanya terangkat. Banyu Anjlok dan lainnya semakin dikenal. Wedi Awu bahkan sudah menjadi tempat surfing internasional. Ekspatriat Amerika, Eropa, Asia dan Afrika datang ke sini mencari ombak besar,” jelas Managing Director Himpunan Pemandu Wisata Indonesia (HPI) Malang Raya.

Sebelum pandemi, ada sekitar 21 keluarga angkat. Jumlah perahu siaga yang disewakan juga mencapai 32. Kehidupan wisata di sana semakin padat dan semarak. Saat itu, reputasi Desa Wisata Purwodadi sedang tinggi. Namun, pandemi seperti stroke, menghentikan denyut nadi pariwisata Boweles.

Sejak saat itu, jumlah keluarga angkat berkurang. Begitu juga perahu yang bisa disewa. Hari ini tinggal 9 homestay yang tersisa. Sekarang hanya ada 22 perahu yang tersedia untuk disewa. Saat pandemi melambat, Desa Wisata Bowele juga pulih dari pukulan ekonomi. Turis mulai berdatangan.

Namun, kali ini, para tamu sebagian besar adalah ekspatriat. Karena itu, Mukhlis menilai Bowele tidak cocok menggunakan konsep pariwisata massal. Karena jarak dari jalan utama terlalu jauh. Jalan menuju lokasi juga rusak. Wisatawan yang datang tentu memiliki niat. Belum lagi warga juga tidak bisa menerima wisatawan sebanyak dulu.

“Tapi tidak apa-apa. Karena Bowele sebenarnya lebih cocok untuk ekowisata. Wisata kecil dan petualangan,” jelas petugas pariwisata departemen Asosiasi Desa Wisata Indonesia (Asidewi). Karena sepi di Lenggoksono dan sekitarnya, tamu asing pun senang, sehingga membuat kawasan wisata ini terlihat eksklusif dimana bule betah.

Wisatawan yang disaring. Wisatawan dari Amerika Serikat, Jerman, Belanda, Jepang datang ke Afrika. Anda tumpah dari Bali. Kebanyakan dari mereka mengejar ombak untuk berselancar. Pantai Lenggoksono yang dikelola oleh Desa Wisata Bowele dikhususkan bagi para peselancar amatir.

Sedangkan Wedi Awu untuk profesional. Mukhlis mengaku pernah menerima tamu dari peselancar Amerika yang menginap selama sebulan. Bulan ini ia juga akan menyambut 80-an bule dari Amerika dan Eropa. Anda siap menghabiskan akhir pekan di Lenggoksono. Uniknya, mereka tidak hanya mencari surfing.

“Mereka meminta wisata trekking. Ya nanti kita siapkan rutenya,” kata anggota Forum Ekowisata Jatim itu.

Mukhlis juga menyiapkan keramahan ala desa wisata yang tidak ditemui di hotel. Biaya masuk homestay Rp 125 – Rp 150.000 plus sarapan. Anda bisa masuk pada siang hari dan check out pada siang hari.

Bahkan, saat tidak ada tamu, wisatawan bisa berlama-lama untuk check out. Pemilik rumah akan membuat ekspatriat “njagongi” seolah-olah mengunjungi kerabat. Jamuannya juga khas desa. Ada ikan laut hingga makanan khas Jawa. Misalnya daun singkong lodeh dan ontong serta ikan bakar kuah bathok. Orang bule juga menyukai rempah-rempah.

Selama tidak pedas dan tidak manis, mereka menyukainya. Kemudian harga sewa papan selancar adalah Rp 50.000. Motornya juga seharga Rp 50.000 per hari. Sementara itu, menyewa perahu biaya sekitar 60.000 rupee. Alat snorkelingnya sendiri disewakan dengan harga Rp 25.000 per set. Menurut Mukhlis, Desa Wisata Bowele perlu dikembangkan lebih lanjut.

“Kami masih mendorong untuk fasilitas (off property) di pantai. Misalnya kebutuhan MCK (mandi, cuci, kakus). Hal ini untuk menyesuaikan standar wisata pantai untuk bule. Saya juga berencana untuk pergi glamping,” jelasnya.

Desa Wisata Bowele kini lebih khusus untuk ekspatriat. Namun, desa tidak menghalangi kedatangan wisatawan lokal. Karena kehadiran pariwisata telah mengubah kehidupan masyarakat.

Perubahan ini terlihat dari mereka yang secara aktif terlibat dalam pariwisata. Kebanyakan aktivis pariwisata seperti Mukhlis kurang beruntung secara fisik hak istimewa. Penduduk desa di sana rata-rata kaya akan cengkeh. Namun berkat pariwisata, pelaku pariwisata non-pertanian telah terdongkrak. Ada yang bisa membeli rumah dan sepeda motor. Ada juga yang bisa menambahkan mobil dan perahu.

“Ada 200 turis di sini. Jumlah penduduk sekarang 7.000 orang. Kebanyakan dari mereka adalah petani anyelir. Memperbaiki iklim pariwisata masih sulit. Tapi aku tidak akan berhenti. Semoga Covid-19 benar-benar berhenti. Karena kita mulai peregangan lagi,” pungkasnya.(redup)

Source: radarmalang.jawapos.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button