Kerjasama Antar Masyarakat dengan Pemkot Surabaya di Balik “Koesno” - WisataHits
Jawa Timur

Kerjasama Antar Masyarakat dengan Pemkot Surabaya di Balik “Koesno”

Walikota Surabaya Eri Cahyadi berfoto bersama para pemain dan kru film “Koesno” bersama penonton di XXI Tunjungan Plaza, Surabaya (14.8).

Pemkot dan Pemkot Surabaya berbagi tugas mencari lokasi syuting, melakukan penelitian, dan menyediakan kru dan pemeran. Acara pencarian bakat juga akan digelar melalui festival film pendek.

UMAR WIRAHADI, Surabaya

WILAYAH Peneleh, Surabaya diperiksa. Namun, tempat kelahiran Soekarno telah banyak berubah sejak saat itu. Sulit untuk membawa suasana jaman dulu ke sana.

Padahal, Koesno, film tentang kehidupan penerbit yang merupakan hasil kerja sama lintas masyarakat dengan Pemkot Surabaya, jelas membutuhkan suasana lama itu. Juga rumah HOS Tjokroaminoto, ayah mertua dan mentor Soekarno, di situs yang sama yang sekarang menjadi museum tidak mungkin. “Setelah melakukan riset, akhirnya kami menemukan dua rumah tua,” kata Andre Arisotya dari Tim Produksi TVRI Jatim.

Keduanya merupakan bangunan tempat tinggal Jalan Pandean Gang I dan Jalan Pelampitan Gang XI, juga masih berada di kawasan Peneleh. Keduanya tetap mempertahankan gaya interior dan eksterior awal 1900-an. Termasuk beberapa furnitur lama di dalamnya.

Akhirnya diputuskan rumah di Jalan Pandean Gang I akan dijadikan tempat kelahiran Koesno. Adapun yang berada di Jalan Pelampitan Gang XI menjadi lokasi syuting para orang tua menggendong Koesno. “Nah, tempat ini cocok,” kata Andre.

Penghuni pemilik kedua rumah juga setuju. Bahkan, warga sekitar juga secara sukarela menyumbangkan sejumlah properti pendukung. Termasuk sepeda Ontel tua, tempat tidur, pakaian dan lampu.

Ada juga mimbar tua tahun 1950-an yang dipinjam dari mushola di desa Peneleh. “Semua properti ini gratis,” kata Andre.

Seperti biasa dalam film-film sejarah, riset tentu menjadi andalan penting Koesno. Buku-buku yang berhubungan dengan Bung Besar selama di Surabaya diperiksa. Rentang waktunya dimulai dari saat lahir hingga pria yang lahir dengan nama Koesno ini berusia 21 tahun.

Mulai Soerabaia dan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair) terlibat dalam bisnis penelitian ini. Pendiri Begandring Kuncarsono Prasetyo juga berperan sebagai narator dalam film tersebut.

Dia mengatakan kepada saya ada lusinan buku yang telah dia pelajari. Selain koleksi Begandring dan FIB, pihaknya mendapat bantuan buku dari perpustakaan keluarga Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Tak kurang dari 130 buku masuk daftar untuk dipelajari. Di HBS ada sekitar 13 buku khusus untuk periode sejak lahir hingga masuk sekolah.

Termasuk momen pernikahan pertama Bung Karno dengan Oetari, putri HOS Tjokroaminoto. “Ini adalah hasil kerjasama semua pihak sejak awal,” ujarnya.

Buku yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan adegan dalam cerita. Salah satunya adalah buku karya Cindy Adams berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.

Selain berlatar sepenuhnya di Surabaya, para pemeran film tersebut menghadirkan warga Kota Pahlawan. Bahkan, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi berperan sebagai Bung Karno saat menjabat sebagai Presiden. Syuting untuk adegan komposisi suara juga dilakukan di Lodji Besar, Jalan Makam Peneleh.

Alhasil, kerja sama lintas lembaga itu berbuah manis dengan penayangan film Koesno di layar lebar, Minggu (14 Agustus) lalu. Film lain tentang Surabaya diputar di hari yang sama, Jack.

Film ini digarap oleh Ainun Ridho, seorang sineas asal Surabaya. Film ini diproduksi pada tahun 2019 dan sudah tayang di layar lebar. Namun, pada hari yang sama Minggu lalu, Jack diputar di bioskop XXI Tunjungan Plaza di Surabaya.

Pemutaran kedua film tersebut mengawali program Festival Film Pendek Surabaya (FFPS). Acara tersebut diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan, Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Kota Surabaya (Disbudporapar). “Pendaftaran sudah dibuka,” kata Direktur Pariwisata Disbudporapar Surabaya Farah Andita Ramdhani.

Pendaftaran dibuka mulai 14 hingga 27 Agustus. FFPS 2022 merupakan ajang bagi mahasiswa untuk membuat film pendek bagi mahasiswa. Tujuannya untuk menggali bakat anak muda Surabaya.

Acara ini bertujuan untuk merevitalisasi industri kreatif Kota Pahlawan. Mulai dari promosi destinasi wisata, fashion, kerajinan tangan dan seni kuliner. “Surabaya sangat kaya akan potensi ini. Dan lewat film pendek ini bisa dimaksimalkan,” kata Farah.

Dosen FIB Unair Kukuh Yudha Karnanta mengatakan kerjasama lintas masyarakat dengan Pemkot Surabaya merupakan momen yang sangat langka. “Antusiasme masyarakat terhadap film Surabaya juga sangat terlihat,” ujarnya.

FFPS juga diharapkan dapat menjadi katalisator lahirnya sineas-sineas muda lainnya dari Surabaya. Oleh karena itu, program sepakat untuk memilih Jack sebagai salah satu model untuk “Film Suroboyo”, sebuah film yang hampir 100 persen Surabaya. Mulai dari aktor, kru, setting dan bahasa. “Jack adalah film yang disukai Suroboyo,” kata Kukuh.

Bekerjasama dengan dr. SMK Soetomo Surabaya, Jack memotret drama masyarakat urban multikultural yang dikemas dalam dialek Suroboyoan, lelucon dan idiom dengan kualitas sinematik yang dibudidayakan. “Tempat Suroboyo bisa dilihat kembali dalam film yang menarik,” kata Kukuh. (*/c19/ttg)

Source: news.batampos.co.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button