Wajah Baru | Pos Berau
CUACA panas seperti hari-hari sebelumnya, cukup panas. Dimana mencari tempat yang sejuk. Pergi ke kedai kopi sama panasnya. Sama panasnya dengan topik pembicaraan.
Saya flash kembali sedikit. Teluk Bayur dulunya adalah tempat persinggahan dari panas terik. Banyak warga sekitar yang datang ke dekat lapangan hanya untuk mencari udara sejuk.
Kami hanya duduk di sekitar lapangan bola. Angin yang bertiup dari sungai membawa udara segar. Semakin sore, semakin dingin rasanya. Saat itu tidak ada aktivitas penambangan.
Sekarang sangat berbeda. Keluhan warga Tanjung Redeb tentang udara panas sama dengan keluhan warga Teluk Bayur. Tidak ada lagi tempat berteduh, bahkan di sekitar lapangan sepak bola pun tidak ada.
Selain itu, pohon-pohon rosewood besar yang berumur puluhan tahun dipangkas untuk mencegah pohon itu tumbang. Jadi, semakin panas Teluk Bayur. Itu setelah perusahaan pertambangan secara bertahap mulai beroperasi.
Wajah Teluk Bayur begitu saja selama bertahun-tahun. Dengan status kecamatan dan di lingkar perusahaan pertambangan. Teluk Bayur harus lebih maju dari kecamatan lain.
Jika semua perusahaan mengarahkan dana CSR-nya ke Teluk Bayur dan dikelola dengan baik, penataan kecamatan akan jauh lebih baik. Akan banyak dikunjungi orang.
Kedekatan dengan ibu kota kabupaten juga menjadikan Teluk Bayur sebagai “kota” yang sudah berkembang dibandingkan dengan Tanjung Redeb.
Agus Wahyudi, pejabat pemerintah kabupaten yang lahir di Teluk Bayur, membaca tentang situasi ini. Tanah airnya pernah dikuasai oleh Belanda yang melakukan kegiatan penambangan bawah tanah dan meninggalkan banyak bangunan setelah kegiatan penambangan tersebut.
“Banyak peninggalan yang kita bawa pulang,” kata Agus Wahyudi. Caranya adalah dengan membuat desain yang mencolok di jantung kota Teluk Bayur. Di sekitar lapangan sepak bola. Jika Anda bisa menyebutnya alun-alun.
Tak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk mengubah wajah yang menjadi titik temu utama warga. “Tidak mungkin kami membawa kereta api yang mengangkut batu bara,” kata Agus.
Lapangan sepak bola yang tidak lagi memenuhi standar internasional dikorbankan dengan pembentukan kawasan baru. Sebuah kawasan yang mampu menciptakan suasana dimana Teluk Bayur pernah berjaya pada masanya.
Lapangan sudah diperbaiki dan bola masih bisa dimainkan. Tempat-tempat miniatur kereta api dan berbagai aksesoris lainnya yang dipamerkan di lingkungan sekitar. “Saat berada di lapangan sepak bola, tempat itu seperti bercerita lagi,” kata Agus Wahyudi.
Kedepannya akan dikembangkan lagi dengan mengurus semua aset bangunan Belanda. Baik rumah, bioskop maupun aset lainnya. Konsepnya seperti kota tua di Jakarta.
Dan memang Teluk Bayur mendapat nama baru sebagai kota tua di Berau. Hal yang sama berlaku untuk kota tua di tempat lain, baik di Jakarta, Jogja, Surabaya, dan Semarang.
Pada akhirnya, Kota Lama Teluk Bayur akan menjadi salah satu destinasi wisata dengan pengelolaan wisata tematik. Dimana pengelolaannya akan diserahkan sepenuhnya kepada kelompok sadar wisata yang dibentuk oleh pihak kecamatan. @cds_daengsikra. (*/udi)
Source: news.google.com