"Soft Legacy", Jalan sunyi kepemimpinan - WisataHits
Jawa Tengah

“Soft Legacy”, Jalan sunyi kepemimpinan

SEBAIKNYA “Legal Leadership” hanya dimaknai dalam bentuk fisik mercusuar?

Tidak jarang orang menilai warisan benar-benar standar “bangunan”, seperti dinasti-dinasti zaman Mataram kuno, yang menandai jejak-jejak sejarah kebesaran dengan monumen-monumen candi.

Parameter kemanfaatan dikaitkan dengan pewarisan fisik karena tuntutan zaman. Namun, yang sering lolos dari persamaan adalah “sisa” dalam bentuk warisan lunak dalam ekspresi ide-ide transformatif, sikap, atau dorongan (semangat) untuk mengubah perilaku.

Warisan dalam kategori ini adalah karena “Lembut‘ tidak terlihat gagah seperti ‘kuil masa kini’.

Eksistensi aktual yang dirasakan adalah realitas “reformasi” yang mungkin muncul sebagai produk tuntutan masif, persuasi yang membentuk kepatuhan dan kepemimpinan, serta memancarkan komitmen terhadap sikap. Pada akhirnya, itu juga membentuk budaya.

Bukankah warisan nilai-nilai inilah yang memiliki makna sejarah bagi sebuah perubahan?

Monumental

Saat Gubernur HM Ismail (1983-1993) membangun Gimnasium (GOR) Jatidiri di Karangrejo, Semarang, masyarakat tak ragu menyebutnya sebagai warisan monumental. Pasalnya ibu kota Jawa Tengah ini belum memiliki fasilitas olahraga yang memadai.

Kemudian “jejak” gubernur berikutnya, Soewardi (1993-1998), ditandai dengan berdirinya rumah dinas megah, WismaPeace, di kompleks Tugu Muda, Semarang.

Di bawah kepemimpinan Mardiyanto (1998-2007), Masjid Raya Jawa Tengah dibangun, yang saat ini menjadi ikon ibadah dan ramai dikunjungi wisatawan.

Biji Waluyo? Masa kepemimpinannya pada 2008-2013 ditandai dengan pembangunan jalan tol Ungaran-Bawen. Meski jalan tol tersebut merupakan proyek Ditjen Bina Marga, Seeds bertekad mewujudkan proyek jalan tol yang manfaatnya dapat dirasakan guna mengatasi kemacetan antara Banyumanik dan Bawen.

Karena empat gubernur sebelumnya telah mengukir prasasti fisik, banyak yang kemudian mengatakan bahwa Ganjar Pranovo tidak memiliki ruang tersisa untuk berekspresi dalam bentuk “monumen” untuk menginisiasi warisan dalam dua masa pemerintahannya sejak 2013. Ya, apa lagi yang dibutuhkan Jawa Tengah?

Gagasan revitalisasi infrastruktur menjadi gerakan di awal masa jabatannya, seperti Response bercanda mas Pengguna jalan membandingkan kondisi di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Betapa nyamannya menyeberang di Jawa Timur karena jalanannya mulus. Namun, kita yang tidur, terbuai mimpi, tiba-tiba terbangun karena tiba-tiba merasakannya mendengus. “Oh, sepertinya sudah menginvasi wilayah Jawa Tengah…”.

Ini adalah contoh dasar nyata untuk memusatkan pembangunan pada pentingnya infrastruktur. Bahkan, 1.000 kilometer jalan provinsi dibangun sebagai bagian dari komitmen tersebut.

Opsi “Pengaturan”.

Meninggalkan warisan bangunan fisik yang monumental tidak selalu tampak seperti “sikap” eksekutif.

Masih ingat Gubernur Jawa Tengah, Moenadi, yang memerintah dari tahun 1966 hingga 1974?

Gubernur tampan yang kala itu sibuk merogoh “blusukan” di kantong masyarakat di berbagai pelosok provinsi itu, menggunakan slogan “Modernisasi Desa” untuk menggalakkan upaya peningkatan taraf hidup layak.

Apresiasi fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK) disosialisasikan dan dilaksanakan secara intensif. Radio, Televisi Republik Indonesia (TVRI) Yogyakarta dan berbagai media bekerjasama menerjemahkan ide ini menjadi perubahan sikap dan budaya masyarakat.

Soepardjo Rustam (1974-1983) menguat warisan Moenadi melalui penggalakan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), didukung aktivitas istri Kardinah sebagai penggerak.

Bukankah ini ide dan warisan transformatif yang mengubah mata pencaharian masyarakat?

Ketika Ganjar Pranovo “mencairkan” birokrasi pemerintah dengan melewati layanan (koneksi), harus diakui bahwa terjadi “kejutan birokrasi”.

Reformasi aparatur sipil negara tidak sekadar menjadi jargon politik melalui berbagai pernyataan. Namun, itu benar-benar digunakan sebagai praktik birokrasi.

Berbagai saluran pengaduan memungkinkan masyarakat dengan cepat menyampaikan pengaduan, koreksi, dan berbagai penyimpangan dalam pelayanan aparatur pemerintah. Warga bisa langsung menghubungi gubernur yang juga bisa melakukan hal yang samauntuk memberi nama Pengaduan kepada pihak yang berwenang. Contoh paling sederhana adalah masalah jalan atau jembatan yang rusak.

Model yang menjangkau berbagai platform media sosial (Medsos) ini pada akhirnya menjadi budaya pelayanan publik dengan landasan engagement dan fungsionalisasi media sosial.

Tuduhan imajinasi karena menempati media sosial, sebenarnya bisa dijawab dengan realitas fungsionalisasi, karena ada tujuan yang berorientasi, yaitu mempercepat jangkauan layanan. Ini tidak harus menunggu garis waktu formal untuk penyelesaian masalah.

Keterbukaan informasi publik menjadi warisan lunak apa yang benar-benar menonjol. Sejak 2018 hingga 2021, selama empat tahun berturut-turut Jawa Tengah meraih penghargaan ini. Hal ini menjadi ‘tantangan’ bagaimana membangun budaya masyarakat yang sadar akan haknya atas informasi yang mereka butuhkan di masa depan.

Aura birokrasi dihilangkan dari kesan formalistik, seram dan berbelit-belit. Gagasan “reformasi” ini menjawab sindiran klasik kementerian: “Kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah?”.

transformasi budaya

Reformasi Aparatur Sipil Negara memiliki makna transformasi budaya. Hal ini tidak hanya berlaku bagi aparatur negara (ASN), tetapi juga untuk mengedukasi masyarakat agar lebih memahami hak dan kewajibannya. Masyarakat bisa berbangga memiliki seorang pemimpin sebagai sejenis pohon yang kehadirannya sangat fungsional.

“Warisan nilai-nilai” penting lainnya adalah penanganan yang longgar terhadap kantong-kantong masyarakat. Kegembiraan memiliki pemimpin yang akrab, memiliki pesona pribadi, dan karismatik membuatnya mudah untuk membujuk orang. Misalnya saat mengkomunikasikan pedoman di masa pandemi Covid-19.

Bukankah seharusnya aura kecerdasan, keakraban biasa, dan kepekaan gestur juga dilihat sebagai hal yang menentukanmendukung Transformasi nilai dari apa saja pengertian reformasi sikap?

Ya, tentu saja kami hanya ingin mengartikannya seperti itu. Misalnya, predikat Jawa Tengah sebagai provinsi dengan integritas terbesar menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2020 dan 2021.

Tak hanya itu, Jateng juga menjadi juara umum KPK antikorupsi versi 2018 dan 2020. Komitmen itu juga terlihat dari penghematan dana pemerintah sebesar Rp 1 triliun. penganggaran elektronik.

Kita bisa mengamati sisi-sisi lain yang tidak tampak, seperti “kemegahan” heritage di bidang ekonomi. Jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bertambah menjadi 86.917 orang dengan tambahan 840.508 karyawan.

Contoh lain adalah program revitalisasi 79 pasar tradisional, rehabilitasi 80.000 rumah warga miskin, pembangunan 1.136 desa tambak, pembangunan 42.181 jamban untuk warga miskin, revitalisasi 818 desa wisata, penyediaan listrik 24 jam untuk Kepulauan Karimunjawa dan membesarkan 120 kelompok kesenian tradisional desa.

Di sektor transportasi massal, Jawa Tengah menerapkan moda transportasi modern dan murah yakni Trans Jateng di enam wilayah. Moda transportasi ini sudah sangat dinikmati oleh masyarakat.

Ganjar juga memprakarsai pembangunan tiga bandara baru dan mendorong pembangunan 17 pusat perbelanjaan umum.

dalam pendidikan, warisan yang ia ukir adalah asli, yakni bangunan 15 sekolah menengah kejuruan (SMK) berasrama khusus untuk siswa miskin. Langkah ini tercatat sebagai yang pertama di Indonesia.

Peninggalan-peninggalan ini layak untuk dimaknai sebagai warisan lunak yang lebih merupakan penilaian. Bukankah setiap pemimpin hanya “berani” memilih “jalan sunyi” – yang mungkin tidak sepopuler membangun bangunan fisik – saat menorehkan monumen?

dapatkan pembaruan pesan yang dipilih dan berita terkini setiap hari dari Kompas.com. Yuk gabung di grup Telegram “Kompas.com News Update” caranya klik link lalu gabung. Anda harus menginstal aplikasi Telegram terlebih dahulu di ponsel Anda.

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button