Pelajaran Perjalanan: Pikiran Cinta Alam Gunungkidul - Semua Sisi - WisataHits
Yogyakarta

Pelajaran Perjalanan: Pikiran Cinta Alam Gunungkidul – Semua Sisi

Pemimpin Redaksi National Geographic Indonesia Didi Kaspi Kasim dan penjelajah Marshall Sastra mengunjungi Marsono, seorang aktivis Wayang Sada.  Wayang Sada terbuat dari bahan daur ulang dan sisa tanaman agar ramah lingkungan dan mendorong kreativitas.

Donny Fernando/National Geographic Indonesia

Pemimpin Redaksi National Geographic Indonesia Didi Kaspi Kasim dan penjelajah Marshall Sastra mengunjungi Marsono, seorang aktivis Wayang Sada. Wayang Sada terbuat dari bahan daur ulang dan sisa tanaman agar ramah lingkungan dan mendorong kreativitas.

Nationalgeographic.co.id – Dulu, Kabupaten Gunungkidul di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bukanlah daerah yang menarik bagi wisatawan.

Kondisi geologisnya yang dipenuhi karst dan sedikit tandus menjadi penghambat pengembangan potensi wisata. Beberapa tempat wisata bahkan masih dikaitkan dengan mitos yang enggan dikunjungi warganya sendiri.

Kini Gunungkidul telah menjadi salah satu tujuan utama para pelancong seiring berjalannya waktu. Kisah kebangkitan pariwisata Gunungkidul inilah yang menarik perhatian pemimpin redaksi National Geographic Indonesia Didi Kaspi Kasim dan petualang Marshall Sastra dalam ekspedisi “Lesson Trip” di Toyota New Rush GR Sport.

“Masyarakat Gunungkidul dikenal hidup di bawah garis kemiskinan. Ini (daerah) gersang, sampai pohon masuk, ditebang, karena disana harus masak Tidak cukup kuat untuk membeli minyak tanah,” kata Cahyo Alkantana. Ia tinggal di Gunungkidul dan merupakan penggiat wisata goa Jomblang.

Ia menemukan Gua Jomblang pada tahun 1983 saat melakukan penelitian di perguruan tinggi. Gua yang terbentuk dari jatuhnya bumilubang pembuangan) masih sering dianggap oleh masyarakat pada waktu itu sebagai tempat “anak-anak jin buangan”.

Beberapa tahun kemudian ia sempat pergi ke Prancis dan melihat sebuah gua yang sering dikunjungi turis. Menurutnya, Goa Jomblang bisa bersaing dengan goa ini. Ia lalu pulang dan memperluas Gua Jomblang yang dulu mistis menjadi berkah bagi warga sekitar.

Baca Juga: Pulang-Pulang Lewat Jalur Pansela? Luangkan waktu Anda untuk tempat-tempat wisata yang berbeda ini

Baca juga: Pejuang malam kehidupan saat kita bergantung pada kelelawar

Baca juga: Shelter Di Bawah Atap Joglo: Kediaman Pendeta Aristokrat Jawa

Baca juga: “Portegical Demand” Kontroversi Arsitek Taman Sari, Yogyakarta

“Saat itu saya berpikir saya harus kembali ke Gunungkidul untuk memulihkan diri. Saya tidak bangun di desa saya sendiri. Akhirnya terbangunlah wisata goa seperti Goa Jomblang, Goa Cokro dan Goa Pindul,” jelas Cahyo. Ia sendiri merupakan pecinta olahraga ekstrim seperti caving. Dia mengenal Gua Jomblang dengan sangat baik dan mengundang Didi dan Marshall untuk menjelajahinya.

Hutan purba di bawah Gua Jomblang.  Terpencil dari jangkauan manusia dan kurangnya cahaya, kita dapat mempelajari semua tanaman yang hidup di masa lalu.

Donny Fernando/National Geographic Indonesia

Hutan purba di bawah Gua Jomblang. Terpencil dari jangkauan manusia dan kurangnya cahaya, kita dapat mempelajari semua tanaman yang hidup di masa lalu.

Awalnya, Cahyo kesulitan membuka tempat ini sebagai destinasi wisata. Ia mencoba memperkenalkan dunia bawah tanah yang belum pernah dilihat masyarakat Gunungkidul sebelumnya.

Di dalamnya ada hutan purba yang telah dilestarikan karena peristiwa geologis. Kondisi di bawah goa jarang dijamah oleh manusia dan ada pula yang selalu menjadi tempat gelap, sehingga sebagian besar spesies tumbuhan tidak pernah ada di atas permukaan.

“Bagaimana Anda akan melestarikannya jika Anda tidak mengetahuinya?” kata Cayo. Dia perlahan mengembangkan bisnis pariwisata. Peluangnya adalah menarik wisatawan mancanegara terlebih dahulu. Omong-omong, Yogyakarta sering dikunjungi wisatawan. Kemudian hanya pengunjung lokal jika sudah begitu terkenal.

Usai menjajal penjelajahan goa, Cahyo menantang mereka untuk menyantap belalang goreng khas Gunungkidul. Tantangan diterima. Didi dan Marshall segera mencari makanan setelah keluar dari Gua Jomblang. Rasanya cukup renyah, gurih dan cukup pedas, mungkin karena bumbu yang diolah.

Nafas yang memasuki Gua Jomblang di Daerah Istimewa Yogyakarta.  Pemandangan yang indah mempesona pengunjung untuk mengunjungi dunia yang tersembunyi di bawah bumi.

Donny Fernando/National Geographic Indonesia

Nafas yang memasuki Gua Jomblang di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemandangan yang indah mempesona pengunjung untuk mengunjungi dunia yang tersembunyi di bawah bumi.

Tidak hanya dengan pengenalan alam yang mengubah pandangan mistis menjadi wisata konservasi, sisi budaya masyarakat juga berkembang. Usai bertemu Cahyo, perjalanannya ke Wonosari, lebih tepatnya ke kediaman Marsono sebagai aktivis Wayang Sada.

Wayang Sada berbeda dari yang lain. Seperti namanya Sedih yang artinya tongkat dalam bahasa Jawa. Di balik nama Sada ada filosofi yang Marsono kembangkan sendiri: keselarasan antara dunia dan akhirat.

Sumpit yang digunakan untuk membuat soda berasal dari sampah organik yang tidak terpakai. Misalnya daunnya yang sering digunakan untuk membuat ketupat saat lebaran, banyak orang yang membuang sumpitnya. Inilah yang digunakan Marsono. Ia juga bisa mengemas ijuk menjadi tali yang mengikat sadah wayang.

Dia menemukan pengetahuannya membuat boneka dari tanaman ketika dia masih kecil bermain di ladang. Namun, pembuatannya sebagai alat pementasan dan suvenir baru berlanjut sejak 2011, seiring dengan banyaknya turis yang berbondong-bondong ke daerah tersebut. Tempat tinggalnya sangat dekat dengan Gua Pindul, sehingga Wayang Sada menjadi destinasi budaya yang wajib dikunjungi.

“Aku baru saja melihat sesuatu seperti ini. Saya pernah melihat wayang berinovasi dari sampah. Peduli lingkungan sungguh,” kata Marshall. Ia dan Didi mencoba sesuatu yang baru untuk belajar membuat wayang dari tumbuhan di bawah bimbingan Marsono dan muridnya Rofitasari Rahayu.

Tidak hanya boneka yang terbuat dari bahan alami. Pertunjukan wayang biasanya memiliki musik pengiring. Untuk musik latar Wayang Sada, Marsono membuat bahan alami yaitu cangkang keong mati.

Petualang Marshall Sastra (kiri) dan Pemimpin Redaksi National Geographic Indonesia (kanan) menonton Wayang Sada Marsono (tengah) sambil memainkan musik pengiring.  Kesenian ini menggunakan bahan alam daur ulang sebagai sumber kreasinya.

Donny Fernando/National Geographic Indonesia

Petualang Marshall Sastra (kiri) dan Pemimpin Redaksi National Geographic Indonesia (kanan) menonton Wayang Sada Marsono (tengah) sambil memainkan musik pengiring. Kesenian ini menggunakan bahan alam daur ulang sebagai sumber kreasinya.

“Siput adalah hama sawah. Saya sudah mencoba menggunakan cangkangnya sebagai musik pengiring permainan wayang,” jelas Marsono.

Kreasi Wayang Sada Marsono tidak hanya terbatas dari segi bahan dan bentuk. Wayang sada memiliki cerita tersendiri dalam pementasannya. Ada dua cerita Marsono, yaitu tentang penemuan Gua Pindul sebagai wisata alam dan Cangkir Gading Kromo. Cangkir Gading Kromo merupakan fabel yang terinspirasi dari daur hidup pohon kelapa yang identik dengan lingkungan Marsono.

Sayangnya, Wayang Sada sebagai bentuk baru dari Wayang menghadapi tantangan besar bagi generasi berikutnya. Marsono mengatakan, antusiasme generasi muda sebenarnya sangat tinggi. Ia mencontohkan keponakannya mengambil wayang sada Marsono pertama karena bentuknya yang menarik.

Menurut Marsono, anak-anak dari SD hingga SMP juga antusias mengikutinya. Masalahnya, ketika anak-anak ini lulus dan melanjutkan kehidupan mereka di kota, boneka-boneka ini dilupakan oleh mereka. Belum lagi di luar negeri belum tentu ada limbah atau bahan baku yang cocok untuk membuat wayang sada.

Marsono saat ini mengandalkan Rofitasari Rahayu. Ia biasa disapa Ayu yang merupakan sahabatnya yang tuli dan bisu. Marsono melihat bahwa ia memiliki kemampuan seni yang luar biasa, tidak hanya dalam wayang sada tetapi juga dalam seni lukis.

Pelajaran yang dipetik dari perjalanan ini membuktikan bahwa masyarakat, khususnya di Gunungkidul, memiliki cerita untuk berubah. Anda memiliki perspektif tentang bagaimana mengubah pandangan negatif menjadi peluang untuk belajar tentang alam. Perspektif barunya juga membuka kemungkinan bahwa budaya dapat dikaitkan dengan perlindungan lingkungan dari sampah.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google Berita

KONTEN IKLAN

Video Unggulan

Source: nationalgeographic.grid.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button