Palu dan Arit di Takeran - Berita Kab - WisataHits
Jawa Tengah

Palu dan Arit di Takeran – Berita Kab

Melalui: Selamat ginting

Jakarta, KABNews.id – Tiga anak laki-laki sedang duduk di tangga sebuah monumen. Mereka mengaku siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang sedang berlibur. Mereka mengenakan t-shirt hitam dan celana jeans biru yang serasi dan mengobrol dan tertawa bahagia.

Ketika ditanya apa yang Anda lakukan dan mengapa Anda mengunjungi monumen dan tugu peringatan di Dusun Kresek, Kabupaten Madiun? Mereka mengaku tidak tahu bahwa tempat ini adalah tempat peringatan kekerasan PKI 1948: “Saya tidak tahu. Dia main-main saja karena dia di atas,” kata salah seorang remaja, Selasa sore (17 Mei).

Pada tanggal 18 September 1948 terjadi lubang pembunuhan di sumur tua Dusun Kresek, Desa Dungus, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun. 17 mayat ditemukan di tepi bukit sekitar 68 tahun yang lalu. Ini termasuk perwira militer, anggota DPRD, wartawan, kiai dan rakyat biasa.

Pembantaian Dusun Kresek dilakukan oleh PKI karena posisinya telah terjepit oleh pasukan Siliwangi. Dalam perjalanan ke Kediri mereka tersesat di Kresek. Karena tidak sabar untuk membawa begitu banyak tahanan, mereka membantainya di tepi bukit dan kemudian menguburnya di sebuah sumur tua.

Terungkapnya sumur ini sebagai tempat pembantaian berasal dari sebuah laporan yang diberikan oleh seorang warga Desa Kresek yang mengaku telah menyaksikan kejadian keji itu.

kader Partai Komunis Indonesia (PKI). (Foto: Perpustakaan Nasional)

Ya, sekarang tugu peringatan dan tugu kekejaman yang dilakukan oleh PKI pada tahun 1948 telah didirikan di Kresek. Di antara 17 orang yang menjadi korban pembantaian PKI adalah Kolonel Marhadi, Letkol Wiyono, Kapolsek Suparbak, Mayor Istiklah, RM Sarojono (Bupati Madiun), Kiai Husen (Anggota DPRD Kabupaten Madiun), Mohamad (dinas kesehatan). ). Panitera), Abdul Rohman (Asisten Wedono), Sosro Diprodjo (Pegawai Rejo Agung PG), Suharto (Guru Sekolah Pertanian Madiun), Sapirin (Guru Sekolah Budi Utomo Madiun), Supardi (Wartawan Madiun), KH Sidiq, Sukadi (pemimpin masyarakat). ), R Charis Bogio (Wedono Kanigoro), KH Barokah Fachrudin (Ulama) dan Maidi Marto Disomo (agen polisi).

Tugu Peringatan Kekejaman PKI di Kresek didirikan untuk mengenang kekejaman PKI dalam membantai lawan politiknya. Dengan harapan, tentunya pemahaman di ibu pertiwi itu tidak lagi meningkat.

Tragedi Takeran

Tindakan PKI pada pemberontakan Madiun tahun 1948 mau tidak mau menjadikan pesantren sebagai sasaran utama mereka. Sekolah agama Islam yang dijalankan oleh Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan lembaga-lembaga Islam lainnya dianggap sebagai musuh terbesar PKI.

Mengikuti jejak kepemimpinan Uni Soviet, Joseph Stalin mencengkeram umat Islam Asia Tengah. Jutaan Muslim dibunuh dan diasingkan ke Siberia. Ketua Komite Sentral PKI, Muso, yang baru saja kembali dari Uni Soviet, mengikuti jejak Stalin dan memegang jarinya di sederet pesantren.

Kondisi Pasca Peristiwa Madiun 1948. (Foto: Istimewa)

Slogan PKI, “Pondok Bobrok, Langgar Dibubarkan, Santri Mati,” berhasil melumpuhkan sejumlah pesantren di Magetan, Jawa Timur. Salah satu pesantren yang menjadi sasaran PKI adalah Takeran. Pesantren ini secara geografis sangat dekat dengan Gorang Gareng. Di sinilah terjadi pembantaian PKI di Gorang Gareng.

Pesantren Takeran dikenal juga dengan nama Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien yang dipimpin oleh Kiai Imam Mursjid Muttaqien. Bisa dikatakan pesantren ini cukup terkenal di Magetan. Pemimpin mereka memiliki pengaruh yang sangat besar karena Kiai Imam Mursjid juga bertindak sebagai Imam dari komunitas Syatariyah. PKI melihat beberapa kiai sedang berusaha melatih santrinya. Baik latihan fisik maupun mental.

Pada tanggal 17 September 1948, Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang berasal dari Tulung Agung dan Tegal Rejo berangkat ke Burikan. Usai salat Jumat, Imam Mursjid didatangi perwakilan PKI. Menurut Kiai Haji Ma’ruf Na wawi, para kiai kemudian diundang untuk membahas rencana pendirian Republik Soviet Indonesia.

Kepergian pemimpin pesantren, lanjut Maruf, menimbulkan tanda tanya besar. Dua hari kemudian, keberadaan Imam Mursjid tidak diketahui secara pasti. PKI terus menangkap dan menculik guru agama lain seperti Ahmad Baidway, Husein, Hartono dan Hadi Addaba.

Wisatawan menikmati suasana peringatan korban kekerasan PKI di Desa Kresek, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Selasa (1/6/2021). Sebagian warga memanfaatkan libur hari jadi Pancasila untuk berwisata ke objek wisata di kaki Gunung Wilis. (Foto: Republica)

Mereka tidak pernah kembali. Bahkan, kebanyakan dari mereka ditemukan tewas di lubang-lubang pembunuhan yang tersebar di seluruh Magetan. Keberadaan Kiai Mursjid belum diketahui. Nama Kiai Mursjid tidak masuk dalam daftar korban yang disusun PKI.

Salah satu korban PKI di sumur tua Cigrok adalah Kiai Haji Imam Shofwan, pengurus pondok pesantren Thorikussu’ada Rejo Sari, Madiun. Shofwan dikubur hidup-hidup di dalam sumur setelah mengalami banyak siksaan. Jangan heran, di beberapa tempat di Magetan dan Madiun terdapat beberapa sumur tua yang menjadi tempat terjadinya pembantaian.

air mancur tua

Desa kecil Soco hanya beberapa ratus meter di selatan Bandara Iswahyudi. Termasuk dalam wilayah Kecamatan Bendo Kabupaten Magetan. Berlatarkan peristiwa berdarah pemberontakan PKI tahun 1948, Soco punya cerita khusus yang menyedot duka.

Di desa ini ada sumur tua tempat PKI membantai. Ratusan korban pembunuhan keji PKI dikubur bersama di dalam lubang sumur yang luasnya tak lebih dari satu meter persegi itu. Melalui desa ini truk tebu menuju Pabrik Gula Glodok, Pabrik Gula Kanigoro dan Pabrik Gula Gorang-Gareng.

Tugu Peringatan Kekerasan PKI atau Tugu Kresek adalah tugu peringatan dengan relief dan patung yang menggambarkan kekejaman PKI di Madiun pada tahun 1948. (Foto: Republica)

Tak kurang 108 jenazah korban kekejaman PKI ditemukan di sumur tua Desa Soco. Sebanyak 78 di antaranya dapat diidentifikasi sedangkan sisanya tidak diketahui. Sumur-sumur tua itu dirancang oleh PKI sebagai tempat pembantaian massal sebelum melakukan pemberontakan.

Beberapa nama korban yang menjadi korban pembantaian Desa Soco adalah Bupati Ma done Sudibjo, Jaksa R. Moerti, Muhammad Suhud (ayah dari mantan Ketua DPR/MPR Kharis Suhud), Kapten Sumarno dan beberapa pejabat pemerintah dan masyarakat setempat. pemimpin. Di antaranya KH Soelaiman Zuhdi Affandi, Ketua Pondok Pesantren ath-Thohirin Mojopurno, Magetan.

Pengunjung melihat patung yang menggambarkan kekejaman yang dilakukan oleh PKI yang beroperasi dalam kerusuhan Madiun 1948. Tugu di Kresek ini memperingati peristiwa sejarah kelam ini. (Foto: Republica)

Dari sekian banyak sumur yang digunakan PKI untuk pembantaian di sekitar Magetan, sumur tua di Desa Bangsri adalah yang tertua. Sumur kuno ini terletak di tengah ladang singkong di Dukuh Dadapan. Sekitar 10 korban PKI dibantai di sini. Kebanyakan dari mereka adalah warga biasa yang dianggap menentang atau menentang PKI.

Sebanyak 22 orang tewas dalam pembantaian di sumur tua di Desa Cigrok. Bergabung dengan KH Imam Shofwan dan kedua putranya adalah Hadi Addaba dan Imam Faham dari Pondok Pesantren Sabilil Muttaqin, Takeran. Imam Faham adalah adik dari Muhammad Suhud, paman dari Kharis Suhud.

Acara pada 22 Oktober

Salah satu peristiwa berdarah Gerakan 30 September 1965 adalah peristiwa 22 Oktober 1965. Tragedi ini sedikit diketahui masyarakat umum. Kota Solo menjadi kota berdarah dalam peristiwa yang menewaskan 23 orang tersebut. Kebanyakan dari mereka adalah warga Muhammadiyah yang anti komunis.

Berawal dari peristiwa 30 September 1965, di mana enam jenderal dan seorang perwira pertama tentara tewas. Sehari kemudian, para pelaku gerakan mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi Indonesia. Di Solo, pada tanggal 2 Oktober 1965, Walikota Solo, Utoyo Ramelan, mengumumkan pembentukan Pemerintahan Dewan Revolusi Kota Surakarta.

Pemimpin PKI, DN Aidit, bersembunyi di rumah Walikota Utoyo Ramelan hingga 5 Oktober 1965. Kemudian, pada 21 Oktober, tersiar kabar bahwa Kolonel Katamso telah dibunuh oleh PKI di Solo. Massa PKI mengepung Depot Pendidikan Angkatan Darat di Klaten, Jawa Tengah.

Kemudian pada tanggal 22 Oktober datang pemogokan bus di Gemblengan Solo. Pemuda Rakyat yang tergabung dalam PKI mengenakan seragam tentara serba hijau dan menutup mulutnya dengan kain merah. Mereka menodongkan senjata ke beberapa pengendara.

Para Resimen Komando Angkatan Darat (RPKAD) memasuki Solo dan sekitarnya, bersiap mengejar PKI yang merupakan partai mayoritas di Solo. Seka ligus menghadiri pemakaman Kolonel Katamso. Pada 22 Oktober, PKI menangkap pengunjuk rasa di daerah Petoran, Warung Pelam, Kampung Sewu dan Sangkrah. Para pengunjuk rasa yang ditangkap oleh PKI dibawa ke sebuah kafe. Di sana mereka mengalami siksaan. Mereka dibunuh oleh komplotan PKI di Kedung Kopi.

Sebanyak 23 orang dibunuh oleh PKI di warnet tersebut. Dari 23 orang tersebut, tiga di antaranya beragama Katolik. Sedangkan 20 lainnya beragama Islam dan sebagian besar adalah aktivis pemuda Muhammadiyah. Sejak saat itu, para pemuda bersatu dalam organisasi anti komunis dan bergabung dengan Satuan Aksi Gestapu PKI, disingkat KAP Gestapu, atas prakarsa Mayor Sudjono dari KOTI.

Pada akhir Oktober 1965, Jawa Tengah dinyatakan sebagai zona perang melawan PKI. TNI dan masyarakat akhirnya sepakat untuk bekerja sama menjatuhkan pimpinan tertinggi PKI, DN Aidit. Pada 21 November 1965, DN Aidit ditangkap. Begitu juga dengan sejumlah tokoh PKI, antara lain mantan Kolonel Sahirman, mantan Kolonel Mardjono dan mantan Mayor Sukirno.

Dikutip dari Republika.co.id pada Senin 12 September 2022.

Seperti ini:

Seperti Memuat…

Source: kabnews.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button