Melihat kisah Solo menjadi sarang kuliner daging anjing bagi budaya Mendem - WisataHits
Yogyakarta

Melihat kisah Solo menjadi sarang kuliner daging anjing bagi budaya Mendem

Harianjogja.com, SOLO-Mendengar kata “Kota Solo” pasti banyak hal yang menarik dan unik untuk diceritakan. Beberapa di antaranya tentang masakan daging anjing dan budaya kebencian masyarakat.

Menemukan menu stand-up olahan daging anjing tidak sulit di kota Solo. Lokasinya tersebar di berbagai daerah dan secara terang-terangan para pemilik toko berani memasang poster di depan standnya.

Menemukan warung yang oleh sebagian warga disebut “warung sate jamu” tidaklah sulit. Bahkan beberapa pecinta kuliner daging anjing memiliki stand favoritnya masing-masing.

Heri Priyatmoko, dosen sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, mengatakan ada puluhan warung sate jamu di Solo. Ada warung pagi, siang dan sore yang menjual aneka olahan daging anjing. Seperti satai, tongseng, rica-rica, grabyasan atau gorengan dan menu yang dipadukan dengan nasi goreng.

Baca Juga: Lagi Ditipu, Begini Komentar Warganet Soal Kenaikan Harga BBM

Penulis buku History of Solo Culinary Tourism ini mengatakan, tidak sedikit orang yang menyukai Rica-Rica meski terbuat dari tulang dan sedikit daging. Penyajian bumbu pedas dan hangat lebih disukai konsumen.

Sementara itu, makanan grabyasan dikemas dalam bungkusan kecil berisi beberapa potong kecil daging goreng. Hingga akhir 1980-an, masih ada pedagang keliling di desa yang menawarkan grabyasan.

Menurut Heri, pada tahun 1940-an ada tokoh yang menjual olahan daging anjing yang cukup dikenal masyarakat. Karakter tersebut dikenal sebagai Mitro Jologug, yang berarti anjing penangkap. Angka ini menjual anjing Rica Rica. Bisnisnya turun temurun dari anak, cucu hingga mantan asisten di tokonya.

Merujuk pada sejarawan Anthony Reid (2011), di Asia Tenggara, anjing dimakan warga karena dimaknai sebagai bukan binatang.

Soal ketahanan kuliner daging anjing, kata Heri, tak lepas dari keberadaan konsumen yang masih mencarinya. “Dan kaderisasi itu berjalan seperti sekeranjang sate jamu dan mewariskan seni olah kepada anak cucunya,” ujarnya, Sabtu (9/3/2022).

Ada karena Abangan

Kuliner daging anjing bertahan hingga saat ini berkat keberadaan suku Abangan. Selain itu, juga karena suburnya budaya mabuk-mabukan alias amarah warga yang kebanyakan dipadu dengan trampolin atau makanan ringan.

Trabulus ini biasanya berupa olahan daging atau tulang anjing. Wartawan Bromartani menyebut tradisi mabuk-mabukan yang mewabah di Solo pada 25 Agustus 1881. Artikel tersebut menyatakan bahwa Solo adalah lahan basah untuk bisnis wine.

Tiga dekade kemudian, wartawan Darmo Kondo melaporkan temuannya tentang arak ilegal. Polisi Jokowesti dikatakan telah menangkap dua wanita yang membawa anggur hitam di Coyudan. Mereka kemudian ditangkap polisi.

“Budaya omben-omben, atau mabuk-mabukan, telah merajalela di Solo selama beberapa dekade. Pendukungnya tidak banyak. Untuk memunculkan terminologi lokal yang tidak ditemukan di daerah lain, Anda menuntut,” katanya. Istilah itu rupanya tercatat dalam Bromartani edisi 28 Juni 1883.

Source: news.harianjogja.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button