Melihat Sejarah Akulturasi Candi Ngawen oleh Dua Agama yang Berbeda • Radar Jogja - WisataHits
Yogyakarta

Melihat Sejarah Akulturasi Candi Ngawen oleh Dua Agama yang Berbeda • Radar Jogja

RADAR JOGJA – Kabupaten Magelang memiliki berbagai jejak sejarah. Kalau bicara candi, tidak hanya candi Borobudur, Pawon atau Mendut. Namun ada beberapa candi peninggalan nenek moyang terdahulu yang keberadaannya seringkali tidak diketahui masyarakat.

Salah satunya adalah Pura Ngawen. Terletak di Desa Ngawen Kecamatan Muntilan, candi ini dibangun oleh Dinasti Syailendra pada abad ke-8 pada masa Kerajaan Mataram Kuno.

Setelah Candi Borobudur dipugar pada tahun 1907-1911 oleh Theodoor Van Erp, jemaah juga menemukan batu yang terkubur di dalam tanah. Kemudian mereka melaporkannya kepada pemulih candi. Setelah itu, para pemulih ikut serta dalam eksplorasi di daerah tempat ditemukannya batu-batuan tersebut.

“Rupanya sebuah candi bernama Candi Ngawen ditemukan. Karena prasasti itu tidak ditemukan, maka dinamai dusun tempat ditemukannya,” kata Sumantoro, teknisi konservasi di Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah, Kamis (11/8).

Ia menjelaskan, bangunan ini terdiri dari lima candi yang berjajar dari utara ke selatan. Kemudian mereka diberi nama Candi I, II, III, IV dan V. Lima bangunan mewakili lima Buddha kebijaksanaan. Masing-masing mewakili titik mata angin dan pusat mandala.
Dari kelima candi tersebut, dua di antaranya memiliki arca singa yang berdiri dengan kaki belakangnya di keempat sudut candi. Yang menggambarkan suatu kekuatan.

Dijelaskannya, pada pemugaran pertama tahun 1925-1927, Candi Ngawen yang dibuka pertama kali ini adalah Candi I dan II. Sedangkan untuk pemugaran kedua tahun 2011-2012 yaitu Candi IV. “Candi III dan V, meski belum ada pemugaran. Tapi masih direncanakan,” jelasnya.

Menurutnya, untuk pemugaran, batu candi harus 70 persen batu asli. Sementara itu, kata dia, pencarian dan atribusi batu di masing-masing candi masih berlangsung.

Selama ini, Pura Ngawen digunakan oleh umat Buddha untuk berdoa. Namun, ada juga orang yang hanya ingin mengunjunginya karena terbuka untuk umum. Baik untuk budaya maupun pariwisata. Hal ini untuk mendukung Desa Ngawen sebagai desa wisata.

Meski terkenal dengan gaya Buddhisnya, namun jika dilihat lebih dekat ada unsur Hindu yang menaunginya. Selain ciri-ciri memiliki stupa dan teras bertingkat yang menjadi simbol candi Buddha, ada beberapa fakta lain.

Sementara sebagian besar candi Buddha menghadap ke barat, candi Ngawen ini menghadap ke timur, yang merupakan ciri khas candi Hindu. Jadi bisa dibilang pura dengan luas sekitar 3.373 meter persegi ini merupakan akulturasi dari dua agama. Antara Budha dan Hindu.

Sumantoro mengatakan, masuk ke Pura Ngawen untuk saat ini gratis. Karena sesuai petunjuk Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah, tidak boleh ada dendam. “Kami juga membersihkan candi dari lumut setiap hari, serta taman dan pekarangan candi agar pengunjung tetap nyaman,” jelasnya.

Namun, keberadaan Pura Ngawen belum banyak diketahui masyarakat umum. Pengunjung hanya datang dari Magelang. Ia berharap akan ada banyak kegiatan di Pura Ngawen agar lebih dikenal kedepannya. (ya/bah)

Source: radarjogja.jawapos.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button