Kisah Orang Koja di Semarang Melestarikan Tradisi Leluhur dalam Bisnis Kacamata - Solopos.com - WisataHits
Jawa Tengah

Kisah Orang Koja di Semarang Melestarikan Tradisi Leluhur dalam Bisnis Kacamata – Solopos.com

SOLOPOS.COM – Dua orang asal kota Semarang, Koja, Uways (kiri) dan Soleh. Keduanya masih mempertahankan tradisi leluhurnya, salah satunya dalam bisnis jam tangan. (poncho Wiyono-Solopos.com)

pos tunggal. SEMARANG – Kota Semarang, tepatnya di bagian utara, merupakan daerah dengan sejarah multikultural. Berbagai bangsa datang pada masa lalu dan membentuk komunitasnya sendiri di bagian utara kota Semarang, salah satunya adalah suku Koja.

Koja adalah sebutan untuk orang keturunan India yang beragama Islam di Indonesia. Nah, di Semarang, masyarakat Koja masih memegang teguh budaya leluhurnya, salah satunya dalam bisnis kacamata dan jam tangan.

Promo Dukung BUMN Binaan UMKM Go Online, Tokopedia Registrasi 2.000 NIB

“Sepertinya sudah menjadi aturan bahwa orang Koja meminta salah satu anaknya menjadi pedagang kacamata atau jam tangan. Saya bahkan bisa bilang orang Koja pasti kerja jam tangan dan kacamata,” kata Soleh, 51 tahun, keturunan Koja yang sudah 20 tahun menggeluti bisnis jam tangan di Pasar Johar, Kota Semarang.

Soleh adalah generasi ketiga dari keluarga Koja dalam bisnis jam tangan. Awalnya, kakek Zaynal merintis bisnis tersebut. Ayah Soleh, Bakir, juga aktif di bisnis jam tangan.

“Saya memiliki tujuh saudara dan sebagian besar saudara saya telah memilih untuk menjadi karyawan. Saya memilih berdagang karena saya sangat tidak suka sekolah,” dia terkekeh.

Baca juga: Legenda! Bubur India, makanan khas bukber di Masjid Pekojan Semarang

Meski jumlah koja di Semarang tidak sebanyak orang Tionghoa atau Arab, ada juga koja Semarang yang dikenal sebagai tokoh masyarakat. Misalnya penari A. Rafiq, mantan pelatih kiper PSIS Semarang Ahmad Heldi, mantan pelatih tim sepak bola PPLP Jawa Tengah Ashadi.

pernikahan

Dengan tampang ‘Bollywood’, Soleh mengaku ada kebiasaan di keluarganya menikah dengan orang Koja lain. Meski tidak ada paksaan, Soleh mengatakan menikah dengan rekan Koja sudah menjadi “kesadaran” di antara mereka.

“Kami melihat apa yang sudah ada sejak lama. Kami masih mengisi perayaan hari raya dengan kebiasaan khusus kami. Misalnya Bubur Suro atau bubur India saat Ramadhan,” jelasnya.

Komunitas Koja di kota Semarang memiliki paguyuban resmi bernama Persatuan Majelis Umat Islam (PMM). Keturunan Koja, Uways, 40, jumlah asli Koja tidak terlacak karena tinggal terpisah.

Baca Juga: Ayo Dolan! Besok Festival Kota Tua Semarang 2022 akan berlangsung

“Di Wot Prau, Progo, Layur, Petolongan, dan Pekojan banyak. Ada beberapa di Banyumanik hingga Klipang. Anggota grup WhatsApp hanya 105 orang, tapi di luar itu masih banyak lagi,” jelas Uways.

Pria berwajah khas Asia Selatan itu mengatakan, PMM rutin mengadakan pertemuan setiap bulannya.

“Kami biasanya bertemu di Masjid Pekoyan pada hari Jumat terakhir setiap bulan. Ada pengajian dan makan bersama,” kata Uways yang bekerja di toko jam tangan milik seorang Koja.

Sementara itu, tambah Soleh, tidak sulit membedakan antara Koja dan Arab. Menurutnya, penampilan fisik orang Arab dan India sangat berbeda.

“Hidung orang arab melengkung sedangkan kita lurus. Kami juga tidak memiliki klan, sedangkan orang Arab dari Yaman memiliki klan khusus,” katanya.

Source: www.solopos.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button