Kampung Ketandan, Perpaduan Budaya Jawa dan Tionghoa di Jogja - WisataHits
Yogyakarta

Kampung Ketandan, Perpaduan Budaya Jawa dan Tionghoa di Jogja

Harianjogja.com, JAKARTA– Kampung Ketandan di Malioboro, termasuk buffer zone di kawasan Poros Filsafat, merupakan bukti nyata perpaduan budaya Jogja dan Tionghoa yang telah bertahan selama berabad-abad dan bertahan hingga saat ini. Kawasan Pecinan yang hampir setenar Malioboro kini menjadi tambahan kekayaan budaya Poros Filsafat.

Nama Ketandan berasal dari penduduk daerah tersebut pada abad ke-19. Kawasan itu dulunya dihuni oleh seorang pemungut cukai berpangkat tondo. Mereka bertugas memungut pajak dari sejumlah perdagangan Cina di daerah tersebut. Dari situlah, asal usul nama Ketandan bertahan hingga saat ini.

“Pendirian desa ketandan ini hampir bersamaan dengan Puro Pakualaman, sekarang mungkin sudah lebih dari 200 tahun,” kata pemerhati budaya Tionghoa Tjun Daka Prabawa, Kamis (13/10/2022).

DIDUKUNG:

Pada pembukaan IKM di Umbulharjo, Dinas Perinkopukm Jogja berharap IKM naik peringkat

Menurut Tjun, Kampung Ketandan juga merupakan kediaman Tan Jin Sing, seorang kapten Tionghoa yang kemudian dipercayakan oleh Hamengku Buwono III sebagai Bupati Jogja dan berganti nama menjadi Raden Tumenggung Secodiningrat. Kawasan Kampung Ketandan dulunya terbentang dari utara Beringharjo hingga Persimpangan Ketandan di selatan hingga tempat Ramayana saat ini.

“Ini Ndalem Secodiningrat, termasuk rumah saya tempat saya tinggal sekarang, yang merupakan bekas kandang kuda,” kata Tjun.

Seiring berjalannya waktu telah terjadi perubahan wajah daerah Ketandan. Pada tahun 1900-an, kota ini menjadi pusat perdagangan makanan pokok dan barang-barang herbal. Tjun memperkirakan etnis Tionghoa yang mulai menjual obat-obatan herbal di daerah tersebut merupakan bukti peleburan budaya Tionghoa dan Jawa yang sudah berlangsung lama. Hal ini dikarenakan beberapa keturunan Tionghoa yang tinggal di daerah Ketandan menikah dengan orang Jawa.

“Kemudian kami beralih ke bisnis emas pada tahun 1950, saat itu cukup banyak warga asli Ketandan yang hilang dan hanya tinggal sedikit. Sekarang tinggal tiga keluarga saja,” katanya.

Kesulitan ekonomi menjadi alasan warga Ketandan yang pernah menempati rumah di kawasan tersebut, menjualnya kepada orang lain. Dulu sangat sulit untuk menjaga kesadaran akan keaslian bangunan dan arsitektur di Ketandan. Padahal kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya. Namun, dengan sosialisasi yang optimal, masyarakat perlahan mulai membangunkan, memupuk, dan memupuk kesadarannya.

“Tantangannya sekarang adalah mengajak generasi muda untuk mengenali khazanah budaya yang tertinggal. Selain itu, rencananya kawasan ini nantinya akan menjadi pusat wisata budaya Tionghoa di Jogja. Tentu diperlukan peran generasi muda agar semangat yang perlu dilestarikan bisa terus dijalankan,” jelasnya.

BACA JUGA: Kisah Para Pelindung Budaya di Sekitar Poros Filosofi Jogja

Kepala Balai Pengelolaan Kawasan Poros Filosofis (BPKSF), Dwi Agung Hartanto mengatakan, Kampung Ketandan Jogja dikenal sebagai salah satu kawasan penggerak ekonomi di kawasan Jogja sejak dibangun hingga sekarang. Selain itu, area tersebut juga termasuk dalam buffer area domain Filosofi Axis.

“Kampung Ketandan Jogja masuk dan menjadi buffer zone bagi poros kosmologi Yogyakarta dan landmark sejarahnya, dan keberadaannya sangat penting bagi perkembangan Jogja karena menjadi salah satu motor penggerak perekonomian di Jogja dari dulu hingga sekarang. .”, kata Agung.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google Berita

Source: jogjapolitan.harianjogja.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button