Inilah kisah Sam Poo Kong, Klenteng Tionghoa tertua di kota Semarang - WisataHits
Jawa Tengah

Inilah kisah Sam Poo Kong, Klenteng Tionghoa tertua di kota Semarang

Inilah kisah Sam Poo Kong, Klenteng Tionghoa tertua di kota SemarangFoto: Klenteng Sam Poo Kong di Kota Semarang (wikipedia.org)

MIANEWS, Semarang – Ada banyak tempat wisata religi di kota Semarang Jawa Tengah. Salah satu yang sangat populer adalah Klenteng Sam Poo Kong.

Klenteng yang juga dikenal dengan nama Klenteng Gedung Batu ini berasal dari visitjawatengah.jatengprov.go.id, merupakan Klenteng Tionghoa tertua di Semarang, ibu kota provinsi Jawa Tengah. Bangunannya seluas 1.020 meter persegi dan dipengaruhi oleh gaya arsitektur Cina dan Jawa abad ke-14.

Pagoda ini dicat merah megah dengan atap pagoda bertingkat tiga khas budaya Asia Timur. Pondasi klenteng pertama kali dibangun oleh Laksamana Cheng Ho, seorang penjelajah muslim dari daratan Cina.

Baca Juga: Perayaan Imlek di Semarang, Anda Bisa Mengunjungi Empat Klenteng Ini

Setelah beberapa waktu, Zheng He meninggalkan Jawa, tetapi banyak anggota krunya memutuskan untuk tinggal di daerah itu dan menetap. Mereka menikah dengan penduduk setempat, dan sampai hari ini, Simongan dihuni oleh keturunan Tionghoa.

Pada tahun 1704, candi dan gua asli runtuh karena tanah longsor. Penduduk setempat membangunnya kembali 20 tahun kemudian di lokasi yang berbeda, lebih dekat ke pusat kota dan lebih jauh dari daerah yang rentan terhadap pembusukan unsur-unsur alam. Itu berfungsi baik sebagai tempat pemujaan dan kuil menghormati Zheng He atas jasanya kepada masyarakat.

Sejarah Klenteng Agung Sam Poo Kong di Semarang

Berawal dari shampooong.co.id, Laksamana Zheng He (Cheng Ho) lahir dengan nama Ma San Bao. Itulah sebabnya pagoda/kuil ke Zheng He menggunakan nama Sam Poo Kong. Dalam dialek Hokkien, Sam Poo Kong atau San Bao Dong (Mandarin) berarti Gua San Bao.

Asal mula Klenteng Sam Poo Kong bermula pada saat armada kapal Zheng He berlabuh di Pantai Simongan – Semarang – karena juru mudi mereka, Wang Jing Hong, sedang sakit parah. Sebuah gua batu berfungsi sebagai tempat untuk mengistirahatkan Zheng He dan merawat Wang Jing Hong. Sementara juru mudinya pulih, Zheng He melanjutkan perjalanannya ke timur untuk menyelesaikan misi penjaga perdamaian dan perdagangan tembikar dan rempah-rempah.

Selama di Simongan, Wang memimpin anak buahnya untuk menggarap tanah, membangun rumah, dan berbaur dengan penduduk setempat. Daerah di sekitar gua berkembang dan makmur melalui kegiatan perdagangan dan pertanian. Untuk menghormati pemimpinnya, Wang mendirikan patung Zheng He di gua batu untuk dihormati dan dikenang oleh masyarakat setempat. Inilah awal mula dibangunnya Klenteng Sam Poo Kong di Semarang.

Wang meninggal pada usia 87 dan dimakamkan di dekatnya. Sejak itu disebut makam Kyai Juru Mudi. Saat goa batu runtuh akibat longsor, masyarakat membangun goa buatan yang terletak di sebelah makam Kyai Juru Mudi.

Selama perjalanannya, Klenteng Sam Poo Kong mengalami beberapa kali pemugaran. Selain situasi politik yang tidak menentu setelah kemerdekaan, banjir merupakan masalah utama bagi Klenteng Sam Poo Kong. Revitalisasi besar-besaran dilakukan oleh Sam Poo Kong Foundation pada Januari 2002. Pemugaran selesai pada Agustus 2005 sehubungan dengan peringatan 600 tahun kedatangan Laksamana Zheng He di pulau Jawa. Peresmian tersebut dihadiri oleh Menteri Perdagangan RI – Mari Elka Pangestu yang datang ke Klenteng Sam Poo Kong, dan Gubernur Jawa Tengah – H. Mardiyanto.

Bangunan di Kuil Sam Poo Kong

Penyembahan Dewa Bumi

Di sebuah kuil harus ada dewa bumi di samping dewa tuan rumah. Orang biasanya berdoa kepada Tian (Dewa/Surga) dan kemudian kepada Tei (Dewa Bumi). Dewa Bumi atau Hok Tek Ceng Sin adalah dewa rezeki dan berkah.

Awalnya, orang berdoa kepada dewa bumi untuk meminta kesuburan tanah, panen yang melimpah dan bebas dari hama. Tapi tidak menutup kemungkinan, orang juga bisa meminta kesehatan, keselamatan, barang laris, hidup damai dan sejahtera bagi dewa bumi.

Dewa bumi memiliki pengawal berupa harimau hitam yang bernama Houw Ciang Kun. Di depan tempat Dewa Bumi ada penjaga bernama Ue Tek Kiong dan Sie Siok Po. Kelahiran Hok Tek Ceng Sin diperingati setiap tanggal 2 bulan 2 penanggalan Imlek.

Sementara itu, setiap tanggal 15 bulan 8 penanggalan Imlek diperingati sebagai hari syukuran bagi Hok Tek Ceng Sin. Orang-orang akan memberikan kue bulan sebagai ucapan terima kasih atas hasil panen dan makanan tahun lalu.

Makam Kyai Juru Mudi

Kapten armada Zheng He Ong Keng Hong / Wang Jing Hong tiba-tiba jatuh sakit ketika dia datang ke Jawa untuk kedua kalinya. Karena sakit parah, ia tidak dapat melanjutkan perjalanan dan harus beristirahat di Semarang untuk mendapatkan pengobatan.

Setelah sembuh, Wang memutuskan untuk tinggal di Simongan dan berbaur dengan penduduk setempat. Dia menggarap tanah dan membangun rumah. Berkat usahanya, daerah di sekitar gua berkembang dan makmur.

Wang Jing Hong meninggal pada usia 87 tahun dan dimakamkan di sebelah Gua Sam Poo Kong. Makam tersebut dikenal sebagai makam Kyai Juru Mudi. Sejak saat itu, warga Semarang dan sekitarnya sering datang ke sini untuk berziarah atau berdoa memohon berkah. Khususnya setiap malam Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon.

Tempat Ibadah Sam Poo Kong / Sam Poo Tay Djien

Ini adalah tempat utama bagi orang-orang yang ingin berdoa ke Sam Poo Kong. Dinding luar bangunan dihiasi dengan ukiran batu yang menceritakan perjalanan Laksamana Zheng He pada abad ke-15 selama kurang lebih 30 tahun. Batu yang digunakan untuk relief ini berasal dari Cina. Sedangkan ukirannya dikerjakan oleh seniman Bali.

Kemudian ada tempat ibadah. Ada dua patung kecil yang melambangkan kedatangan Zheng He di Semarang. Patung pertama berwajah hitam terbuat dari kayu cendana dan melambangkan kedatangan pertama Zheng He pada tahun 1406. Saat itu dia masih muda, sekitar 30-40 tahun.

Patung kedua berwajah merah terbuat dari porselen dan melambangkan kedatangan kedua Zheng He pada tahun 1416. Wajahnya lebih tua. Kiri dan kanan adalah patung Tay Jiang, atau pengawal pribadi Zheng He. Namanya Tio Kee dan Lauw Im. Patungnya juga terbuat dari kayu cendana.

Sementara itu, di tengahnya terdapat patung besar Sam Poo Kong. Bahannya terdiri dari emas dan perunggu. Patung besar ini hanyalah sebuah simbol. Namun, dua patung kecil itu memiliki nilai penting.

Di dalam bangunan Batu juga terdapat air mancur yang diisi dengan mata air. Air mancur ini sendiri sebenarnya merupakan peninggalan Oey Tiong Ham. Air ini dianggap suci dan sering digunakan oleh masyarakat dan pengunjung yang ingin meminta rezeki untuk berdagang, bertani, menyembuhkan penyakit, dan memercikkan air agar perkawinan mereka lancar dan langgeng.

Air ini tidak boleh digunakan untuk nazar, talak atau air minum. Masyarakat dan pengunjung diperbolehkan mengambil air dari sumur dengan bantuan Bio Kong. Dulu, masyarakat dan pengunjung harus terlebih dahulu menjelaskan kebutuhan mereka agar air Bio Kong dapat didoakan.

Makam Kyai Djangkar, Kuil Konfusianisme dan Rumah Roh Hoo Ping

Ada tiga tempat ibadah di gedung ini. Di paling kiri adalah makam Kyai Djangkar. Dinamakan demikian karena merupakan jangkar sekoci yang jatuh ketika armada Zheng He pertama kali datang ke Jawa.

Jangkar sekoci ini pertama kali ditemukan di Kali Telinga. Sedangkan jangkar kapal induk jatuh di Rembang. Banyak orang datang ke makam Kyai Djangkar untuk memohon berkah dalam bisnis dan pekerjaan.

Di tengah adalah tempat pemujaan bagi pendiri agama Khonghucu. Posisinya menempati porsi terbesar. Kemudian di paling kanan adalah Rumah Roh Hoo Ping. Arwah Hoo Ping adalah arwah orang yang sudah meninggal yang tidak dirawat oleh keluarganya. Mereka ditempatkan di sini untuk berdoa bagi mereka. Jiwa Hoo Ping diperingati tiga kali setahun: pada hari sebelum Tahun Baru Imlek, selama Ceng Beng, dan selama upacara Ulambama (Jit Gwee).

Lokasi Nyai Cundrik Bumi

Sebelumnya kawasan ini digunakan sebagai tempat penyimpanan dan perawatan benda-benda pusaka. Ini juga tempat gua tua berada sebelum dipindahkan karena tanah longsor. Sekarang di sini hanya sebuah simbol. Tidak ada lagi pusaka di sini.

Pengarang : Dani Agus
Penerbit : Dani Agus
Sumber: visitjawatengah.jatengprov.go.id, shampooong.co.id

Source: www.murianews.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button