Harapan kelestarian hutan, perebutan tanah, subyek reforma agraria | Berita Malang hari ini | Malang Posco Media - WisataHits
Jawa Timur

Harapan kelestarian hutan, perebutan tanah, subyek reforma agraria | Berita Malang hari ini | Malang Posco Media

MALANG POSCO MEDIA, MALANG – Hutan di lereng Gunung Kawi bagaikan ibu kandung yang menghidupi orang-orang di sekitarnya. Diantaranya adalah warga Desa Selorejo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang yang menggantungkan hidupnya pada perkebunan dan hasil pertanian dari hutan di sekitarnya. Bagi warga, perlindungan lingkungan adalah suatu keharusan untuk menunda krisis iklim dan air.

Lereng gunung niscaya akan menjadi daerah aliran sungai. Dari generasi ke generasi, masyarakat Selorejo hidup seperti penjaga hutan, hidup berdampingan. Warga kini menunggu sebagian kawasan hutan yang digunakan warga dibebaskan untuk konservasi alam. Sebab selama ini sebagian besar hutan tersebut merupakan wilayah Perhutani, meski sudah berpenghuni ratusan tahun.

Harapan itu terlihat dari raut wajah Sudarmadi, kepala desa yang juga bekerja menjaga hutan desa. Virus kesadaran lingkungan telah menyebar secara organik di benak setiap penduduk. Hingga pemerintah desa menyadari bahwa krisis ini harus menjadi prioritas.

Atas dorongan masyarakat, dicetuskan program desa untuk mengajukan pelepasan sebagian hutan menjadi lahan obyek reforma agraria (Taurat). Pada saat yang sama, Perhutanan Sosial (PS) diusulkan. Sudarmadi sangat mendukung program tersebut. Konsep konservasi ditawarkan untuk kepentingan kelangsungan paru-paru bumi yang terjaga dan kualitas air.

Di Selorejo Anda bisa merasakan kesejukan lanskap pegunungan begitu memasuki desa. Sudarmadi masih mengenakan kaos putih dengan sarung dan kretek di tangan saat dijemput di rumahnya, Senin (26/12/2022). Sebuah rumah sederhana tepat di sebelah kebun jeruk yang rimbun. Dari situ terlihat bahwa basis kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hutan.

“Air sangat penting bagi kehidupan. Kedua iklim, karena mayoritas di sini adalah petani jeruk dan sayur, stabilitas iklim penting untuk pertanian warga. Ketiga, beberapa manfaat bagi masyarakat sekitar yang tidak memiliki lahan,” kata Sudarmadi.

Sejak pemaparan Taurat sekitar dua tahun lalu, warga telah menyadari pentingnya legalitas dalam hidup nyaman dan dalam pencarian kehidupan. Apalagi jika menggunakan produk alami di sekitarnya.
“Warga memanfaatkan ini dengan bercocok tanam di bawah tegakan (pohon penyangga hutan). Manfaatkan tanpa merugikan,” katanya.

Sudarmadi mengatakan, warga sendiri sudah lama menjaga hutan tersebut. Pengamanan terhadap penebang liar, pihak yang tidak bertanggung jawab atas limbah dan kerusakan bibit pohon. Hasil kerja keras mereka dapat dirasakan terus menerus. Termasuk pengelolaan wisata yang menjadi icon Selorejo yaitu Bed Camping Grounds.

Situasinya berbeda ketika menyangkut pemanfaatan hutan Perhutani. Karena keturunan mereka sudah ada sebelum era kemerdekaan Indonesia. Kemudian kontrol Perhutani memaksa mereka untuk mematuhi peraturan hutan produksi. Mereka juga dilibatkan dalam pemanfaatan warga sekitar, namun tidak berpikir panjang untuk pemeliharaan.

“Perhutani hanya memikirkan keuntungan ekonomi, misalnya pohon besar ditebang, penebangan Perhutani tidak berpengaruh pada Perhutani. Warga di sekitar lereng Kawi menjadi korban longsor dan banjir. Kalau kita bicara hak mereka, masyarakat sekitar hutan punya hak, harus dilibatkan mulai dari perencanaan sampai pemanenan, itu yang dibicarakan undang-undang kehutanan,” tegas Sudarmadi.

Yang dimaksud Sudarmadi yaitu dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, penyelenggaraan perlindungan hutan dan alam bertujuan untuk melindungi hutan, kawasan hutan, dan lingkungannya agar fungsi lindung, konservasi, dan produksi dapat optimal dan tercapai. berkelanjutan. Telah disebutkan bahwa keberadaan hutan sangat penting bagi kehidupan manusia, maka perlindungan hutan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, tetapi juga oleh seluruh masyarakat melalui partisipasi aktif baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sebagai informasi Desa Selorejo yang terletak di ketinggian ± 800-1200 m dpl. terletak, sekitar 300-410 hektar digunakan untuk pertanian dan perkebunan di dalam hutan. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) wilayah Kabupaten Dau menemukan luas hutan lindung Dau mencapai 958,30 hektare dan total hutan produksi mencapai 742,60 hektare.

Kelompok masyarakat yang bergantung pada hutan adalah Dusun Gumuk, Selorejo. Lokasi desa mereka dikenal sebagai desa budaya dan dihuni oleh sekitar 42 keluarga. Hampir semuanya adalah petani dan bekerja di perkebunan di bawah semak belukar di hutan Selorejo di kawasan Perhutani. Warga Gumuk juga giat melakukan konservasi.

“Warga sangat peduli dengan alam dan bertanggung jawab terhadapnya. Ibarat api, warga berusaha menjaga hutan dari kerusakan,” jelasnya.

Masyarakat Selorejo dan sekitar lereng Kawi juga telah membentuk kelompok konservasi bersama. Lembaga itu bernama Lembaga Pelestarian Andalan Desa Adat atau disingkat Landak. Gerakan kolektif ini kemudian membawa kesejukan kembali ke Selorejo. Segala upaya untuk menjaga kelestarian hutan dalam jangka panjang diperjuangkan. Antara lain penanaman pohon dan pembibitan pohon yang rutin dilakukan di atas hulu sungai.

“Hasilnya limpasan air sungai masih besar, konstan dan tidak keruh saat musim kemarau. Ini harus dipastikan agar masyarakat dapat terus menjalani kehidupan yang berkualitas,” jelasnya.

Yono, juru kunci yang menjadi pembina Landak mengatakan, lembaga adat berbasis komunitas konservasi ini rutin melakukan kegiatan konservasi, seperti misinya menjaga Hutan Kawi. Membersihkan sampah sungai setiap minggu kemudian melakukan pembibitan pohon dan penanaman pohon.

“Selama ini sumbernya dipertahankan karena alasan konservasi. Kegiatan konservasi tidak bisa ditinggalkan karena kebutuhan untuk menjaga hutan,” kata Yono.

Kini Landak beranggotakan 12 orang, Yono dan kawan-kawan juga sangat mendukung Program Desa yang mengupayakan tanah sebagai subyek reforma agraria dan perhutanan sosial. Jika kedua program ini terealisasi, setidaknya bisa menenangkan kehidupan warga. Landak, juga berhasil menemukan sejumlah mata air yang belum tersentuh sehingga akhirnya bisa dimanfaatkan warga.

“Selama ini masyarakat punya KTP tapi di tanah Perhutani. Hutan tanaman yang digunakan harus dialihkan ke konservasi alam melalui perhutanan sosial, sehingga tidak hanya kepentingan hutan komersial yang dapat dijamin,” jelasnya.

Ia belum mendapat informasi lebih lanjut mengenai status pengajuan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Menanggapi apa yang dilakukan warga Desa Selorejo, Wakil Bupati Malang Didik Gatot Subroto memberikan dukungannya. Dengan catatan perjuangan warga yang telah menghuninya selama ratusan tahun, dapat dibuktikan memenuhi syarat penyerahan Taurat dan perhutanan sosial.

“Pemerintah tentu memiliki kewenangan untuk mendukung persetujuan atau penolakan keputusan menteri saja. Kalau Tora maka oleh KLHK. Tapi bicara soal redistribusi oleh Kementerian ATR/BPN itu hanya untuk permukiman, yang dulunya status negara. Kalau pengawetan bukan berarti untuk produksi industri, tidak ada ketahanan terhadap lingkungan dan lebih dari 50 tahun (terbukti),” ujar Didik saat dihubungi terpisah.

Didik berharap masyarakat benar-benar memanfaatkan hutan tanpa merusaknya. Selama ini, kata Didik, yang terjadi di Kabupaten Malang banyak orang yang salah tangkap dengan meminta Taurat dan redistribusi meluas.

“Kalau menyangkut kelestarian lingkungan, itu sangat bagus dan kami mendukungnya. Keputusan tetap ada di pemerintah pusat. Sudah ada 13 kecamatan yang mengajukan permintaan serupa dan sedang dalam proses. Harapannya bukan ditangkap, tapi diperluas ke pekarangan, tapi yang utama rumahnya,” imbuhnya.

Apa yang diperjuangkan belum mengambil jalan yang jelas. Menurut Pradipta Indra dari Divisi Pertahanan Hukum dan Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, salah satu programnya berupa perhutanan sosial sebagai bentuk pengakuan pemerintah terhadap akses masyarakat terhadap hutan.

“Oleh karena itu penting untuk kemudian dapat dimanfaatkan agar masyarakat dapat mengaksesnya untuk mengelola hutan secara lestari,” jelasnya.

Meski demikian, perjuangan untuk itu membutuhkan proses yang serius. Pengajuannya, kata Indra, cukup rumit secara administratif. Apakah Anda membutuhkan keterampilan atau kemampuan dalam proses pengajuan.

“Kalau sudah lama didiami masyarakat, kawasan hutan bisa dilepas untuk diakui sebagai hutan biasa. Sistem ini ada di perhutanan sosial, di mana masyarakat adat bisa mengajukan PS dengan SK,” jelasnya.

Bagi warga desa seperti Sudarmadi dan 42 KK di Dusun Gumuk, program Tora dan Perhutanan Sosial merupakan angin segar. Diharapkan hal ini akan mengarah pada kehidupan berkelanjutan yang lebih baik. Sudarmadi menjawab bahwa Landak dan Kelompok Tani Hutan (KTH) memperjuangkannya bersama warga.

“Ini bukan hanya fungsi ekonomi, tapi juga fungsi konservasi. Warga tak ingin kehilangan sumber air Kawi nantinya. Menurut saya, dunia harus mendorong program ini karena dunia sudah berada di dasar krisis konservasi, pemanasan global,” kata Sudarmadi. (prasetyo lanang/nug)

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button