Benamkan diri Anda di Borobudur dan jejak astrologinya - WisataHits
Jawa Barat

Benamkan diri Anda di Borobudur dan jejak astrologinya

Candi Borobudur. (Foto oleh Mike van Schoonderwalt dari Pexels

MAGELANG, Lightning.com- Astronomi atau Astronomi telah digunakan oleh masyarakat sekitar Candi Borobudur selama berabad-abad dan dapat diamati dari pergerakan bayangan yang jatuh pada stupa utama.

Warisan pengetahuan ini dikenal sebagai Pranata Mangsa, sistem kalender yang digunakan sebagai penanda waktu dan khususnya sebagai indikasi waktu yang tepat untuk menanam tanaman.

Peneliti astronomi Irma Hariawang dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menjelaskan bahwa konsep pranata mangsa muncul dari upaya manusia untuk memahami perilaku dan siklus alam. Pranata Mangsa bermanfaat tidak hanya bagi petani tetapi juga bagi nelayan untuk menentukan waktu melaut.

“Selain pranata mangsa, mereka (masyarakat) juga bisa waspada karena dari situ mereka tahu kapan terjadi bencana banjir atau angin. Lama-lama mereka mengamati perilaku alam,” kata Irma saat peluncuran serial dokumenter Zenius di Jakarta, Rabu.

Irma mengatakan Pranata Mangsa secara resmi dilembagakan oleh raja di masa lalu. Namun, catatan sejarah lain juga menyebutkan bahwa sistem penanggalan muncul sekitar abad ke-9 atau ke-8.

Baca juga:
Ini Jejak Astrologi Kuno di Candi Borobudur

“Itu sekitar waktu Borobudur dibangun, jadi Pranata Mangsa sudah terkenal. Dari sini saya menyimpulkan bahwa memang ada hubungan antara Pranata Mangsa dan Borobudur, sejak abad ke-8 atau ke-9 mereka mulai mengamati pergerakan benda langit untuk menentukan waktu tanam,” ujarnya.

Stupa utama Borobudur yang terletak di Lantai 10 berfungsi sebagai gnomon, atau penanda waktu, mengandalkan bayangan matahari. Stupa induk dikelilingi oleh stupa berkabut pada tingkat ketujuh, kedelapan dan kesembilan. Irma mengatakan, bayangan stupa induk akan jatuh pada stupa hamparan tertentu yang dapat menandai penentuan awal musim pranata mangsa.

Irma dan tim melakukan penelitian terkait astronomi dan Candi Borobudur dari tahun 2008 hingga 2010. Ia mengatakan, penentuan posisi melawan arah angin Borobudur di masa lalu tanpa bantuan sistem penentuan posisi global (GPS) menggunakan kompas. Hal ini, kata Irma, menjadi salah satu pemicunya untuk melakukan penelitian.

“Pada zaman dahulu tidak ada GPS dan kompas. Itu pasti matahari. Akan ada bayangan dari matahari, mereka harus mengawasi bayangan selama setahun sehingga mereka dapat menentukan arah angin yang tepat, “katanya.

Irma mengatakan, posisi bayangan stupa induk yang jatuh hari ini sedikit berbeda dengan sebelumnya, mengingat benda-benda angkasa termasuk bumi akan selalu bergerak.

Baca juga:
Zenius Hadirkan Serial Dokumenter Pariwisata Berbasis Edukasi

“Ada perubahan sekitar beberapa derajat. Perlu dikoreksi sekarang karena kita akan datang ke Borobudur. Nanti kita lihat bayangannya nanti disesuaikan dengan Prey Institution, pasti ada selisih kecil dan itu bisa dihitung atau dikoreksi,” jelasnya.

Irma meyakini masih banyak aspek astronomi yang harus dipelajari di Borobudur, salah satunya adalah konstelasi Polaris yang dapat diamati pada candi di masa lalu. Bintang Polaris terletak di dekat kutub langit utara dan oleh karena itu sering disebut sebagai Bintang Utara.

Ia berharap kerjasama penelitian antar disiplin ilmu dapat terus dilakukan di Indonesia, khususnya keterkaitan antara astronomi dan arkeologi, sehingga informasi yang selama ini tersembunyi dapat dimanfaatkan oleh komunitas ilmiah. (Ya memang)

Source: www.kilat.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button