Bangga dengan budaya tie-dye, mahasiswa ikut membangun ekonomi kreatif - komunitas kecil tie-dye di Bantul - WisataHits
Yogyakarta

Bangga dengan budaya tie-dye, mahasiswa ikut membangun ekonomi kreatif – komunitas kecil tie-dye di Bantul

Menetapkan tie-dye sebagai warisan budaya bangsa untuk generasi mendatang tidak hanya memakai tie-dye, tetapi bagaimana mengenali proses pembuatannya dengan berbagai inovasi dengan tren kontemporer untuk membuat mereka bangga memakai tie-dye dan juga kompetitif dalam persaingan mereka. bisnis menjadi pasar. Selain itu, Indonesia memiliki jenis corak dan motif batik yang berbeda-beda di setiap daerahnya dengan nilai sejarah dan filosofi, sehingga tentunya ini merupakan potensi kekayaan yang perlu dioptimalkan dan digali lebih dalam.

Berdasarkan hal tersebut, PT Astra Internasional Tbk menginisiasi program komunitas batik kecil di Kapanewon Pandak, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta melalui Yayasan Pendidikan Astra – Michael D. Ruslim. Giska Anisa (15), mahasiswa IX. Kelas SMPN 4 Pandak binaan YPAMDR mengaku menyukai tie dye sejak kelas 6 SD. Dia suka tie-dye dari hobi menggambar. Saat ini siswa asal Krekah, Gilangharjo, hanya membatik di sekolah. Namun, jika ada kesempatan, ia akan terus melakukan tie-dye.” “Batik itu unik dan seru,” ujarnya lagi.

Selain itu, dukungan dari YPA MDR membantunya menyalurkan hobinya yaitu tie-dyeing bahkan menghasilkan uang dari hobinya tersebut. Kegiatan kecil-kecilan tie-dye yang dilakukan di Lanthing Batik Write Group, Padukuhan Gunting, Desa Gilangharjo, Kapanewon Pandak ini mendapat tanggapan positif dari masyarakat bahkan pemerintah setempat untuk melestarikan budaya dan juga berdaya saing dalam bisnis dan ekonomi.

Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU), Itje Chodidjah, mengakui peluncuran YPA MDR bersama komunitas batik kecil. Menurutnya, anak-anak perlu diajarkan pemahaman tentang tie-dye bahwa tie-dye memiliki nilai, budaya, sejarah dan cerita di balik setiap motif dan simbol pada kain tie-dye.

Keluarga dan sekolah, kata dia, seharusnya tidak hanya mengenalkan tie-dye kepada anak-anak melalui penggunaan pakaian tie-dye, tetapi orang tua dan guru harus memahami dan memiliki pengetahuan untuk memahami bahwa tie-dye tidak sama dengan bahan dekorasi lainnya. “Dalam mengenalkan tie-dye dari jenjang sekolah PAUD mungkin sampai SMA, proses pembelajarannya bisa menghubungkan tie-dye sebagai budaya bangsa,” ujarnya.

Ia mengatakan, memberikan materi atau kurikulum kepada anak-anak di sekolah saja tidak cukup dan terlalu mudah untuk membuat anak bangga dengan budaya tie-dye. Menurut Anjani Sekar Arum, asisten tie-dye YPA-MDR Komunitas Little Batik, tantangannya adalah mengubah pola pikir anak-anak tentang pembuatan tie-dye dan mendidik mereka menjadi seniman tie-dye cilik dengan membuat karya dari hati dan mengembangkan kreativitas dari usia dini.

membangun regenerasi

Oleh karena itu, membangun dengan kesabaran dan ketekunan adalah suatu keharusan. Lari ini pun tak lepas dari dukungan orang tua dan wali sah para siswa. Ia menyampaikan bahwa komunitas kecil tie-dye sendiri menawarkan solusi atas kendala regenerasi tie-dye saat ini. Langkah ini dimulai ketika Yayasan Pendidikan Astra mendukung beberapa sekolah binaan di Kabupaten Bantul dan Gunungkidul dengan alat celup beberapa tahun lalu.

Saat ini sudah ada empat sekolah di Kabupaten Bantul yang didukung dengan peralatan tie-dye, antara lain tiga SD dan satu SMP. Ada delapan sekolah yang mendapat bantuan di Kabupaten Gunungkidul, antara lain enam SD, satu SMP, dan satu SMK. “Untuk memaksimalkan fasilitas, tahun ini kami berusaha mencari cara agar karya tie-dye yang bagus bisa laku terjual. Itu tidak berarti mereka sedang diburu untuk dijual. Hampir 70% karya anak-anak yang telah dihasilkan sebagian besar disimpan di sekolah masing-masing. -semuanya,” katanya.

Jika karya siswa memiliki nilai jual, ada filosofi dalam setiap karya, dan berkualitas baik, maka cocok untuk konsumen atau pecinta tie-dye, dan jauh lebih bermanfaat bagi anak-anak. Di sisi lain, anak-anak dapat memiliki tabungan pendidikan. “Kami mengajak para pecinta tie-dye untuk mengapresiasi dan mengapresiasi tie-dye yang dibuat oleh para pembuat tie-dye kecil-kecilan. Kami mengajak mereka untuk menghargai proses dalam berkarya,” ujarnya.

Oleh karena itu, untuk memasarkan tie-dye dari Little Batik, pihaknya tidak menjualnya di toko-toko tetapi dipasarkan melalui berbagai kegiatan seperti pameran atau peragaan busana. Dalam setahun, kata dia, mereka mungkin hanya membuat satu karya atau paling banyak lima karya untuk Yayasan Pendidikan Astra dan PT Astra Internasional untuk membawa kegiatan. pembeli.

Kemudian untuk menarik pembeli hanya dilakukan kegiatan, dipamerkan oleh model dan ada pameran. Juga untuk menjadi internasional, karya siswanya ingin diperkenalkan di Milan, Italia. Seolah itu belum cukup untuk melestarikan batik dan menambah jumlah pengrajin batik kecil, pihaknya mencoba menginisiasi desa wista batik kecil, yakni di Pandak dan Gedangsari. Saat ini pihaknya sedang mempersiapkan staf sebelum menyiapkan atraksi wisata karena konsep wisata edukasi masih tergolong baru, terutama yang ingin melibatkan anak-anak.

Ketua Panitia YPA-MDR Herawati Prasetyo mengatakan, terbentuknya komunitas kecil batik itu sendiri menimbulkan harapan besar bagi pelestarian batik yang merupakan salah satu identitas budaya Yogyakarta, dan juga agar potensi pengembangan industri pariwisata dan industri kreatif dapat berkontribusi. “Kami berharap para mahasiswa tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi dapat terus meningkatkan kecakapan hidup dan rasa percaya diri sebagai sumber daya yang berguna untuk masa depan dan berdampak positif bagi kemajuan daerah,” ujarnya.

Selain itu, kegiatan membatik yang dilakukan YPA-MDR di sekolah binaan telah mendukung predikat “Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia” yang dinobatkan oleh World Craft Council, salah satunya ketika terpilihnya Kabupaten Gedangsari sebagai salah satu destinasi Jogja International Batik Event Biennale 2018 (JIBB).

YPA-MDR berkomitmen untuk terus berkontribusi bagi kemajuan pendidikan Indonesia di daerah tertinggal dengan mengedepankan empat pilar yaitu, Ilmu Pengetahuan, Karakter, Seni Budaya dan Kecakapan Hidup yang adaptable, inovatif dan berdampak. Sejauh ini, lebih dari 1.500 guru dan 23.800 siswa telah dilatih.

Program bantuan pendidikan YPA-MDR telah mendaftarkan 111 SD, SMP, dan SMA/SMK sebagai sekolah berkonsep eskalator dan mencakup 13 kabupaten di provinsi Lampung, Banten, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Kalimantan Tengah serta Nusa Timur. Tenggara. .

Source: www.neraca.co.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button