Saksikan kepiawaian Kaka, fotografer cilik Kota Tua Semarang - Halo Semarang - WisataHits
Jawa Tengah

Saksikan kepiawaian Kaka, fotografer cilik Kota Tua Semarang – Halo Semarang

TINDAKAN Seorang anak laki-laki berusia 14 tahun bernama Kaka Fajar Apriliansyah di kawasan wisata Kota Tua Semarang menarik banyak perhatian. Dia berjalan dengan kamera DSLR dan cukup percaya diri untuk menyapa setiap pengunjung yang mondar-mandir di Jalan Gelatik.

Aku sudah mengamati gerakannya selama sepuluh menit. Dari jarak lima meter dari tempat saya duduk, wajah Kaka terlihat kelelahan. Untuk kesekian kalinya ia mendapat penolakan atas jasa foto yang ditawarkan. Tapi anak laki-laki itu masih berusaha sangat keras dan tidak pernah pulang sampai dia punya klien.

Sore ini, Jumat (23/7/22) pukul 16:10 WIB. Cuaca masih panas dan awan menggantung di langit. Ketinggian gedung Marba di Kota Lama melindungi tubuh mungil Kaka dari sinar matahari. Tapi berada di luar ruangan membuatnya tercekik, keringat menetes di rambut dan dahinya.

Usaha Kaka kali ini berhasil. Dua turis wanita siap menerima jasa fotonya. Keduanya berusaha menampilkan pose terbaik. Sementara itu, anak laki-laki asal Purwosari, Kabupaten Semarang Utara itu mulai mengoperasikan kameranya dan berkonsentrasi membidik objek di depannya.

Tak mau kalah dengan fotografer profesional, Kaka memandu kliennya, mengatur posisi dan gaya terbaik. Dia menjepit kamera ke mata kanannya dan terlihat bagus memotret dua wanita berkacamata hitam. Bahkan, dia diminta memotret lebih dari 15 foto.

Usai berfoto, Kaka menunjukkan hasil jepretannya. Kepala dua wanita itu mengangguk, lalu mereka memberikan nomor telepon untuk mengirim file. Taka Belum lama ini, Kaka menerima selembar kertas biru dan memasukkannya ke dalam sakunya.

Setelah kedua wanita itu pergi, saya segera mendekati fotografer cilik itu. Undang dia untuk berbicara tentang pekerjaannya. Kami berhenti dan duduk di sisi jalan, bersandar di dinding gedung Marba yang megah dan populer.

Awal menjadi seorang fotografer

Kota tua itu penuh dengan pengunjung sore itu. Puluhan orang berjalan-jalan di Taman Srigunting. Beberapa teman mengambil foto dengan latar belakang bangunan ikonik era kolonial. Beberapa pasang anak muda duduk di bangku. Sore hari adalah waktu yang populer untuk mengunjungi tempat ini.

Hembusan angin sesaat berlalu, mengacak-acak rambut lurus Kaka yang disisir ke kanan. Di tengah hiruk pikuk dan keramaian, ia bercerita tentang awal mulanya sebagai seorang fotografer. Berawal saat masih berjualan koran di Lawang Sewu pada tahun 2018.

“Dulu saya berjualan koran di sana, lalu pengunjung datang. dia berkata ‘Dek tolong fotoin dong’. saya katakan, “Wah, aku tidak pandai fotografi”. Tapi dia masih bertanya dan telepon genggamitu diberikan kepada saya,” kenangnya mengingat kejadian itu.

“Tidak apa-apa Dek, kamu akan baik-baik saja di masa depan,” kata Kaka menirukan suara turis.

“Saya akhirnya mengambil gambar dan dibayar untuk itu,” tambahnya.

Sejak kejadian itu, Kaka bertekad menekuni dunia fotografi dan berhenti dari pekerjaan lamanya sebagai penjual koran. Awalnya, ia tertarik untuk mengunjungi pengunjung Lawang Sewu, Kota Semarang.

Di tempat wisata itu, ia mulai memberikan layanan foto kepada wisatawan. Karena belum punya alat, dia meminjam kamera handphone milik pelanggan.

“Dulu saya pakai hp pelanggan, misal ada yang saya bilang “Bapak dan Ibu, jika Anda ingin membantu dengan layanan foto”. Jadi jangkau orang-orang saat Anda mengatakan ini,” katanya, menyeka keringat dari alisnya.

Setengah tahun berlalu, Kaka mulai menggunakan kamera. “Ada toko tempat dia ingin mendukung saya, akhirnya dia mendapatkan kamera,” lanjutnya.

Saat itu dia sudah pindah lokasi ke kawasan kota lama Semarang karena lebih banyak pengunjung dan objek di sana.

Menelan pengalaman pahit

Kaka menarik napas dalam-dalam lalu melanjutkan ceritanya. Selama empat tahun menggeluti bidang ini, berbagai pengalaman pahit ia alami. Terutama kata-kata buruk dari mulut wisatawan.

Awalnya banyak yang meragukan kemampuan siswa kelas II SMPN 7 Semarang ini. Usianya yang masih muda membuatnya sering dipandang sebelah mata. “Di masa lalu, seseorang telah mengejekku dengan kata-kata itu “Mengapa membawa kamera yang tidak berguna ketika Anda tidak bisa membawa sepeda motor”“ucapnya dengan intonasi yang keras.

Tapi dia mengabaikan komentar seperti itu. Ia hanya fokus pada pekerjaan utamanya yaitu menawarkan jasa fotografi tanpa pernah memaksa. “Saya menawarkan dia untuk mencobanya terlebih dahulu. Kalau bagus ya silakan, kalau tidak ya tidak apa-apa,” kata Kaka.

Tidak hanya dia diremehkan, dia bahkan dikira pencuri. Saat itu ia masih menggunakan kamera handphone milik pelanggan. Namun, Kaka membela diri dan meyakinkan pelanggan bahwa dia tidak memiliki niat buruk seperti itu.

Dengan tatapan tajam di matanya, dia berkata, “Saya pikir saya akan membawa mobil itu pergi. Tetapi saya berkata, “Jika saya seorang pencuri, saya tidak akan berada di sini sejak awal.” Dia akhirnya percaya.”

Pengalaman pahit yang pernah dialaminya tidak membuatnya menyerah dan putus asa. Bocah itu terus belajar mengejar dunia yang sudah disukainya. Bahkan ketika menjadi viral di media sosial pada tahun 2020-an, fotografer profesional Fajar Kristiono rela datang jauh-jauh dari Jawa Barat untuk mengajarinya teknik fotografi.

“Ajarkan segitiga paparan, cara mengambil gambar, pencahayaan, segala macam hal. Dari situ saya banyak berusaha,” ujarnya sambil tersenyum.

Motivasi diri yang tinggi

Karena statusnya sebagai mahasiswa, Kaka perlu mengatur waktunya dengan baik. Biasanya ia bekerja setiap Selasa hingga Jumat pukul 15.00 WIB sepulang sekolah. Dia bisa bekerja lebih awal pada hari Sabtu dan Minggu.

“Jika itu sedikit mengganggumu, jangan terlalu mengganggu. Tugas-tugas akan diselesaikan semaksimal mungkin,” ujarnya saat ditanya tentang kegiatan sekolahnya.

Untuk layanan setiap file foto, Kaka mematok harga Rp 3.000. Dia bisa mendapatkan sekitar 7 hingga 10 klien per hari, hasil yang dicapai setidaknya Rp 50.000.

Paling bahagia ketika ada klien yang mengambil semua bidikan. Sebaliknya, ia menjadi sedih ketika pelanggannya hanya memilih foto yang bagus.

“Mottonya dulu 20 tembakan, tetapi hanya 4 yang diambil. Kalaupun ada pilihan, paling tidak dihargai karena saya juga capek jadi hot,” ujarnya.

Tapi apapun hasilnya, dia tetap bersyukur. Yang terpenting dia bisa mandiri dan meringankan beban orang tuanya yang bekerja sebagai tukang ojek online dan penjual koran.

Anak sulung dari empat bersaudara ini sadar bahwa dirinya bukan berasal dari keluarga kelas atas. Sehingga membuatnya mandiri dengan penghasilan sendiri. Selain itu, motivasi yang tinggi untuk menekuni dunia fotografi juga mendorongnya untuk melangkah sejauh itu lagi dan lagi.

Di usianya yang ke-14, kegigihannya memang patut diacungi jempol. Bahkan, ia sudah memiliki tekad dan impian untuk memiliki studio foto dan toko kamera sendiri.

“Targetnya lima tahun lagi, doakan saja,” ujarnya dengan mata berbinar.

Kata-kata ini mengakhiri pertemuan kami. Setelah memasang tali kamera di lehernya, anak laki-laki yang tersenyum dan energik itu pergi. Sementara itu, aku masih termenung memandangi punggungnya yang menghilang di antara keramaian turis di Kota Lama Semarang. (HS)

Source: halosemarang.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button