Weekend di Museum Lebak Multatuli, Ada Kisah Masuknya Kopi ke Indonesia - WisataHits
Jawa Tengah

Weekend di Museum Lebak Multatuli, Ada Kisah Masuknya Kopi ke Indonesia

Weekend di Museum Lebak Multatuli, Ada Kisah Masuknya Kopi ke Indonesia

Weekend di Museum Lebak Multatuli, Ada Kisah Masuknya Kopi ke Indonesia
Museum Multatuli. ©2022 Situs Museum Multatuli/ Merdeka.com

Merdeka.com – Berwisata ke Museum Multatuli di Jalan Alun-Alun Timur 8, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten bisa menjadi pilihan seru di akhir pekan. Tak hanya jejak tokoh Eduard Douwes Dekker atau Multatuli yang bisa ditemukan di sini, penggalan kisah kedatangan kopi di nusantara juga diarsipkan di sini.

Kopi selalu menjadi andalan pemerintah Belanda untuk meraup untung. Untuk memenuhi permintaan tersebut, benih kopi didistribusikan ke hampir seluruh wilayah nusantara. Kabupaten Lebak, jadi salah satu tempat yang berpengaruh.

Artikel media Taboola

Salah satu alat pengolah kopi yang masih tersimpan rapi adalah tamper yang konon pernah digunakan oleh Douwes Dekker saat pertama kali mencicipi kopi di sana. Ini lebih banyak.

2 dari 6 halaman

Kopi pertama kali masuk nusantara

Museum Multatuli

Alat pengolah kopi di Museum Multatuli Lebak ©2022 YouTube MU Channel/Merdeka.com

Dikutip dari ANTARA, Minggu (18/12), berdasarkan informasi di Museum Multatuli, Kopi pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke-17. Saat itu, Asosiasi Perdagangan Daerah Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC) terlibat dalam perdagangan tanaman kopi dari kawasan Teluk Persia hingga Laut Merah.

Pada saat itu juga mereka memulai sistem tanam paksa, menanam bibit kopi Arabika, di antara tanaman lainnya. Namun bijinya kemudian diganti dengan Robusta karena rasanya yang kuat dan sejumlah pantangan pertanian.

Budidaya kemudian berhasil pada awal abad ke-18 di daerah Malabar, Jawa Barat, antara lain.

3 dari 6 halaman

Tersebar dari Banten hingga Jawa Timur.

Saat budidaya kopi mencapai masa kejayaannya, pemerintah Belanda terus memperluas perkebunan kopinya ke daerah lain di luar wilayah Parahyangan.

Penanaman terus dilakukan bahkan dari Banten, Karesidenan Priangan, Karawang, Cirebon, Tegal, Banyumas, Kedu, Bagelen, Pekalongan, Semarang, Jepara, Remang, Pasuruan, Besuki, Pacitan, Madiun, Kediri Surabaya.

Untuk daerah Banten, daerah Sobang di Lebak merupakan tempat penanaman kopi Robusta pada zaman Belanda.

Kopi asli Lebak masih tersimpan di salah satu bangunan, termasuk jenis rempah-rempah lain yang pernah melewati Banten, termasuk kayu manis. Saat memasuki ruangan, aroma kuat kopi dan rempah-rempah langsung tercium.

4 dari 6 halaman

Ada peralatan pengolah kopi

Selain kopi, terdapat pabrik pengolahan yang terawat baik di Museum Multatuli. Alat tersebut berupa penggiling biji kopi sederhana.

Lalu ada pula tamper untuk membuat kopi daun yang disuguhkan kepada Douwes Dekker setibanya di Rangkasbitung pada 21 Januari 1856.

Dalam buku Max Havelaar, bab 16 disebutkan bahwa ketika dia tiba, penduduk setempat telah menyajikan air kelapa kepadanya. Namun Multatuli menolak dengan alasan air kelapa akan berefek pada tubuh jika diminum pada siang hari.Akhirnya warga berinisiatif menyediakan kopi daun yang dibuat dengan cara tradisional tamper.

5 dari 6 halaman

Lebak menjadi salah satu tempat ngopi yang terpengaruh

Berdasarkan peta di dinding museum, persebaran kopi di Lebak sekitar tahun 1834 mulai dikenal luas. Kawasan Rangkasbitung kala itu memiliki beberapa tempat berkumpulnya kopi penting yang disebut loot koffie dan gudang kopi yang disebut koffie pakhuis.

Sejak saat itu Kabupaten Lebak berkembang menjadi sentra produksi kopi yang terkenal di Banten dan juga berpengaruh di Dataran Priangan antara lain daerah Kedu, Pasuruan dan Besuki.

Proses penanaman kopi juga mengerahkan tenaga ahli, sehingga menghasilkan produk kopi lokal, termasuk Lebak, yang dapat dipasarkan ke berbagai negara di dunia, terutama Eropa, karena kualitas dan rasanya yang khas.

6 dari 6 halaman

Kopi Lebak terus dikembangkan oleh petani lokal

Saat ini, upaya pengembangan terus dilakukan oleh petani lokal yang didukung oleh pemerintah daerah. Beberapa daerah penanaman kopi di Lebak saat ini berada di Kecamatan Sobang, Cibeber, Cilograng, Panggarangan, Cigombong, Cilograng, Cihara, Bayah, Cimarga, Muncang, Leuwidamar, Cileles, Sajira, Banjarsari, Gunungkencana, Cijaku dan Malingping.

Salah satu petani kopi di Kecamatan Muncang, Wahid, 45 tahun, mengatakan, lahannya kini memiliki luas kebun kopi mencapai 400 hektare. Hal ini membantu perekonomian masyarakat dan keluarganya.

Tempat Wahid ditanam berada di ketinggian hingga 600 meter di atas permukaan laut. Pengembangan kopi ini juga terintegrasi dengan wisata alam dan budaya Kaolotan.

Kopi yang dihasilkan petani di Lebak itu kemudian diproduksi secara massal oleh Pemkot dalam varian bubuk dan dijual Rp 15.000 per kilogram. Upaya ini disebut mampu merevitalisasi perekonomian masyarakat.

[nrd]

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button