Tidak hanya sebagai tempat wisata, Alun-Alun Selatan tetap mempertahankan filosofinya - WisataHits
Jawa Barat

Tidak hanya sebagai tempat wisata, Alun-Alun Selatan tetap mempertahankan filosofinya

Meski Alun-alun Selatan ramai sebagai tempat wisata, namun tetap mempertahankan nilai dan sejarahnya. Salah satu kunci keunikan ini tetap terjaga karena masyarakat masih mempercayai filosofi South Course. Berikut laporan wartawan Harian Jogja Triyo Handoko.

Harianjogja.com, JOGJA – Dua pohon beringin sejajar dengan ukuran hampir sama menjadi ikon wisata malam Alun-Alun Selatan. Ada beberapa sebutan untuk beringin. Balai Pengelolaan Kawasan Poros Filosofis DIY (BPKSF) menemukan ada dua nama. Ada yang menyebutnya stik urang. Tak jarang juga disebut ring-in bracket, karena kedua pohon tersebut mendapat pagar.

Terletak di tengah alun-alun, dua pohon beringin ini menjadi magnet bagi wisatawan. Beringin berusia seratus tahun ini, diselimuti banyak kepercayaan, disukai oleh wisatawan terutama karena tradisi Masanginnya. Tradisi ini membuat penasaran banyak wisatawan karena diyakini jika Anda bisa berjalan di antara dua pohon beringin ini dengan mata tertutup, keinginan atau keinginan Anda akan terkabul.

Pemimpin BPKSF DIY Dwi Agung Hernanto menanggapi dengan tenang keyakinan ini. “Tidak masalah sebagai keyakinan, namanya juga kepercayaan,” katanya sambil tertawa kecil, Senin (18/7). Namun, Agung menegaskan bahwa Alun-Alun Selatan lebih dari sekedar keyakinan tersebut.

Agung menjelaskan, sejarah Alun-alun Selatan sangat penting bagi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. “Dulu tempat latihan prajurit Karaton dan tempat pemeriksaan pasukan sebelum upacara Garebek,” jelasnya.

Nilai-nilai historis dan filosofis Alun-Alun Selatan masih dilestarikan, kata Agung. “Saat ini sering digunakan untuk pariwisata dan kegiatan masyarakat luas lainnya seperti olahraga, namun nilai sejarah dan filosofisnya tetap terjaga,” ujarnya.

Agung menjelaskan, konsep material kawasan Alun-Alun Selatan masih orisinal dan akan terus dipertahankan. Luas areanya masih sama yaitu 22.500 meter persegi. Ada lima jalan pembuka sebagai pintu keluar dan masuk ke alun-alun.

BACA JUGA: Filosofi Sumbu QRIS yang Menakjubkan: Kolaborasi Pentahelix DIY Pulihkan Pariwisata DIY

Kelima jalan tersebut adalah Jalan Langenastran Kidul, Jalan Langenastran Lor, Jalan Ngadisuryan, Jalan Patehan Lor dan Jalan Gading. “Jalan-jalan ini melambangkan panca indera manusia,” jelas Agung.

objek wisata

Lokasi Alun-alun Selatan yang strategis di tengah kota dan di lingkungan keraton menjadi nilai tambah bagi pariwisata. Penelitian Deviani Natalya Masahe dari UGM menyebutkan selain lokasinya yang strategis, Alun-Alun Selatan juga merupakan tempat figuratif atraksi seni dan budaya.

Ruang figuratif Deviani merupakan ruang yang dapat dimeriahkan oleh berbagai elemen dan tidak terbatas pada sektor pemerintahan. Sifat partisipatif Alun-Alun Selatan menarik wisatawan.

Membandingkan penelitian yang dilakukan oleh Deviani di alun-alun yang berbeda di tempat lain, jelas bahwa Alun-alun Selatan tetap mempertahankan nilai sejarah dan filosofisnya, meskipun juga merupakan tempat wisata.

“Bujur sangkar bisa berubah tanpa disadari, dan nilai serta sifat-sifatnya hilang seperti bujur sangkar itu sendiri,” tulis Deviani dalam penelitiannya.

BACA JUGA: Naik Bus Sambil Belajar Filsafat

Contoh kuadrat nilai pudar Deviana antara lain kotak di kota Blitar dan Bandung. Kunci untuk menjaga nilai dan keunikan Alun-Alun Selatan, menurut Deviana, adalah dengan menjunjung tinggi kepercayaan yang terkait dengannya. Sehingga mempertahankan nilainya sebagai tempat dengan sejarahnya, terlepas dari daya tarik wisatanya.

Agung menanggapi penelitian tersebut dengan menambahkan perlunya pendidikan yang lebih luas. “Jadi, selain keyakinan, nilai dan sejarah perlu dijelaskan agar bisa dipahami sepenuhnya,” jelasnya.

Salah satu upaya Agung adalah memperkenalkan nilai-nilai dan sejarah Alun-Alun Selatan dengan mendaftarkannya sebagai Situs Warisan Dunia. “Dengan diakuinya UNESCO sebagai organisasi yang mengelola Warisan Dunia, tentunya akan lebih mudah untuk menyebarkan pengetahuan tentang Alun-Alun Selatan,” ujarnya.

BACA JUGA: Satu-satunya di Dunia, Poros Filsafat Jogja, Tuntut Nilai Universal Kehidupan

Proses pengajuan Alun-alun Selatan sebagai bagian dari Warisan Budaya Takbenda Poros Filsafat ke UNESCO saat ini sedang berlangsung. “Besok Agustus nanti, tim dari UNESCO center akan mengunjungi dan membandingkan naskah yang kami serahkan dengan kondisi lapangan,” kata Agung.

Ada untuk menjadi rejeki jalanan

Juga dikenal sebagai Pengkeran, yang berarti alun-alun belakang, Alun-alun Selatan adalah tempat di mana banyak pedagang kaki lima datang untuk mencari makan. Karena merupakan tempat wisata malam dan kegiatan outdoor bagi masyarakat Jogja, keramaian berarti potensi ekonomi.

Rizky Akbar Purnomo, 29 tahun, penjual jajanan ringan, mengatakan tanpa Alun-Alun Kidul bingung mau berjualan di mana. “Karena tempat paling ramai dan murah hanya ada di Alun-alun Selatan,” kata Rizky, Jumat (15 Juli).

Warga Patangpuluhan, Kemantren Wirobrajan, sudah lima tahun berjualan di Alun-alun Selatan. “Saat Covid-19 kemarin saya bingung banget mau jualan dimana karena terbatas di jalur selatan jadi tergantung banget di sini,” ujarnya.

Ketergantungan ini memberi Rizky harapan agar keunikan Alun-Alun Selatan yang tidak hanya sekedar wisata malam di Jogja, akan terus ada. “Jadi tidak menjadi tempat musiman yang ramai hanya ketika banyak orang membicarakannya,” katanya.

Source: jogjapolitan.harianjogja.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button