Situs Ngawonggo Petirtaan peninggalan Mpu Sindok yang dilestarikan warga - WisataHits
Jawa Timur

Situs Ngawonggo Petirtaan peninggalan Mpu Sindok yang dilestarikan warga

  • Situs Ngawonggo Petirtaan di Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang, Jawa Timur merupakan situs pemandian suci yang berkarakter petir. Kondisi relief yang sebagian besar sudah aus membutuhkan pembersihan mekanis secara kering. Sikat ijuk yang halus digunakan sebagai alat.
  • Penduduk setempat telah mengenal tempat itu sejak tahun 1970-an. Mereka menyebutnya Reca karena masih banyak sisa Reca [arca]tapi tidak tahu apakah tempat ini petir.
  • Dwi Cahyono, sejarawan dan arkeolog dari Universitas Negeri Malang, menyatakan bahwa situs Ngawonggo sudah ada sejak masa kepemimpinan Mpu Sindok pada zaman Mataram Kuno. Berdasarkan literasi dari Prasasti Wurandungan atau Prasasti Kanuruhan-B tertanggal 943 M, diketahui bahwa terdapat sebuah tempat keramat bernama Kaswangga di sisi timur Malang Raya. Secara toponimi, nama Kaswangga dekat dengan Ngawonggo.
  • Situs Ngawonggo Petirtaan belum terdaftar secara resmi sebagai situs cagar budaya. Data BPCB Jawa Timur menunjukkan bahwa lokasi tersebut masuk sebagai inventarisasi, termasuk hasil kajian.

Cak Bagong duduk di depan batu yoni, lalu mengeluarkan dupa yang sejak tadi dipegangnya. Tangan kanannya menyalakan korek api, menyalakannya di ujung dupa. Aroma khas tercium. Usai salat, ia melanjutkan aktivitasnya.

Menggunakan sapu bergagang panjang, pria itu membersihkan dedaunan di sekitar lokasi Ngawonggo Petirtaan di Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

“Situs dibersihkan setiap hari agar tidak ditumbuhi rumput,” jelas Muhammad Yasin, juru kunci dan ketua Kelompok Sadar Wisata. [Pokdarwis] Lokasi Ngawonggo Petirtaan, Rabu 8 Juni 2022.

Sebagai tempat penangkal petir atau pemandian suci, Ngawonggo Petirtaan selalu bersinggungan dengan air. Situs ini dipercaya sebagai tempat para kyai untuk menyucikan diri. Mandala atau langit demikian sebutannya.

Kondisi lega, sebagian besar tampak aus. Meski masih bisa dilihat dan dibaca, karakternya memudahkan interpretasi visual. Di Site Cluster 1A, tali dibentangkan agar pengunjung tidak langsung memegang relief yang terpahat pada 9 panel tersebut. Upaya pencegahan telah dilakukan karena struktur Ngawonggo Petirtaan terdiri dari batuan yang mudah lapuk dan hancur.

tambah Yasin, membersihkan noda tersebut dengan metode mekanis kering. Tanpa menggunakan air disemprotkan pada tekanan tertentu. Alatnya adalah sikat halus ijuk.

“Pelan-pelan dan hati-hati agar halaman tidak jatuh,” jelasnya.

Cak Bagong membersihkan situs Ngawonggo Petirtaan dengan menyapu daun-daun yang berguguran. Foto: Wulan Eka Handayani/Mongabay Indonesia

Upaya swadaya masyarakat

Penduduk setempat telah mengenal tempat itu sejak tahun 1970-an. mereka menyebutnya rekasoalnya masih banyak sisa reka [arca]tapi tidak tahu apakah tempat ini petir.

Generasi pertama orang menggunakan pancuran di ujung paling barat untuk mandi. Karena ada sumur, pompa air dan akses PDAM, pancuran sudah ditinggalkan. Akibatnya, pancuran ditutupi dengan semak-semak.

Dalam cerita rakyat, asal mula Situs Petrine Ngawonggo dikenal dengan nama Awonggo, dibangun oleh Mbah Surayuda atau Mbah Jalaludin pada tahun 1476 M. Mbah Surayuda dikenal sebagai orang Ponorogo, murid Sunan Bayat Klaten, Jawa Tengah yang bertugas menyebarkan agama Islam.

Versi lain dikemukakan oleh Dwi Cahyono, seorang sejarawan dan arkeolog dari Universitas Negeri Malang. Dwi menjelaskan, situs Ngawonggo sudah ada sejak masa kepemimpinan Mpu Sindok di era Mataram Kuno. Berdasarkan literasi dari Prasasti Wurandungan atau Prasasti Kanuruhan-B tertanggal 943 M, diketahui bahwa terdapat sebuah tempat keramat bernama Kaswangga di sisi timur Malang Raya. Secara toponimi, nama Kaswangga dekat dengan Ngawonggo.

“Bisa jadi nama Ngawonggo itu nama tempat kuno Kaswangga pada tahun 943 M,” kata Dwi, Senin. [06/06/2022].

Penemuan kembali situs tersebut dimulai ketika Yasin dan kawan-kawan mengunggah video tempat-tempat bersejarah di desa mereka melalui akun mereka YoutubeApril 2017. Pemkot Malang Raya melaporkan informasi tersebut ke Balai Pelestarian Cagar Budaya [BPCB] Jawa Timur.

Ahmad Hariri, yang saat itu menjabat sebagai ketua program zonasi BPCB Jatim, menjelaskan, saat tim turun ke lokasi, lokasi sudah tertutup rerumputan.

“Berair, ada lumpur. Rumput tumbuh subur di lokasi,” katanya, Jumat [10/06/2022].

Bulan berikutnya, Mei 2017, BPCB Jawa Timur melakukan zonasi termasuk pekerjaan galian selama sembilan hari. Yasin dan beberapa warga terlibat dalam proses tersebut, termasuk penggalian.

Yasin mengaku mendapat wawasan tentang pemeliharaan, perawatan, perlindungan dan pelestarian situs.

“Warganya senang, desanya penuh dengan akademisi dan instansi,” jelasnya.

Situs cluster pertama Ngawonggo Petirtaan ditutup dengan tali untuk mencegah pengunjung memegang relief secara langsung. Foto: Wulan Eka Handayani/Mongabay Indonesia

Ada empat cluster di situs Ngawonggo Petirtaan. klaster pertama, 1A merupakan relief representasi para dewa yang dipahat dalam 7 relief dengan 9 panel. Sedangkan 1B memiliki kolam dan ukiran atau relief berkelok-kelok. Cluster kedua2A dan 2B terdapat dua cekungan yang dilapisi dengan relief pusat bumi dan berkelok-kelok. cluster ketigaterdapat tebing dengan relief berkelok-kelok. Cluster keempatada relief yang menggambarkan makhluk Gana [penyangga alam semesta].

BPCB Jawa Timur menetapkan zona inti dan zona kedua atau penyangga di lokasi ini. Zona inti ditentukan dari sisi timur, dari jembatan Belanda ke ujung kolam. Area ini hanya diperbolehkan untuk keperluan dokumentasi atau untuk ritual keagamaan setempat.

Sedangkan zona kedua berada di luar zona inti, kongruen dengan luas penduduk sekitar. Di zona ini, warga sekitar bisa memanfaatkan keberadaan tapak untuk pengembangan ekonomi.

Di bawah koordinasi Yasin, anggota Pokdarwis Situs Petirtaan Ngawonggo yang berjumlah 40 orang bahu membahu menjaga, melindungi dan merawat sisa-sisa peninggalan. Bersama warga Dusun Nanasan, Desa Ngawonggo, Kecamatan Tajinan, mereka melakukan bakti sosial satu atau dua bulan sekali. Rombongan mahasiswa juga sering datang untuk melakukan program pengabdian terkait pemeliharaan situs.

“Rentan terhadap pelapukan dan kehancuran, terutama saat terjadi bencana. Itu harus dijaga bersama,” kata Yasin.

Ahmad Hariri menambahkan, upaya pelestarian cagar budaya merupakan kewajiban setiap warga negara. Dia mengapresiasi upaya yang dilakukan Yasin dan warga untuk menjaga situs secara mandiri.

“Warga dapat menggunakan situs tanpa merusaknya, bahkan tanpa anggaran pemerintah,” tambahnya.

Namun, Hariri menyayangkan situs Ngawonggo Petirtaan belum terdaftar secara resmi sebagai situs cagar budaya. Data BPCB Jawa Timur menunjukkan bahwa lokasi tersebut masuk sebagai inventarisasi, termasuk hasil kajian.

“Itu memenuhi persyaratan warisan. Silahkan menghubungi Pemkab Malang melalui Tim Ahli Pelestarian Budaya [TACB] diusulkan untuk ditetapkan sebagai cagar budaya,” katanya.

Kolam cluster kedua Situs Ngawonggo Petirtaan dengan relief dari pusat bumi dan berkelok-kelok. Foto: Wulan Eka Handayani/Mongabay Indonesia

teknologi instalasi air

Dwi Cahyono menjelaskan, bagian timur situs dulunya merupakan area persawahan yang berair, tempat yang cocok untuk pertanian.

Situs ini terletak di antara dua sungai, daerah aliran sungai [Daerah Aliran Sungai] Sungai Manten dan Sungai Dawuhan. Mata air yang muncul dari timur ke selatan mengalir ke flash pool.

“Ngawonggo bisa digunakan sebagai alat pengajaran pengelolaan air di masa lalu,” tambahnya.

Dwi menjelaskan ada instalasi air buatan atau artificial di Situs Petrine Ngawonggo. Bukan hanya sumber air atau sumber [tanah cekung berisi air]tapi ada juga Weluran, selokan, kilat, bisa juga ada pintu air bambu. Jauh sebelum bendungan dibangun, yang dikenal dengan nama Sungai Dawuhan, sudah dibangun bendungan peninggalan nenek moyang kita.

Weluran merupakan saluran air terbuka. Di bagian atas situs adalah saluran air yang dibuat dengan memotong tebing yang kokoh.

“Setua kilat, satu paket. Itu dibendung di sisi selatan, jadi sudah ada bendungan, demikian sebutannya, sejak bendungan pertama mendesah. air keluar mendesah dialirkan ke selokan di sisi selatan Sungai Kali Manten. Kanal yang menyuplai air ini mengisi flash di bawah,” jelasnya.

Dwi menambahkan, talang merupakan bagian dari pengelolaan air di situs Ngawonggo Petirtaan dengan teknologi yang bisa dibilang canggih pada masanya. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan waktu pembuatan talang.

“Talang ini lebih muda, dari zaman Singasari atau Majapahit? Peninggalan yang kini berada di situs tersebut bukan berasal dari satu zaman,” kata Dwi.

Pengelolaan air di tempat itu bisa disebut Aksen Hidrologis. Budaya masa lalu yang memberi pelajaran, kearifan lokal, mampu menciptakan pengelolaan air yang bermanfaat bagi masyarakat. Mulai mengairi sawah [di sebelah barat] hingga ritual keagamaan.

“Sekarang sisa-sisa situs Ngawonggo Petirtaan bisa digunakan untuk pariwisata wisata pendidikan, wahana untuk belajar tentang air. Juga untuk belajar tentang lingkungan, ekowisata‘ tutup Dwi.

*Wulan Eka Handayani, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia.

Source: www.mongabay.co.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button