PPNS BPCB Jateng lompat, PHRI dorong bentuk pelayanan - WisataHits
Jawa Tengah

PPNS BPCB Jateng lompat, PHRI dorong bentuk pelayanan

SUKOHARJO – Kasus perusakan tembok kuno Ndalem Singopuran di Desa Singopuran, Kabupaten Kartasura langsung ditangani oleh Penyidik ​​Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah. Sementara kasus serupa sebelumnya, yakni pembongkaran benteng bekas Keraton Kartasura, akan segera dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.

PPNS BPCB Jateng Harun Alrosyid mengatakan pendataan untuk informasi sementara dilakukan langsung oleh PPNS BPCB Jateng. PPNS langsung melakukan penyelidikan atas perusakan tersebut.

“Sementara ini kami telah mengumpulkan data dan informasi. Ada pemerintah desa, ketua RT, operator penggalikata Harun Alrosyid

Menurut Harun, berdasarkan hasil pengukuran PPNS BPCB Jawa Tengah, panjang tembok rusak Ndalem Singopuran adalah 27,5 meter, tinggi 330 cm, lebar 75 cm. Sedangkan lebar pembongkaran atau sebaran pembongkaran adalah 9 meter.

“Warisan budaya tidak ada hubungannya dengan SHM (akta kepemilikan). Kalaupun hartanya benar, kalau unsur pidananya terpenuhi juga bisa dipidana,” kata Harun.

Harun mengatakan, tembok kuno Ndalem Singopuran baru saja terdaftar statusnya di Catatan Nasional (Regnas). Namun tetap dapat ditetapkan sebagai Obyek Cagar Budaya (ODCB).

“Tingkat ODCB berbeda dengan benteng bekas Keraton Kartasura. Nah, status hukum ini juga termasuk dalam penelitian kami. Yang pasti, kami akan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dulu,” kata Harun.

Terkait pembongkaran benteng eks Keraton Kartasura, Harun mengatakan akan segera membawa kasus tersebut ke Mahkamah Agung Jawa Tengah. Targetnya, kasus-kasus itu akan ditransfer sebelum Agustus Juli ini.

Di sisi lain, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sukoharjo prihatin dengan pembongkaran dua BCB di Kartasura, yaitu Benteng Keraton Kartasura dan Ndalem Singopuran di desa Singopuran.

Ketua PHRI Sukoharjo Oma Nuryanto mengatakan pembongkaran dua benteng tersebut tidak lepas dari minimnya pengetahuan masyarakat tentang status cagar budaya.

“Saya dengar pemilik tanah dengan benteng di desa Singopuran adalah orang ketiga (pembeli) dan saya tidak tahu bahwa benteng itu cagar budaya, selain itu tidak ada tandanya,” kata Nenek.

Agar kedua kasus tersebut tidak terulang kembali dan untuk melindungi cagar budaya dan destinasi wisata lainnya, PHRI Sukoharjo mengusulkan agar pemerintah kabupaten membentuk dinas pariwisata. Menurut Nenek, sektor pariwisata di Sukoharjo sangat penting dan luas cakupannya. Namun, saat ini hanya dikelola oleh lembaga di bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sukoharjo. Dengan hanya setingkat kepala bagian, perannya tidak akan maksimal.

“Dengan adanya biro pariwisata yang didukung oleh SDM yang baik, serta dukungan anggaran yang cukup, menjadi lebih mudah untuk menyelamatkan cagar budaya atau destinasi wisata lainnya. Mulai dari pendataan, sosialisasi hingga pelabelan agar masyarakat tahu,” kata Nenek Nuryanto.

Selain melestarikan cagar budaya, promosi pariwisata Sukoharjo juga optimal jika dilakukan oleh lembaga tingkat pelayanan. Selama ini, menurut Oma, sektor pariwisata di Sukoharjo yang hanya dikelola oleh kation, tertinggal jauh dari daerah-daerah lain di bekas kediaman Surakarta yang dikelola dinas. Bahkan sektor pariwisata di beberapa daerah tersebut menjadi andalan untuk memenangkan PAD.

“Faktanya, tempat wisata di Sukoharjo cukup banyak dan indah. Namun, kontribusinya terhadap APBD tidak signifikan. Makanya kami usulkan dibentuknya Tourist Office agar kontribusinya optimal,” kata Nenek Nuryanto. (kwl/roti/bendungan)

Source: radarsolo.jawapos.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button