Perkembangan Batik di Desa Pilang, Kecamatan Masaran
SAGEN – Kabupaten Sragen memiliki sentra tie dye yang cukup menonjol. Khususnya di Desa Pilang, Kecamatan Masaran. Dewan Desa (Pemdes) setempat berupaya mempromosikan potensi batik tulis.
Dilaporkan sejumlah desa di Bumi Sukowati telah menahbiskan diri sebagai Desa Wisata Batik. Terutama yang berada di sepanjang Sungai Bengawan Solo. Diantaranya adalah desa Kliwonan, Sidodadi dan Pilang. Semuanya berada di wilayah Kecamatan Masaran.
Salah satu yang tertarik mengembangkan batik tulis, yaitu Desa Pilang. Ada sekitar 130 usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Batik. Sebagian produk yang dihasilkan terserap di pusat perbelanjaan dan butik ternama di kota Solo.
Kepala Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disparpora) Sragen Yuniarti mengatakan, cikal bakal produksi batik di Masaranm tak lepas dari jasa nenek Setro. Telah bekerja sejak tahun 1880-an.
“Dulu dia dikenal sebagai orang yang membantu urusan fashion di Keraton Kasunanan Surakarta. Saat ini perempuan yang membatik di Masaran sudah memasuki generasi kedelapan,” ujarnya kemarin (22 Juli).
Menurut Yuniarti, UNESCO telah mengakui batik sebagai Situs Warisan Dunia dari Indonesia. Tak heran, Disparpora terus menggenjot produksi dan inovasi tie-dye. Kerjasama dengan Badan Otorita Borobudur (BOB), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Dalam bentuk bantuan untuk pengrajin batik. Baik dari segi desain, produksi maupun pemasaran.
“Sragen tie-dye memiliki pola yang berbeda. Seperti produk pilang (desa), ia memiliki kombinasi ornamen flora dan fauna. Sangat berbeda dengan daerah lain,” tambah Yuniarti.
Kepala Desa (Kades) Pilang Sukrisno menambahkan, produksi batik yang dirintis di Masaran sebenarnya berasal dari daerahnya. “Tapi ada juga desa sebelah yang membuat tie-dye dan itu menonjol. Akibatnya, Pilang kehilangan daya saing. Intinya kita mulai dengan tie-dye. Sudah lama sejak saya lahir,” jelasnya.
Sukrisno mengatakan, regenerasi batik tulis mulai menurun. Karena kemajuan teknologi, banyak yang mulai beralih ke cetak celup. Masalah ini terus ditangani.
“Masalahnya, tidak ada cukup ahli untuk membuat desain atau motif. Lalu kurangnya tenaga ahli yang bisa membantu penjualan secara langsung on line juga,” jelasnya.
Upaya pemerintah desa adalah terlibat dalam pengenalan batik pilang. Selain itu, rumah ini menampung ratusan pengrajin di masyarakat.
“Kami berencana membangun galeri sebagai platform periklanan. Sekaligus memperkuat identitas desa wisata batik. Kami sudah menyiapkan lahan 1 hektar untuk membangun galeri di gedung pertemuan,” jelasnya.
Bukan hanya galeri yang mempermudah penjualan offline. Pemdes juga menggenjot pemasaran on line. Karena jika Anda tetap dengan sistem offlinejelas tertinggal dari desa lain.
“Menyiapkan identitas produk dengan karakter batik yang khas pun tidak mudah. Karena desa-desa sekitarnya memiliki banyak produsen batik. Karakternya juga hampir sama,” ujarnya.
Ke depan, pemerintah desa ingin batik pilang memiliki identitas yang kuat. “Misalnya kaos Dagadu di Jogja. Kami mempersiapkan itu. Jadi kalau orang pakai tie-dye, mereka tahu itu dari pilang,” harapnya. (din/fer/bendungan)
Source: radarsolo.jawapos.com