Meriam Jagur: Senjata Suci yang Terlupakan - WisataHits
Jawa Timur

Meriam Jagur: Senjata Suci yang Terlupakan

JAKARTA – Pesona meriam Si Jagur bisa mendongkrak pariwisata di Jakarta. Sebenarnya sejak zaman dahulu. Jagur pernah menjadi alat pertahanan yang tangguh. Namun, ketika sudah jadi manis, dibuang begitu saja. Pemerintah kolonial Hindia Belanda begitu saja meninggalkannya karena pusat pemerintahan dipindahkan. Pengabaian itu sebenarnya membuahkan hasil yang manis. Si Jagur disambut antusias oleh penduduk asli. Meriam “jempol” dianggap suci. Siapa pun yang ingin kaya dapat memiliki anak. Ini adalah ceritanya.

Meriam Jagur memiliki sejarah panjang. Dia tidak hanya datang untuk menghidupkan benda-benda bersejarah DKI Jakarta. Oleh karena itu, tim Memory VOI mencoba mengikuti jejaknya. Alias ​​mengulas alasan mengapa Si Jagur disakralkan dan kemudian ditinggalkan.

Pada hari Rabu 23 Juni 2022 kami tiba di kota tua di pagi hari. Tujuannya untuk mendapatkan izin liputan di sekitar Kota Tua dari Unit Pengelola Kawasan Kota Tua. Pemilik situs bertanya ke mana kami akan pergi. Kami spontan mengatakan bahwa kami ingin meninjau meriam Si Jagur.

Setelah mendapat izin, kami langsung menuju halaman depan Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah). Dimana Meriam Jagur berada. Kunjungan itu disengaja. Kami ingin mengetahui pandangan pengunjung kontemporer tentang Meriam Si Jagur.

Meriam Jagur diperlakukan sebagai benda suci. (Cas Oorthuys/Museum Belanda)

Rata-rata pengunjung yang kami temui tidak mengetahui sejarah Si Jagur dengan baik. Namun bukan berarti Si Jagur tidak memiliki daya pikat. Jagur pasti memiliki pesona. Simbol jempol terjepit menjadikan Si Jagur sebagai spot foto yang menarik pengunjung. Pasalnya, mereka yang berfoto dengan meriam yang dianggap simbol persetubuhan kerap menimbulkan gelak tawa atau canda.

“Meriamnya unik, tapi agak porno,” kata Ani, salah satu pengunjung.

Tak hanya Ani, pengunjung lain pun memberikan komentar serupa. Kami juga tidak menemukan elemen suci dari meriam. Si Jagur umumnya diperlakukan sebagai benda bersejarah. Hanya dilihat, diamati dan difoto.

Bahkan saat itu, Si Jagur diabadikan dalam gambar dari jauh. Pagar telah didirikan di sekitar Si Jagur, yang tidak memungkinkan orang untuk mendekatinya.

Awal pembuatan

Sejarah meriam Si Jagur dimulai dengan seorang pandai besi Portugis yang terkenal, Manuel Tavares Baccarro. Di tangannya 16 meriam kecil dilebur. Pencairan itu menghasilkan meriam besar. Beratnya 3,5 ton, panjangnya 3,85 meter dan diameter laras 25 sentimeter. Meriam Si Jagur namanya.

Nama Si Jagur merupakan penyederhanaan dari nama benteng Portugis di Makau, Fort Santo Jago de Barra. Si Jagur ditempatkan di benteng. Kehadiran Si Jagur diprediksi ampuh untuk menghalau musuh Portugis. Besarnya Si Jagur membuat Portugis membawa Si Jagur ke Melaka. Meriam itu ditempatkan di benteng Portugis di Melaka, Benteng A Famosa.

Namun, bukan berarti Si Jagur tak terkalahkan. Perusahaan dagang Belanda VOC justru berhasil menumbangkan dominasi Portugis di Malaka. Pasukan Portugis dipukul mundur. Meriam Si Jago dibawa ke Batavia sebagai jarahan pada tahun 1641.

VOC menempatkan Si Jagur untuk menjaga keamanan di Benteng Batavia yang menghadap ke laut. Tujuannya agar bisa mengantisipasi kapal musuh yang masuk. Sejak saat itu, Si Jagur sepenuhnya menjadi bagian dari pertahanan VOC.

Berbagai sesaji disematkan pada meriam Si Jagur. (Cas Oorthuys/Museum Belanda)

Keberadaan meriam Si Jagur untuk menjaga keamanan berlangsung cukup lama. Ketenaran Si Jagur baru harus berakhir ketika era VOC telah digantikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Di belakangnya ada Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels.

Pada tahun 1808 ia memindahkan pusat pemerintahan dari Oud Batavia (Batavia lama) ke Weltevreden (sekarang: daerah sekitar Lapangan Banteng). Langkah itu dilakukan dengan menghancurkan benteng Batavia dan Kasteel. Meriam Si Jagur ditinggalkan di daerah dekat Kasteel Batavia yang biasa dikenal dengan daerah Kota Intan.

“Jagur itu dibawa ke Batavia setelah VOC menaklukkan Malaka (1641). Kemudian meriam yang memuntahkan peluru seberat 24 pon itu ditempatkan di Benteng Batavia untuk menjaga pelabuhan. Rupanya meriam ini terlupakan atau tertinggal karena terlalu berat ketika benteng Batavia dihancurkan oleh Daendels (1809).

“Pada meriam ini tertulis dalam bahasa Latin: EX me Ipsa renata sVm – dari diriku sendiri aku terlahir kembali. Kalimat ini menunjukkan bahwa Si Jagur dilempar dari 16 (=X+I+V) meriam kecil. Meriam ini dilempar oleh MT Bocarro di Makau untuk benteng Portugis di Malaka,” kata Adolf Heuken SJ, tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta dalam buku tersebut. Tempat bersejarah di Jakarta (2016).

Dihitung sebagai meriam suci

Kami mencoba mengunjungi lokasi meriam Si Jagur di Diamond City. Meriam Si Jagur konon diletakkan tak jauh dari Jembatan Kota Intan. Di sana kami mencoba memahami mengapa senjata Jagur tiba-tiba menjadi suci.

Padahal, semua berawal dari simbol yang dianggap pornografi: acungan jempol. Simbol hubungan seksual ini terkenal dengan nama mano di fica. Pria berarti tangan, fica berarti vulva. Salah satu simbol seks tertua dikatakan berasal dari Italia.

Namun, pemahaman masyarakat Batavia tidak jauh berbeda. Selain itu, pengaruh Hinduisme masih kuat. Pengaruh Hindu telah membiasakan masyarakat Batavia untuk melihat simbol-simbol persetubuhan, seperti B. Perhatikan lingga (simbol kejantanan) dan yoni (simbol kesuburan).

Ikon terakhir mano di fica dianggap sebagai simbol kesuburan. Artinya, meriam Si Jagur dianggap keramat. Orang-orang juga percaya bahwa Si Jagur dapat mengabulkan keinginan apa pun. Dari menghindari bahaya hingga memiliki anak.

“Pemandu saya Abdullah mengatakan kepada saya bahwa banyak wanita percaya bahwa meriam tua Portugis ini memberikan kesuburan, sehingga banyak orang Indonesia, Cina, dan Indonesia yang tidak memiliki anak datang ke sini dan mempersembahkan korban.”

“Ketika meriam dipuaskan, keinginan untuk memiliki anak terpenuhi. Di belakang meriam ada kepalan tangan, jari-jari dan ibu jari yang mengingatkan penduduk asli tentang simbol mistis Hindu: melambangkan kesuburan,” kata HCC Clockener Brousson dalam buku. Batavia awal abad ke-20 (2017).

Akhir dari jagur

Pilihan mengharap berkah pada Si Jagur dinilai optimal. Kisah Jagur bisa “menghamili” banyak wanita di mana-mana. mendistribusikan dengan cepat. Alhasil, jemaah haji yang menunggu berkah Si Jagur meledak. Mereka tidak hanya datang dari Batavia saja. Tapi juga dari Bandung, Cirebon dan Surabaya. Kondisi ini berlangsung hingga Indonesia merdeka.

Pemerintah DKI Jakarta juga prihatin dengan situasi ini. Mungkin Si Jagur bisa menjadi daya tarik yang membawa orang ke Jakarta. Namun, daya tarik mistis dan takhayulnya menentang akal sehat. Pemerintah juga berencana. Pemiliknya memindahkan Si Jagur ke Museum Nasional pada tahun 1950.

Taktik itu berhasil untuk sementara waktu. Selain itu, posisi Si Jagur ditempatkan di kubu. Namun, bukan berarti pengunjung museum yang mengharapkan berkah dari Si Jagur kemudian sirna. Mereka masih datang dengan persembahan mereka sendiri. Tindakan ini kerap membuat khawatir para pejabat museum. Karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Lambat laun, mereka yang menunggu berkah Si Jagur bertambah banyak. Pemprov DKI Jakarta tidak mau berurusan dengan hal itu. Mereka menundanya lagi. Museum Wayang menjadi rumah baru Si Jagur pada tahun 1968.

Ornamen jempol yang disematkan pada meriam Si Jagur berasal dari simbol seksual tertua di Italia, yaitu Mano in Fica. (Cas Oorthuys/Museum Belanda)

Lima tahun kemudian, pada tahun 1974, Si Jagur kembali dipindahkan ke halaman belakang Museum Sejarah Jakarta. Lokasi bekas meriam Si Jagur masih bisa dilihat hingga saat ini. Terakhir kali Si Jagur dipindahkan ke halaman depan Museum Sejarah Jakarta adalah pada tahun 2002.

Pemindahan tersebut mengakibatkan pengunjung tidak lagi menganggap Si Jagur sebagai keramat. Jagur mulai ditinggalkan. Begitu juga dengan kisah-kisah kesaktiannya. Lagipula, Tuan Si telah membentengi Jagur dengan pagar seperti yang terlihat sekarang.

“Untuk itu (yang sering menimbulkan syirik) meriam itu dipindahkan ke halaman belakang gedung bekas Balai Kota (Stad Huis) di Taman Fatahillah, Jakarta Barat, yang digunakan sebagai Museum Jakarta. Meriam tersebut kabarnya kini telah dipindahkan kembali ke halaman depan dan dapat dilihat oleh publik,” pungkas budayawan Betawi Abdul Chaer dalam buku tersebut. cerita rakyat betawi (2012).

Source: voi.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button