Kunjungan ke Candi Selogriyo dengan pemandangan alam • Radar Jogja - WisataHits
Jawa Timur

Kunjungan ke Candi Selogriyo dengan pemandangan alam • Radar Jogja

RADAR JOGJA – Candi Selogriyo di Dusun Campurejo, Desa Candisari, Kabupaten Bandongan menawarkan pemandangan alam yang mempesona. Mulai dari persawahan, persawahan, perbukitan hingga panorama alam lainnya yang terasa lebih enak dipandang mata. seperti apa?
Naila Nihayah, Mungkid, Radar Jogja

Keberadaan candi sebenarnya tersembunyi. Pengunjung harus berjalan kaki dua kilometer dari loket tiket. Anda bisa berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor. Namun, pengunjung harus ekstra hati-hati saat menyeberang jalan. Karena sebagian jalan masih berupa bebatuan. Tentu saja, saat hujan, licin.

Namun, banyak pengunjung merasa tertantang untuk menaklukkan situs tersebut. Cocok untuk mereka yang suka hiking dan menjelajahi alam. Terutama bagi pengunjung asing.

Candi Selogriyo merupakan peninggalan purbakala yang diperkirakan dibangun pada abad ke-9 Masehi. Tepatnya pada masa kerajaan Mataram Kuno. Dibangun pada masa Dinasti Syailendra dan Dinasti Sanjaya. Dengan latar belakang agama Hindu, candi ini memiliki empat sisi dinding dan terdapat lima relung yang di dalamnya terdapat arca dewa.

Lokasi tepatnya berada di lereng timur gugusan tiga bukit yaitu Bukit Condong, Giyanti dan Malang dengan ketinggian 740 meter di atas permukaan laut (mdpl). Hal ini menunjukkan ciri-ciri candi Selogriyo yang digunakan untuk pemujaan. Seperti doa dan ritual lainnya.

Pengelola candi Selogriyo Miftahudin mengatakan nama candi mengacu pada warga sekitar. Dulu disebut “Nenek Batu”. Kemudian banyak warga yang sering ditanyai oleh pengunjung dan mengajinya dalam bahasa Jawa Krama. “Watu adalah Selo sedangkan Omah adalah Griyo. Jadi Selogriyo,” jelasnya kemarin (17/10).

Berdasarkan informasi yang dihimpun, candi tersebut telah tiga kali direnovasi. Pada 1970-an, 1980-an, dan 1998, candi itu hancur karena bukit tempat bangunan itu berdiri mengalami longsor.

Banyak bebatuan yang tertimbun material longsor. Kemudian mereka mulai mencari batu dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah pada tahun 2000. Semua batu, kata dia, akan terus dicari. Batu ditemukan, dipindahkan dan diatur di tempat lain.
Setelah itu, kemudian dirakit sambil memperbaiki longsor.

Namun, karena banyak batu yang rusak, konstruksinya ditambal. Ada beberapa batu baru yang terlihat kehitaman. “Sampai Anda bangun dengan benar, baru bergerak kembali,” jelasnya.
Rekonstruksi selesai pada tahun 2005. Namun banyak batu yang rusak, pecah, tergores, dll. Tahun 2018 juga terjadi longsor dengan kemiringan 20 sentimeter. Kemudian penataan ulang dilakukan secara bertahap.

Denah candi berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 4,2 meter x 4,2 meter dan tinggi 4,96 meter. Rangka di bagian bawah candi berupa genta dan rangka samping patta (datar).

Menurutnya, candi ini memiliki keunikan dibandingkan candi lainnya. Arca-arca di relung masih ada, hanya kepalanya yang hilang. Bahkan, komponen utama dalam bilik candi, biasanya lingga dan yoni, telah menghilang. Keadaan stand yang kosong menyisakan ceruk di sisi utara.

Hanya ada satu candi Selogriyo. Tapi, lanjutnya, ada orang yang melihat candi itu tidak hanya satu. Ada kuil lain di dekat tempat itu. “Suatu kali seorang anak kecil datang ke sini dan melihat bahwa ada kuil lain. Padahal hanya ada satu pura untuk umum,” jelasnya.

Ia menambahkan, Candi Selogriyo merupakan salah satu peninggalan purbakala yang memiliki mata air dengan sumber aslinya. Di sisi selatan sekitar 20 meter dari candi. Dipercaya mampu mengobati berbagai penyakit dan awet muda.
Terakhir kali, kata Miftah, ada masyarakat Bali yang berdoa di Pura Selogriyo. Setelah itu, mandi musim semi. Ternyata, dia telah melalui banyak perubahan. “Seorang pria dan seorang wanita juga ada di sana dua kali. Dia merasa sakit. Dan pulang dengan tubuh yang sehat,” ujarnya.

Karena menyuguhkan kearifan lokal, pengunjung asing kerap datang berkunjung. Biasanya, penduduk setempat mencari kayu dan melakukan budidaya padi untuk mencari rumput. “Mereka sangat senang melihatnya sehingga mereka ingin berpartisipasi dan meminta foto,” tambahnya.
Dulu, Candi Selogriyo sering digunakan sebagai tempat merayakan atau merayakan panen. Namun, karena tergerusnya kepercayaan masyarakat, tradisi semacam itu perlahan-lahan menghilang.

Sedangkan pura dikelola oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) atas prakarsa instansi terkait, kecamatan dan desa. Tapi itu tersedot dan sekarang berjalan lagi setelah pandemi.

Sekitar 40-50 pengunjung datang setiap hari. Kecuali ada kelompok sekolah. Bisa mencapai 150-200 siswa. Sedangkan tiket untuk pengunjung lokal Rp7.000 dan pengunjung asing Rp25.000. Uang yang diperoleh digunakan untuk pemeliharaan mulai dari memotong rumput hingga pekerjaan pembersihan lainnya. “Memang kami terkendala akses jalan yang agak jauh,” imbuhnya. (yuk)

Source: radarjogja.jawapos.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button