Kisah Anda tentang Badut Asli Wonogiri yang Terancam Punah di Zaman Modern - Solopos.com - WisataHits
Jawa Tengah

Kisah Anda tentang Badut Asli Wonogiri yang Terancam Punah di Zaman Modern – Solopos.com

Kisah Anda tentang Badut Asli Wonogiri yang Terancam Punah di Zaman Modern – Solopos.com

SOLOPOS.COM – Tangkapan layar seni badut dari kanal Youtube Wonogiri Culture Channel. Tangkapan layar diambil Selasa (10/1/2023). (Channel Youtube Spesial/Budaya Wonogiri)

Solopos.com, WONOGIRI — Kesenian badut tradisional di Wonogiri terancam punah di zaman modern ini. Kesenian yang diyakini lahir sejak Pangeran Sambernyawa berada di Wonogiri dalam perang gerilya melawan Belanda ini semakin terabaikan oleh para pelestari lingkungan.

Hal ini sangat disayangkan mengingat tidak banyak kota/pemerintahan lain yang memiliki kesenian serupa. Badut sudah menjadi salah satu kesenian khas di Wonogiri. Tanpa kebangkitan seni ini, tak menutup kemungkinan untuk beberapa tahun ke depan, masyarakat Wonogiri hanya bisa melihat badut melalui rekaman digital.

Promosi Hyperlocal Tokopedia Meroket Penjualan Online Sebesar 147%

Aktivis badut dan pelestari Endarto mengatakan pemahamannya, seni badut tradisional saat ini hanya dilestarikan oleh dia dan kelompoknya di Wonogiri. Di sisi lain, pemerintah tidak memberikan perhatian khusus untuk menyelamatkan kesenian yang menurutnya asli dari Wonogiri ini.

Kondisi ini cukup disayangkan. Karena kesenian ini memiliki sejarah dan riwayat yang panjang di Wonogiri.

Beriklan dengan kami

Endar, sapaan akrab pria itu, menyebut kemunculan awal Badutan tak lepas dari sosok Pangeran Sambernyawa atau belakangan Mangkunegara I. Saat itu, Pangeran Sambernyawa yang juga dikenal dengan nama Raden Mas Said sedang bergerilya melawan Belanda.

Suatu hari, Pangeran Sambernyawa bersama 40 orang pasukannya tiba di Desa Bubakan di Kecamatan Girimarto Wonogiri. Pangeran Sambernyawa sampai di sana setelah berjalan kaki dari Nglaroh (saat ini di Desa Pule, Kecamatan Selogiri, Wonogiri).

Di Bubakan, Raden Mas Said bertemu dengan para petani yang bekerja di ladang. Kemudian dia ingin membantu pekerjaan lapangan dan berpakaian seperti petani.

Suatu hari pasukan Belanda yang mencari Raden Mas Said tiba di Bubakan. Di sana pasukan Belanda menanyakan kepada seorang petani yang kebetulan sedang bekerja di sawah tentang keberadaan Raden Mas Said.

Petani itu menjawab tidak tahu. Merasa tak terjawab, pasukan Belanda memutuskan hengkang.

“Padahal petani yang ditanya adalah Raden Mas Said sendiri. Tapi tentara Belanda tidak tahu karena dia pakai baju petani,” kata Endar Solopos.com di rumahnya, Desa Kayuloko, Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Wonogiri, Selasa (10/1/2023).

Beriklan dengan kami

Keberhasilan Raden Mas Said mengecoh dan mengusir musuh disambut baik oleh pendukung dan warga kampung Bubakan. Karena terlalu senang, salah seorang pengikutnya, Guno Sumadyo, menawarkan untuk menghibur Pangeran Sambernyawa dengan tarian.

Ini juga sebagai bentuk rasa syukur karena Pangeran Sambernyawa dan pasukannya masih selamat. Saat itu ada empat orang penari, dua laki-laki dan dua perempuan, yang menari dengan bebas dan tanpa patokan.

Raden Mas Said merasa terhibur dan menginstruksikan Guno Sumadyo untuk melanjutkan tarian bebas ini. Dia menunjukkan bahwa banyak orang membutuhkan seni untuk menghibur diri mereka sendiri. Oleh Raden Mas Said kesenian ini disebut Badutan.

Guno Sumadyo kemudian ditugaskan untuk kembali ke kampung halamannya di Desa Tremes, Sidoharjo. Tugasnya adalah mengembangkan seni ini.

“Guno Sumadyo adalah kakek nenek saya. Kesenian ini kemudian akan diwariskan kepada keturunan mereka. Saya adalah generasi keempat yang mewarisi kesenian ini,” kata pria berusia 55 tahun itu.

Menurut Endar, mewariskannya dari generasi ke generasi sudah menjadi tradisi. Sayangnya, saat ini, dia belum menemukan siapa pun di keluarganya yang tertarik untuk melestarikan badut tersebut.

Dia memiliki tiga anak, dua di antaranya mengatakan tidak ingin melanjutkan seni ini. Sedangkan anak lainnya masih duduk di kelas VII SMP.

Beriklan dengan kami

“Kami tidak tahu kepada siapa ini akan diteruskan. Tidak ada program pemerintah untuk membahas pelestarian seni ini,” katanya.

Ia melanjutkan, Sebuah kelompok badut membutuhkan setidaknya 12 orang. Empat sebagai penari badut, tujuh sebagai badut pengiring gamelan, satu sebagai sinden.

Kesenian ini merupakan seni tari bebas yang diiringi dengan percakapan antar badut yang di dalamnya terdapat candaan. Diskusi yang dibahas tergantung pada topik acara. Badut biasanya tampil di ruwatan atau acara amal. Selain berbagai perayaan. Durasi pertunjukan hingga dua jam.

“Yang paling ramai adalah Ruwah (bulan Jawa). Sebulan bisa terjadi 5-6 kali. Untuk biayanya, biasanya kami mematok Rp 5,5-6 juta per pementasan,” kata Endar.

Sementara itu, Kepala Bidang Kebudayaan (Kabid) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Wonogiri Eko Sunarsono mengatakan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonogiri akan berupaya menghidupkan kembali kesenian tradisional di Wonogiri.

Salah satunya mengubah beberapa konsep yang dianggap tidak relevan menjadi lebih relevan dengan zaman. Dengan demikian seni tetap dapat diterima dan lestari.

“Kalau programnya berupa penyediaan anggaran, malah tidak akan berhasil. Seni itu organik. Kami tidak bisa hanya memberikan anggaran saja,” kata Eko.

Beriklan dengan kami

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button