Kluwung gendong kerajinan kain tenun di desa Ngabe, Sragen terancam punah - Solopos.com - WisataHits
Jawa Tengah

Kluwung gendong kerajinan kain tenun di desa Ngabe, Sragen terancam punah – Solopos.com

SOLOPOS.COM – Surati, 70 tahun, merupakan satu-satunya penenun Kluwung Gendong di Desa Ngabe, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen. Pabrik tenun Kluwung Gendong asli di desa Ngabe saat ini terancam punah karena tidak ada yang melanjutkan. (khusus/wakimin)

Solopos.com, SRAGEN — Desa Ngabe, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen memiliki penenun yang handal. Dia adalah Surati, 78, seorang pembuat tenun Kluwung Gendong. Kabar buruknya, dia adalah satu-satunya penenun di desa Ngabe.

Ketiadaan penerus Surati membuat kerajinan Kluwung yang membawa kain tenun di Desa Ngabe berada pada titik surut terendah dan menuju kepunahan.

PromosiJos! Petani dan peternak Klaten bisa menjadi pendukung kedaulatan pangan

Saat Solopos.com berkunjung ke rumahnya, Kamis (25/8/2022), wanita tua itu sedang sakit. Enam bulan sudah ia tidak menenun gendongan Kluwung. Surati tinggal di sebelah rumah anaknya.

“Ketika saya masih kecil, ibu saya menjual kain tenunnya di pasar Saren. Biasanya terbuat dari kain untuk dipakai. Dijual dengan harga Rp 25.000 hingga Rp 30.000,” jelas Suratmin, putra Surati yang sedang menemani ibunya saat ditemui. Solopos.com. Karena usia, pendengaran Surati mulai menurun.

Baca Juga: UNS Gandeng Warga Karungan Sragen Jadikan Daun Nanas Jadi Kain

Satu-satunya alat tenun Surati rusak. Pembuatan kain tenun Kluwung Gendong membutuhkan waktu lima sampai tujuh hari dengan tangan yang rapuh itu. “Sulit untuk menenun, butuh kesabaran ekstra,” jelas Surati.

pengrajin kain tenun kluwung memakai SragenSurati, 70 tahun, menganyam gendongan Kluwung. (khusus/wakimin)

Desa Ngabe sendiri merupakan salah satu desa binaan Program Peningkatan Kebudayaan Desa 2021. Program ini milik Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Asisten Kebudayaan Desa (Daya Desa) Ngabe, Wakimin mengatakan, kerajinan tenun Kluwung Carry secara bertahap mulai memudar di desa. Hal ini sejalan dengan tidak adanya penerus kerajinan tenun selain Surati.

Sebagai orang kelahiran Desa Ngabe, Wakimin prihatin dengan warisan budaya yang kini terancam punah. “Banyak orang yang tidak tahu bahwa ada pabrik tenun Kluwung Carry di Desa Ngabe,” katanya.

Wakimin berusaha memperkenalkan tenun kluwung gendong buatan Surati dengan menggunakannya di sejumlah acara. Pria yang juga pemandu wisata di Museum Manusia Purba Sangiran itu meminta Surati menenun tas jinjing Kluwung seukuran selendang. Saat bertemu dengan wisatawan, Wakimin juga mencoba mempromosikan tenun Kluwung.

Baca juga: Sega Plontang, Kuliner Khas Sragen Penuh Makna yang Tak Selalu Ada

“Kalau wisatawan tertarik melihat proses pembuatannya, saya bawa ke rumah Mbah Surati. Kalau karyanya tetap laku pasti akan menambah semangat Mbah Surati,” imbuhnya.

Pesanan tidak dapat dieksekusi

Wakimin mengaku ada toko suvenir yang meminta Surati untuk mengantarkan selendang Kluwung. Namun, karena sudah tua dan prosesnya memakan waktu lama, Surati kewalahan menerimanya. Di sisi lain, tidak ada yang mewariskan keterampilan menenun seperti Surati.

Wakimin menjual kain tenun Kluwung kepada wisatawan seharga Rp 200.000 hingga 250.000 per helai. Banyak turis yang tertarik pada awalnya, tetapi begitu mereka tahu harganya, mereka biasanya tidak membelinya. Wakimin memperkirakan harga tersebut sesuai dengan nilai seni tenun kluwung buatan Surati.

Absennya penerus Surati, kata Wakimin, karena anak muda sekarang lebih memilih produk instan. Menenun kain membutuhkan kesabaran ekstra. “Pernah ada orang yang saya paksa belajar dengan Mbah Surati, katanya ribet dan tidak sabaran. Akhirnya menyerah,” tambahnya.

Baca Juga: Ironi Desa Pungsari Sragen Memiliki Banyak Potensi Wisata, Namun Sulit Dikembangkan

Di sisi lain, juga kurangnya dukungan dari pemerintah desa dan warga. Tidak ada rasa memiliki terhadap produk budaya berupa kluwung yang memakai kain tenun.

Apa yang disampaikan Wakimin ini diamini oleh salah satu pejabat Desa Ngabe, Tarmin. Pria yang berprofesi sebagai burung beo ini mengaku sulit menemukan orang yang mau belajar menenun seperti Surati.

Source: www.solopos.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button