Hilangnya budaya yang berbeda di Kangean - WisataHits
Jawa Timur

Hilangnya budaya yang berbeda di Kangean

Klik TIMES.COM | SURABAYA-Apakah Anda pernah ke Pulau Kangean? Jarak Sumenep ke Kangean sekitar 160 km sedangkan Kangean ke Bali sekitar 169 km. Secara administratif, Pulau Kangean termasuk dalam wilayah Kabupaten Sumenep, Madura, Provinsi Jawa Timur.

Kali ini kita explore Pulau Kangean dari sisi budaya. Ada dua akademisi yang fokus mempelajari budaya di Pulau Kangean.

Akademisi Universitas Negeri Malang asal Sumenep, Prof. Dr. Abd Latif Bustami mengatakan bahwa penduduk pulau Kangean memiliki budaya sendiri, berbeda dengan Madura, yang harus diperhatikan dalam pembangunan daerah.

Perbedaan orang Kangean dengan pulau Madura tampaknya bermula dari asal usul penduduk pulau Bekisar pada zaman dahulu. Kangean sebenarnya merupakan gabungan dari banyak suku seperti Madura sendiri, Kalimantan, Sulawesi (Bugis dan Bajo), Arab, Cina dan Bawean (pulau-pulau di Kabupaten Gresik).

Jejak masa lalu yang menjadi asal muasal masyarakat Pulau Kangean dapat dilihat pada nama-nama desa seperti Pecinan (China), Bugis (Sulawesi) dan Kampung Arab. Namun, banyak dari desa-desa ini memiliki nama hari ini karena beberapa warisan fisik dan budaya mereka tidak dapat dilacak kembali.

Di Dusun Pecinan, Desa Kalikatak, Kecamatan Arjasa, jejak budaya Tionghoa saat ini hanya berupa panggilan, yaitu encek (cek) untuk laki-laki dan encik (Cik) untuk perempuan. Ada juga warga Chinatown yang masih disebut Koh.

Model rumah pecinan di dusun tersebut banyak mengalami perubahan, juga yang sudah ada mengalami modifikasi di beberapa bagian mengikuti model rumah modern.

Jejak budaya Bajo dan Bugis dengan rumah panggung juga sudah hilang, meski identitasnya masih ada, yakni desa Bugis di desa Pajenangger, kecamatan Arjasa.

Ada temuan faktual yang menarik dengan keberadaan rumah panggung (satu-satunya) di Dusun Pecinan, Desa Kalikatak. Pemiliknya, Muhammad Sofwan Sakir, sebenarnya berasal dari Kabupaten Sampang dan memiliki istri Kangean. Ia memiliki rumah panggung tua hasil pembelian di Desa Pajenangger. Dia mengaku motifnya hanya karena menyukai model rumah panggung dengan kayu yang sangat kokoh.

Sementara itu, Dedi Sulaiman dari Program Magister Sosiologi dan Ilmu Sosial Universitas Airlangga mencatat dalam kajiannya ada “penolakan” untuk menyebut nama warga Madura Kangean.

Dicontohkan oleh Dedi, cukup banyak warga Kangean yang bekerja sebagai TKI di Malaysia dan tidak mau dicap sebagai orang Madura. Begitu juga dengan perantau yang menetap di luar Kangean.

Dalam banyak hal, masyarakat Pulau Kangean sangat terpencil dan berbeda dengan Madura. Secara geografis, Kangean juga dekat dengan Pulau Bali atau sebelah utara Pulau Dewata.
Perbedaan yang paling terlihat antara Kangean Daratan dan Madura, khususnya Sumenep sebagai induk penyelenggaraan pemerintahan, adalah bahasanya.

Kosa kata bahasa Kangean memiliki banyak perbedaan dengan bahasa Madura pada umumnya. Jika kata-kata saya umumnya “engkok” atau “sengkok” dalam bahasa Madura, menjadi “ako” dalam bahasa Kangean atau “keta” dalam strata yang lebih tinggi. Jadi “be’en” (du) adalah “kao”.

Hal yang sama berlaku untuk budaya pertahanan. Sedangkan orang Madura umumnya menggunakan senjata arit, di Kangean ada “kalebeng” atau kelewang selain arit.

Tradisi yang terkenal di Madura yaitu “karapan sapi”, di Kangean ada lomba ketangkasan kerbau. Selain sapi, masyarakat Kangean juga memelihara kerbau yang bisa dibilang tidak ada di Pulau Madura.

Hal ini diyakini terkait dengan kebiasaan kerbau berkubang di lumpur. Di Kangean yang tanahnya subur, sangat mudah ditemukan genangan lumpur, sedangkan di Pulau Madura umumnya tandus.

Kesamaan breed sapi ini dengan breed kerbau didasarkan pada budaya pertanian. Keduanya awalnya berfungsi untuk menghibur orang dan seiring berkembangnya mereka, memunculkan simbol seperti harga diri dan kebanggaan bagi pemilik sapi atau kerbau.

persamaan hak

Dengan perbedaan tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa Kangean adalah bagian dari Madura. Bahasa dan budaya Kangean masih merupakan bahasa Madura dengan aksen yang berbeda.

Dari segi etos kerja dan vitalitas, masyarakat Kangean tidak jauh berbeda dengan masyarakat Madura pada umumnya yang ulet dan pekerja keras.

Secara tradisional, orang Kangean bekerja sebagai nelayan dan petani. Anda tahu perahu dan laut. Begitu juga dengan harga diri dalam keluarga yang ditetapkan oleh seorang wanita (istri) sebagai “mahkota” yang kehormatannya harus dijaga dan dijaga.
Secara agama, masyarakat Pulau Kangean semuanya pemeluk agama Islam, dan sistem pendidikan pesantren masih menjadi “idola” masyarakat untuk membesarkan anak-anaknya.

Oleh karena itu, tidak heran jika hampir semua desa di Kangean menemukan lulusan pesantren, khususnya Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Kabupaten Situbondo. Nama ulama besar dan terkemuka yang juga pendiri pondok pesantren Salafiyah Syai’iyah yaitu KHR As’ad Syamsul Arifin menempati lubuk hati masyarakat Pulau Kangean.

Meski mayoritas Muslim Kangean menganut paham Ahlussunnah Waljamaah yang identik dengan Nahdlatul Ulama (NU), tak sedikit pula warga Kangean yang menganut organisasi Muhammadiyah.

Sejauh ini perbedaan tersebut tidak mempengaruhi kerukunan dan toleransi meskipun ada perbedaan waktu Idul Adha sebelum 1443 Hijriyah.

Pemahaman akan perbedaan dan persamaan antara penduduk Pulau Madura dan Pulau Kangean dapat dijadikan sebagai dasar refleksi dan pandangan terhadap proses pembangunan di masa yang akan datang.

Kaya akan potensi alam dan budaya, Kangean harus terlibat langsung dari perencanaan hingga pelaksanaan program agar memiliki masa depan di sektor pariwisata. Pembangunan Pulau Kangean tidak bisa dipaksakan hanya oleh kepala daerah di Kota Sumenep tanpa memahami apa yang diinginkan warga Pulau Kangean. (bagaimana)

Source: kliktimes.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button