Demokrasi Bergaya Muhammadiyah - Solopos.com - WisataHits
Jawa Tengah

Demokrasi Bergaya Muhammadiyah – Solopos.com

SOLOPOS.COM – Arif Yudistira (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Gawe Muhammadiyah sudah lengkap (Perayaan besar Muhammadiyah telah usai). Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah ke-48 telah usai. Kini Muhammadiyah dan Aisyiyah kembali berkarya untuk bangsa dan alam semesta.

Tema Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah ke-48, Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta, sepenuhnya termasuk dalam agenda Kongres.

Promosi Angkringan Omah Semar Solo: Tempat nongkrong unik punya menu Wedang Jokowi

Agenda Muktamar Muhammadiyah ke-48 tidak hanya pemilihan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PP). Kongres juga merumuskan agenda strategis dan membahas isu-isu dan masalah nasional.

Haedar Nashir dan Abdul Mu’ti, dua ulama dan ulama, kembali memimpin Muhammadiyah. Terpilihnya Ketua Umum dan Sekjen PP Muhammadiyah melalui tahapan yang telah ditentukan oleh Panitia Pemilihan memberikan inspirasi dan pencerahan terkait proses demokrasi yang sedang berlangsung di Muhammadiyah.

Jurnalis veteran Dahlan Iskan mengagumi demokrasi di Muhammadiyah. Dia merenungkan dan bertanya apakah mungkin memperkenalkan sistem pemungutan suara universal ala Muhammadiyah untuk pemilihan tingkat negara bagian di Indonesia, seperti pemilihan presiden. Kita tahu bahwa pemilihan dan pemilihan presiden kita terlalu berdarah.

Sistem demokrasi di Muhammadiyah bukanlah demokrasi hanya suara. Peraih suara terbanyak dalam pemilihan tidak serta merta menjadi pimpinan PP Muhammadiyah. Di Muhammadiyah, etos kepemimpinan adalah etos pengabdian.

Tidak ada gunanya menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah. Perebutan jabatan dilarang dalam demokrasi Muhammadiyah. Ahmad Dahlan Rais selaku ketua panitia seleksi dalam wawancaranya dengan majalah tersebut At-Tanwir (2022) menjelaskan bahwa Muktamar Muhammadiyah menggabungkan sistem pemilihan dan permusyawaratan.

Pertimbangan ini sekarang mulai menghilang dalam demokrasi kita. Dahlan mengatakan bahwa dalam Muktamar Muhammadiyah yang terpenting adalah keteladanan. Siapapun yang menjadi pemimpin harus menjadi contoh bagi alam semesta dan bangsa Indonesia.

Demokrasi di Indonesia saat ini memang telah dibajak oleh para oligarki. Francisco Budi Hardiman (2013) dalam buku Di moncong oligarki menyatakan bahwa sistem demokrasi kita telah dirusak oleh oligarki. Oligarki membiarkan demokrasi menutup pintu dan akses kepada calon-calon pemimpin terbaik Indonesia. Mereka dikalahkan oleh popularitas, uang dan kekuasaan.

Partai-partai politik yang seharusnya memberi contoh dan contoh demokrasi yang baik justru merusak dan membajaknya. Kekuasaan yang seharusnya mempengaruhi pemenuhan hak minoritas dan perwujudan keadilan sosial sulit dipahami.

Demokrasi di Muhammadiyah telah memberikan contoh kepada kita bahwa “tidak ada” yang utama dalam demokrasi, tetapi agenda kebangsaan dan kerja kemasyarakatan adalah wadah gerakan Muhammadiyah.

Mentalitas para pemimpin Muhammadiyah adalah mentalitas untuk mengambil sikap tetapi mentalitas untuk bekerja untuk kemanusiaan dan bangsa. Sepanjang sejarah Muhammadiyah, para pemimpin organisasi ini selalu menunjukkan mentalitas pengabdian dan kerja tanpa pamrih yang ditunjukkan dari waktu ke waktu. Mentalitas seperti inilah yang telah membentuk kiprah Muhammadiyah, dari pusat hingga cabang, selama satu abad.

damai dan sukacita

Muktamar Muhammadiyah ke-48 yang baru saja berakhir menunjukkan wajah demokrasi Muhammadiyah. Demokrasi Muhammadiyah adalah demokrasi yang menggembirakan. Tidak ada serangan tim, tidak ada kampanye, tidak ada serangan fajar.

Yang tersisa adalah wajah-wajah gembira para peserta kongres yang bersorak dari Sabang sampai Merauke. Mereka datang dengan penuh perjuangan, rela dan memiliki semangat dakwah Muhammadiyah yang memabukkan. Tidak ada bentrok atau lempar kursi dalam Muktamar Muhammadiyah yang baru saja berakhir.

Semuanya damai dan teratur. Sistem voting yang digunakan pemungutan suara elektronik juga tidak mengubah pola dan karakter demokrasi di Muhammadiyah. Semuanya tertib dan damai.

Ketertiban dan kedamaian ini menunjukkan watak Muhammadiyah hingga kini dalam dakwah. Muhammadiyah selalu memasang wajah teduh. Khotbah lembut tanpa menyakiti. Khotbahnya sopan, tapi tidak lembut.

Dakwah Muhammadiyah selalu identik dengan pelukan, bukan fitnah, apalagi menyingkirkan yang tidak setuju. Muhammadiyah mencakup semua. Partai politik juga didukung. Pada pembukaan Muktamar Muhammadiyah di Stadion Manahan Kota Solo, ada fakta menarik bahwa Muhammadiyah dihadiri oleh para petinggi partai politik dan politisi.

Di antaranya Puan Maharani, Erick Tohir, Zulkifli Hasan, Airlangga Hartato, dan Ganjar Pranowo. Kedatangan para politisi di Muktamar Muhammadiyah membuktikan bahwa Muhammadiyah bukanlah anti partai politik atau politik itu sendiri.

Muhammadiyah mencakup semua orang, termasuk partai politik. Dakwah Muhammadiyah yang elegan inilah yang mencerminkan gerakan ini. Muktamar Muhammadiyah ke-48 menunjukkan kepada dunia bahwa hakikat dakwah berbeda dengan hakikat politik.

Dakwah itu keren, meliputi dan merangkul. Saling adu jotos, saling sikut dan saling bunuh karakter bukan bagian dari demokrasi Muhammadiyah. Demokrasi Muhammadiyah keren dan mengedepankan demokrasi. Partai politik harus belajar dari Kongres Muhammadiyah yang baru saja selesai.

Teladan dan terkemuka

Muktamar Muhammadiyah di Kota Solo juga menunjukkan bahwa Muhammadiyah selalu didahulukan dalam memberikan keteladanan. Hampir di setiap lokasi konvensi terdapat relawan yang bersedia mendampingi dan memfasilitasi para muktamirin dan para penggembira ke tempat-tempat yang mereka tuju.

Mereka adalah para remaja dan pelajar yang tergabung dalam panitia SalaMu. Anda juga bisa melihat kerja para relawan Green Muktamar setiap saat membersihkan dan merapikan seluruh arena konferensi dan tempat pameran.

Kerja diam dan kerja sukarela di Muhammadiyah adalah urutan hari ini. Dakwah Muhammadiyah seringkali tenang dari kebisingan dan silau kamera. Muhammadiyah lebih memilih bekerja dalam diam daripada pamer dan pamer di dunia yang sibuk ini.

Apa yang dilakukan anak-anak muda yang tergabung dalam Relawan Muktamar Hijau memberi kita pelajaran berharga tentang kerelawanan yang saat ini semakin sepi dan hampir habis. Pragmatisme dan oportunisme kini merebak di hampir setiap bidang kehidupan, membuat mentalitas dedikasi dan kerja tanpa pamrih hilang.

Proyek-proyek yang diperhitungkan, manipulatif, dan materialistis telah menggerus dan menghancurkan kebersamaan, kepedulian, dan kepekaan kita terhadap lingkungan. Relawan Green Muktamar membuka hati kita tentang pentingnya mengaktifkan dan membuka mata kita untuk menjadi sukarelawan dan menjaga lingkungan kita.

Muhammadiyah tanpa berteriak-teriak tentang isu lingkungan justru telah menunjukkan aksi nyata dunia dan mencontohkan konferensi hijau tanpa meninggalkan sampah dan mencemari lingkungan.

Akhirulkalam, Muktamar Muhammadiyah tidak hanya berhasil memilih pemimpin masa depan, tetapi juga memberikan contoh yang baik dari demokrasi Indonesia, yang erat kaitannya dengan musyawarah untuk mufakat, sejuk dan damai. Ini harus diwujudkan dalam praktik demokrasi kita. Sayang sekali demokrasi kita tidak memikirkan Muhammadiyah.

(Esai ini dimuat di Harian Solopos edisi 3 Desember 2022. Penulis adalah kader Muhammadiyah dan pembawa acara Pondok Filsafat di Kota Solo.)

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button