Cerita Gudeg, kuliner khas Jogja dari zaman kerajaan Mataram - WisataHits
Yogyakarta

Cerita Gudeg, kuliner khas Jogja dari zaman kerajaan Mataram

Cerita Gudeg, kuliner khas Jogja dari zaman kerajaan Mataram

Kisah Gudeg, makanan tradisional yang identik dengan kota Jogyakarta. Jogja adalah daerah istimewa yang terdiri dari cerita dan cerita budaya yang berbeda.

Kebanyakan orang di Indonesia mengenal Jogja dengan berbagai nama kota, dari kota pelajar, Kota Budaya, Kota Pahlawan dan Kota Gudeg.

Kata terakhir adalah pepatah paling dikenal publik. Jogja sebagai kota Gudeg telah menjadi slogan yang didasarkan pada promosi kota wisata dengan warisan kuliner yang kaya.

Gudeg, makanan nangka khas Jogja, sepertinya menarik untuk kita telusuri sejarahnya. Bagaimana bisa Jogja disebut kota Gudeg kalau belum ada yang memberi nama? Siapa sebenarnya yang memberi nama ini?

Baca juga: Dewi Sri, Mitos Kepercayaan Rakyat Jawa meminimalisir gagal panen

Salah satu jawaban atas pertanyaan ini adalah bahwa Jogja membuka kawasan wisata pada tahun 1950-an. Namun menurut sejarahnya, makanan pedas sudah ada jauh sebelum tahun 1950 dan menjadi makanan khas yang digandrungi masyarakat Jogja.

Kuliner Gudeg ternyata sudah ada sejak masa kejayaan Mataram Kuno hingga Mataram Islam. Makanan legit yang berbahan dasar daun pisang merupakan makanan pokok yang tidak mengenal kasta.

Karena Gudeg tidak pernah sepi peminatnya, makanan ini sepertinya juga tidak banyak dipilih Lidah. Pasalnya, semua orang bisa merasakan hangatnya, tidak hanya keluarga kerajaan tapi juga keluarga rakyat biasa.

Sejak keberadaan Gugup Jogja membuatnya terkenal di berbagai negara sebagai kota wisata kuliner legendaris, ASEAN menganugerahi Jogja predikat pada tahun 2018 Kota Budaya ASEAN (Kota Budaya ASEAN).

Kisah Gudeg sudah ada di Jogja sejak masa kejayaan Mataram

Menurut Primastuti Nur Malinda dalam catatan berjudul: “Gudeg: Antara Identitas dan Barang” (2021), gudeg merupakan makanan tradisional yang terbuat dari nangka dan memiliki rasa manis yang khas Lidah Jogja.

Meski sejarah asal muasal makanan pedas di Jogja tidak jelas, namun beberapa ahli sejarah meyakini bahwa makanan pedas ada di tanah Sultan Agung sebagai jajanan khas sejak masa kejayaan Mataram.

Hal ini terlihat dari beberapa riwayat Mataram yang menyebutkan panas sebagai santapan sehari-hari masyarakat Jogja. Antara lain terdapat dalam manuskrip-manuskrip kuno berjudul serat centhini, nama gudeg ditulis empat kali. Pertama pada pupuh 157 (Dhandhanggula) baik 16-20.

Menurut naskah serat centhini Gudeg adalah makanan yang berasal dari penjual nasi pada pertunjukan wayang.

Pelanggannya adalah orang biasa dan tidak memiliki prestise feodal. Namun karena cita rasanya yang asli dan sesuai dengan lidah keraton, gudeg menjadi makanan yang sering menjadi sajian istimewa pada masa kejayaan Mataram.

Makanan oleh pejabat Mataram

Dalam catatan sejarah, para pejabat Mataram mengklaim bahwa gudeg adalah sajian istimewa bagi tamu kerajaan. Tapi sebenarnya bagus meninggalkan oleh bahasa rakyat jelata, bukan oleh raja-raja. Meski demikian, para pejabat feodal memaksa Mataram untuk melakukan pemanasan.

Hal ini terlihat pada Pupuh 234 Dhandhanggula keduanya 40-44. Ayat ini menyebutkan bahwa ketika Mas Cebolang dan keempat muridnya singgah dan beristirahat di rumah Pangeran Tembayat, jelmaan Tembayat menyajikan banyak makanan di atas meja, salah satunya adalah gudeg.

Baca juga: Kisah Tahun Baru Imlek: Tradisi Tionghoa dari Cerita Rakyat Legendaris

Selain kesan hangat sebagai hidangan baru di meja Mataram, juga menandakan kualitas hangat sebagai sajian kuliner yang mewah, terlihat dari cara penyajiannya.

Pelayan Mataram dengan hati-hati memasak dan menyajikan gudeg. Bahkan, mereka menyajikannya hangat dengan piring, meja, dan sendok alas meja Spesial.

Gudeg selalu disajikan pagi-pagi sekali. Orang suka makan panas untuk sarapan, rasa manis dan tekstur nangka yang lembut mungkin atau mungkin tidak meningkatkan pencernaan. Konon setelah makan sarapan gudeg, meski di pagi hari, tidak menyebabkan sakit perut. pagi buta.

Ada dua jenis kehangatan yang disukai pejabat Mataram, Gudeg Mangar dan Gudeg Sambal Batos. Kedua jenis gudeg itu boleh dihidangkan oleh para dayang istana untuk tamu istimewa yang membayar upeti.

Tetapi sejarah dicatat karena berbeda LidahTamu Mataram dari kalangan Eropa kurang begitu menyukai sajian khas alias gudeg itu.

Kuliner Gudeg menjadi identitas budaya di Jogja

Meski Gudeg sudah ada sejak Mataram jaya, namun kuliner khas tersebut nampaknya menjadi sesuatu yang digemari para penikmatnya. sah yang seharusnya merasa bahagia. Karena kuliner gudegnya, jogja punya nilai plusJogja memiliki hangatnya apa yang bisa menjadi identitas budaya.

Gudeg menghidupkan Jogja Kota budaya ramah kuliner. Dengan ini, kota tersebut menempati destinasi alias penyuka wisata wisatawan dalam berburu jajanan (kuliner) khas daerah.

Gudeg menjadi tujuan utama para pecinta kuliner manis dan gurih ketika datang berkunjung Mengunjungi jogja

Baca juga: Sejarah Wonosobo, kota bekas pemukiman tentara Diponegoro

Kuliner gudeg berhasil menjadi makanan favorit banyak orang. Tidak hanya penduduk setempat, tetapi juga beberapa dari mereka berasal dari komunitas asing. Mereka terkesan dengan rasanya yang manis, gurih, namun tetap gudeg enak dan enak.

Cita rasa jogja yang panas begitu terkenal hingga ada orang dari jogja yang memberanikan diri untuk membuka usaha warung panas di bandung. Kisah ini seperti yang ada di koran Algemeen Indian Dagblad de Preangerbode 1950-an.

Surat kabar tersebut menampilkan iklan warung Gudeg yang ikonik di Jalan Wastukencana Bandung, Jawa Barat. Bahkan berjualan makanan khas Jogja di warung ini menjadi tempat jualan gudeg pertama di Jawa Barat. (Erik/R7/HR-Online/Editor-Ndu)

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button