Banjir, manifestasi bunuh diri ekologis - WisataHits
Jawa Tengah

Banjir, manifestasi bunuh diri ekologis

Banjir, manifestasi bunuh diri ekologis

BANJIR yang melanda Semarang dan pantai utara (Pantura) Jawa Tengah serta kota-kota besar lainnya menunjukkan betapa parahnya kerusakan alam. Pulau Jawa sebenarnya telah menjadi pulau kota. Mulai kota Jabodetabek, Bandung Raya, Kedungsepur, Joglosemar, melewati Gerbangkertosusila hingga Malang Raya.

Dengan jumlah penduduk lebih dari 150 juta jiwa atau hampir 60 persen penduduk Indonesia, pulau Jawa sudah terbebani. Selain daya dukung lingkungan yang rusak parah, banjir dan bencana lainnya adalah konsekuensi logis yang harus ditanggung pulau ini.

Ibarat penyakit, banjir besar yang terjadi setiap tahun di musim penghujan merupakan komplikasi. Selama ini obat-obatan yang ditawarkan hanya seperti pereda panas tanpa menyembuhkan akar penyakitnya. Penawarnya hanyalah pemompaan sederhana dan normalisasi aliran. Sebenarnya, ini adalah penyakit yang rumit.

Komplikasi banjir disebabkan oleh banyak faktor. Mulai dari penurunan muka air tanah, perubahan dan alih fungsi lahan, sungai yang tidak normal, drainase yang volumenya tidak cukup menampung air, kerusakan lingkungan di pantai utara Jawa Tengah dan sebagainya.

Sederhananya, air memiliki jalurnya sendiri, baik mengalir dari atas maupun melalui air hujan. Yakni, merembes ke dalam tanah dan mengalir melalui sungai dan drainase menuju terminal akhir di laut. Jika saluran air terganggu, pasti akan mandek di suatu tempat menunggu untuk perlahan-lahan mengalir. Namun, karena volume debit yang tidak mencukupi dari sungai dan infiltrasi, itu dibanjiri untuk waktu yang lama. Jika volume banjir besar dan lama, bencana banjir akan terjadi.

Pemerintah kota dapat menjalankan simulasi. Ada data curah hujan, data drainase dan volume sungai, data konversi lahan, data kerusakan lingkungan pantai utara, data penurunan muka air tanah dan sebagainya. Kondisi lima atau sepuluh tahun lalu bisa dibandingkan dengan simulasi komputer sederhana dan foto udara dari drone.

Dari simulasi ini, akar penyebabnya ditemukan. Layaknya seorang dokter, simulasi ini merupakan diagnosa dengan menggunakan data yang akurat dan valid. Jika diagnosisnya benar, obat yang ditawarkan juga benar. Komplikasi ini akibat sadar atau tidaknya kita terhadap “bunuh diri” seiring dengan perusakan lingkungan.

Mulai dari membuang sampah rumah tangga ke sungai, konversi lahan yang tidak terkendali, pengeboran air tanah, konversi mangrove tepi pantai menjadi tambak dan area bisnis lainnya dan lain sebagainya. Orang yang membuang sampah misalnya, hanya merasa melakukan hal kecil karena kantong plastiknya hanya ada satu. Namun, dia lupa bahwa ribuan orang berpikir seperti ini pada saat yang bersamaan. Ini membuat sungai terlihat seperti asbak raksasa.

Demikian juga pengeboran air tanah dalam, alih fungsi lahan, pembukaan hutan, pemadatan bukit, dll dilakukan secara bersama-sama. Padahal, Tuhan sudah mengatur agar air tumpah dari atap-atap kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Malang dan sebagainya. Namun, secara umum sungai-sungai di kota-kota besar tersebut kini dangkal, menyusut dan penuh sampah.

Di negara maju, sungai tetap terjaga kebersihannya. Selain itu, saluran airnya sangat luas sehingga bisa dijadikan arena syuting kejar-kejaran mobil antara penjahat dan aparat keamanan. Berbagai kabel (telepon) atau pipa air minum dll juga bisa diletakkan di saluran air yang besar dan lebar ini.

Tak kalah penting, Pemkot bisa menyediakan ruang terbuka minimal 30 persen. Juga diidentifikasi keberadaan danau atau waduk yang ada untuk direvitalisasi kembali. Selain sebagai tempat penampungan air, juga dapat digunakan sebagai arena wisata (termasuk wisata sungai) yang hasilnya juga dapat digunakan sebagai biaya perbaikan atau pemeliharaan danau/sungai.

Penegakan hukum juga harus tegas dan “kejam” terhadap pelanggaran tata ruang. Semarang telah kehilangan setidaknya tujuh kelurahan karena tekanan dari mal dan pusat bisnis lainnya. Selain mengurangi daerah tangkapan air, pusat komersial ini biasanya menyedot air tanah yang dalam dan hampir tidak memiliki drainase yang memadai. Hal yang sama berlaku untuk perumahan.

Berbagai bangunan yang tidak sesuai peruntukannya harus dilawan dengan gencar, seperti pembongkaran puluhan vila liar di Puncak, Jawa Barat. Di sisi lain, pelanggaran tata ruang juga dilakukan oleh masyarakat biasa. Lurah dan camat seharusnya yang paling tahu pertama kali, misalnya saat mendirikan bangunan di atas sungai atau tanggul rel kereta api. Jika pemantauan ini dilakukan secara terus-menerus, tidak akan terjadi penumpukan ratusan bangunan liar di tempat-tempat berbahaya seperti bantaran sungai dan rel kereta api atau kawasan sekitar waduk/situasi.

Tentu saja, jika melihat uang yang harus dikeluarkan akibat banjir saat ini yang konon mencapai puluhan miliar bahkan triliunan rupiah, tidak ada alasan untuk mengatakan tidak ada uang dalam hal yang saya lakukan. disebutkan di atas. Artinya, mau tidak mau triliunan rupiah harus dikeluarkan saat banjir melanda.

Pertanyaannya, apakah tidak bisa dibalik sekarang, lebih baik sebelum banjir datang, apakah pemerintah kota mengeluarkan uang untuk (setidaknya) melaksanakan program-program tersebut? Komitmen secara alami meningkat dengan gaji yang tinggi dan kinerja puncak dicapai dengan sanksi yang berat. Sudah waktunya, sadar atau tidak sadar, bahwa banjir adalah manifestasi dari “bunuh diri” ekologi kolektif. Alam kita telah runtuh sehingga air tidak menemukan jalan yang semestinya, yaitu sungai, rembesan dan lautan.

*) ,

Anggota Forum Pengurangan Risiko Bencana Jawa Tengah, mengajar teknik lingkungan dan tata kota

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button