Bamsoet menyelesaikan PhD di PPHN - WisataHits
Jawa Timur

Bamsoet menyelesaikan PhD di PPHN

INFO NASIONAL – Ketua MPR Bambang Soesatyo untuk terakhir kalinya memberikan bimbingan dan menyampaikan hasil penelitian disertasinya kepada promotor Prof. Ahmad M Ramly dan ko-promotor Dr. Ari Zulfikar.

Dengan topik disertasi untuk mahasiswa S3 Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran dengan judul “Prinsip-Prinsip Haluan Negara (PPHN) Sebagai Payung Hukum Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan dalam Menghadapi Indonesia Emas”, Bamsoet memiliki berbagai institusi seperti BRIN, Lemhanas , Bappenas dan penelitian di lima kedutaan besar negara sahabat seperti Republik Rakyat China (RRC), Rusia, Singapura, Irlandia dan Jepang sebagai objek penelitian.

Dalam disertasinya, berdasarkan penelitian dari berbagai lembaga dan dari beberapa negara, Bamsoet melihat benang merah bahwa tidak ada negara yang berhasil dalam melaksanakan roda pembangunan, baik fisik (infrastruktur), sumber daya manusia, sumber daya alam, ideologi, ekonomi dan lain-lain tanpa perencanaan yang baik, konsisten dan berkesinambungan dari satu periode kepemimpinan ke periode berikutnya.

Dalam disertasinya, Bamsoet juga memaparkan berbagai alternatif bentuk dan landasan hukum bagi PPHN, berikut ulasan lengkap pro dan kontranya.

Bamsoet mengatakan, setelah menelaah berbagai alternatif payung hukum bagi PPHN dalam penelitian disertasinya, ia menemukan konsep hukum yang paling pragmatis dan progresif tentang bentuk dan landasan hukum bagi PPHN tanpa perubahan, yaitu berupa undang-undang berdasarkan konsensus atau konvensi ketatanegaraan. dengan perkembangan penerapan teori hukum transformatif Prof. Ahmad M. Ramly dan Teori Hukum Pembangunan Prof. Mochtar Kusumaatmaja, yang jika dilihat dari segi sejarah dan penjabarannya tidak dimaksudkan sebagai “teori” melainkan sebagai “teori” konsep” perkembangan hukum, dimodifikasi dan diadaptasi dari teori Roscoe Pound ‘Hukum sebagai alat rekayasa sosial’.

“Jadi PPHN harus menjadi arah sekaligus pedoman pembangunan nasional, selaras dengan perkembangan zaman, untuk menjawab tantangan Revolusi Industri 4.0, Society 5.0, SDGs dan MDGs, serta menyongsong Indonesia Emas 2045”, ujar Bamsoet usai memberikan bimbingan dan menyerahkan hasil penelitian disertasinya kepada promotor Prof. Ahmad M Ramly dan ko-promotor Dr. Ary Zulfikar, di Jakarta, Sabtu, 17 September 2022.

Wawasan lain adalah bahwa MPR RI dapat mengeluarkan ketetapan (tap) MPR yang beschikking (menetapkan) bukan regling (mengatur). Misalnya, keputusan MPR tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 39(1)) atau dalam hal MPR memutuskan untuk tidak memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 39(2) ).

Contoh lain: dalam prakteknya, setelah reformasi, MPR RI juga mengeluarkan Ketetapan MPR yaitu Ketetapan MPR RI No. 1/2003, mengkaji substansi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI dari tahun 1960 sampai dengan 2002.

Karena itu, tidak benar, kata Bamsoet, anggapan MPR tidak bisa lagi menerbitkan TAP MPR. Konsensus oleh Konvensi Konstitusi dapat dituangkan dalam bentuk Beschikking (tanpa amandemen konstitusi) dalam ketetapan MPR yang mengamanatkan pengesahan undang-undang tentang PPHN yang lex specialis (bersifat khusus). Jadi, untuk mengubah atau mencabutnya harus melalui Konvensi Konstitusi lagi, dengan melibatkan semua lembaga tinggi negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Mengapa? Karena kalau hanya diatur dalam undang-undang biasa, rentan ‘ditorpedo’ oleh Perppu atau bisa diuji materiil oleh MK,” kata Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan mahasiswa pascasarjana hukum UNPAD itu menyatakan, bentuk atau payung hukum yang ideal bagi PPHN memang TAP MPR, yang reguler melalui amandemen konstitusi.

Namun, karena situasi politik tidak memungkinkan untuk mengubah konstitusi, terobosan baru harus dicari. Yaitu dengan menggunakan instans MPR yang tersedia, yaitu TAP MPR (beschikking). Agar konsensus “Konvensi Konstitusi” mencakup semua lembaga tinggi negara atau lembaga negara yang langsung diatur atau memiliki kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, seperti MPR RI, DPR RI, DPD RI, Lembaga Kepresidenan, BPK, MA, MK dan KY mendapatkan sayap yang pas dan kuat.

“Pilihan mana yang dipilih, kita serahkan sepenuhnya pada keputusan Sidang Paripurna MPR, menyusul keputusan Rapat Gabungan MPR RI, yang menerima hasil Dewan Peninjau MPR beberapa waktu lalu. Termasuk keputusan pembentukan panitia ad hoc yang akan diambil dalam rapat paripurna MPR. Oktober mendatang,” kata Bamsoet.

Lebih lanjut Ketua DPR RI ke-20 menjelaskan bahwa UU PPHN ditetapkan oleh Presiden dan DPR RI sebagai bagian dari pelaksanaan Amanat Mufakat tentang PPHN sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR RI. Karena bersifat lex specialis, setiap perubahan UU PPHN di masa mendatang harus didahului dengan konsensus. Model legislasi ini tidak memerlukan perubahan konstitusional. Model ini lebih merupakan implementasi dari Konstitusi.

Mantan Ketua Komite III DPR Bidang Kehakiman, HAM, dan Keamanan itu menjelaskan, pada dasarnya setiap negara di dunia memiliki rencana pembangunan jangka panjang. Ada 8 tahun, 10 tahun, 15 tahun, bahkan 100 tahun. Jepang dan Irlandia misalnya, PPHN bersifat fleksibel dan dinamis. Sedangkan China memiliki PPHN dengan rencana jangka panjang hingga 100 tahun, bersifat tegas dengan sanksi jika pemerintah tidak melaksanakan PPHN yang telah ditentukan.

Sejak awal kemerdekaan, lanjut Bamoset, para pendiri negara secara sadar telah mempersiapkan kepemimpinan negara sebagai rencana jangka panjang. Bung Hatta yang hadir dalam rapat Komite Nasional Pusat (KNP) mengeluarkan Surat Pernyataan Wakil Presiden nomor X (ex nomor karena tidak bernomor) pada tanggal 16 Oktober 1945.

Ditegaskan bahwa sebelum MPR dan DPR terbentuk, TNK dipercayakan dengan kekuasaan legislatif dan ikut menentukan arah negara, yang kemudian dikenal dengan Pola Pembangunan Nasional Sedunia.

“Meskipun mempertahankan kemerdekaan belum berjalan dengan baik karena situasi perang, keberadaan kepemimpinan negara menjadi awal yang baik bagi perjalanan pembangunan Indonesia,” kata Bamsoet.

Kepala Badan Penegakan Hukum, Hubungan Pertahanan dan Keamanan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) menambahkan, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pada masa Orde Baru, Indonesia memiliki Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk satu periode. waktu 25 tahun kemudian terungkap dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Hasil pembangunan Orde Baru selama 32 tahun secara konsisten dan berkesinambungan juga dibagikan.

Namun sayang, sejak masa reformasi, pola pembangunan berubah karena Indonesia tidak lagi memiliki arah negara. Pola pembangunan didasarkan pada visi dan misi Presiden, visi dan misi Gubernur, serta visi dan misi Bupati/Walikota terpilih.

“Dampak negatifnya adalah tidak adanya kesinambungan pembangunan antara satu periode pemerintahan dengan periode pemerintahan berikutnya, serta tidak adanya keselarasan antara pembangunan pusat dan daerah serta antara satu daerah dengan daerah lainnya,” kata Bamsoet.

Wakil Ketua Pemuda Pancasila sekaligus Wakil Ketua FKPPI menyatakan bahwa keberadaan PPHN sangat penting mengingat RPJP (rencana pembangunan jangka panjang) Indonesia akan berakhir pada tahun 2025, sehingga Indonesia membutuhkan arahan negara kepada Indonesia untuk memimpin emas menuju 2045.

PPHN menjadi payung hukum transformatif dalam memastikan pembangunan berkelanjutan, terutama dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0, Society 5.0 dan berbagai tantangan global lainnya. Sehingga kita bisa mewujudkan Indonesia Emas 2045 bahkan tidak menjadi Indonesia Perunggu, apalagi Indonesia Perak.

Menurut Bamsoet, keberadaan PPHN sebagai visi dan misi negara akan menjadi acuan bagi calon presiden, calon gubernur, dan calon bupati/walikota dalam merumuskan visi dan misinya saat maju di Pilkada 2024 dan Pilkada serentak 2024.

Hal ini akan menjamin kesinambungan pembangunan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi untuk penggantinya dan keselarasan antara pembangunan pusat dan daerah serta antara satu daerah dengan daerah lainnya.

“Jadi tidak akan ada proyek yang menemui jalan buntu, tidak ada uang yang terbuang percuma,” kata Bamsoet.

Source: nasional.tempo.co

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button