Api di langit yang tak kunjung padam, Wisata Bojonegoro penuh sejarah - WisataHits
Jawa Timur

Api di langit yang tak kunjung padam, Wisata Bojonegoro penuh sejarah

Api membara di antara tumpukan batu hitam yang tersusun tidak beraturan. Api terus menyala meskipun hujan turun di kegelapan periode Isya. Di sekitar api tercium bau belerang alias belerang yang membakar hidung.

Penduduk setempat menyebutnya Kayangan Api atau Api Abadi. Disebut Api Abadi karena apinya tidak pernah padam dan terus menyala di antara bebatuan. Secara administratif terletak di Desa Sendangharjo, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro.

Situs ini terletak di tengah hutan milik Perhutani Bojonegoro, atau sekitar 1,8 kilometer dari poros kecamatan yang menghubungkan kecamatan Ngasem dan Dander. Sekarang berjarak sekitar 14 kilometer barat daya Kota Bojonegoro, diukur dari pusat keramaian.

Di sekeliling pusat api terdapat empat candi berwarna yang dijaga oleh arca Dwarapala. Di sisi kanan api sekitar 100 meter ada genangan air keruh. Airnya juga berbusa dengan bau belerang yang membakar hidung. Pemandangan air yang menggelegak disebut Air Mancur Blekutuk. Ini karena terkadang ada suara air mendidih. Terlihat mendidih tapi tidak terlalu panas. Tinjauan ilmiah, Kayangan Api merupakan fenomena geologi alam berupa keluarnya gas dari dalam tanah, yang disulut oleh api sehingga terbakar.

Kisah Surga Api

Fenomena alam yang langka ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pariwisata, begitu pula cerita masa lalu tentang sejarah masa lalu. Setidaknya menjadi daya tarik bagi masyarakat Bojonegoro, juga dari luar daerah ini.

Cerita juga berkembang di masyarakat desa Sendangharjo tentang seorang tokoh bernama Empu Supagati alias Mbah Pande atau orang yang ahli membuat senjata seperti keris, pedang dan sejenisnya. Sedangkan senjata yang dibuat Empu Supagati adalah keris pusaka luk besar telu blong pok gonjo.

Lalu siapa Empu Sugati? Dalam cerita disebutkan, pria ini adalah salah satu prajurit Kerajaan Majapahit yang melarikan diri dan tinggal di tepi hutan di Bojonegoro. Karena kepiawaiannya dalam membuat senjata, kerajaan Majapahit mengangkatnya menjadi raja kerajaan dan memberinya gelar Ki Kriya Kusuma. Kuil Empu Supagati sekarang berada di sebelah timur Kayangan Api.

Kayangan Api juga tidak pernah sepi. Pada siang hari, wisatawan yang datang pada siang hari biasanya membawa umbi-umbian, jagung dan sejenisnya untuk dibakar. Kayangan Api seperti tungku besar dengan gundukan batu hitam: “Kami datang ke sini dengan jagung dan membakarnya,” kata Sapto, 32, seorang siswa di sebuah sekolah di Kota Bojonegoro.

Kayangan Api juga lebih menyenangkan di malam hari. Tempatnya di dalam hutan, sepi, kadang digunakan anak muda untuk mendirikan kemah dan bermalam. Wisatawan menggunakan api di kegelapan malam untuk berfoto selfie. Tak jarang sejumlah orang datang hanya untuk bermalam di tepi hutan untuk tirakat (perenungan). Mereka biasanya datang pada bulan Muharram (bulan Suro) dan tinggal selama dua sampai tiga hari.

Kayangan Api-Bojonegoro pada malam hari.  Api yang tidak pernah padam.  Sering digunakan untuk camping dan menginap (Foto: Sujatmiko/Ngopibareng.id) Kayangan Api-Bojonegoro pada malam hari. Api yang tidak pernah padam. Sering digunakan untuk camping dan menginap (Foto: Sujatmiko/Ngopibareng.id)

Wisata Kayangan Api mulai tertata dengan baik

Wisata Kayangan Api kini perlahan mulai menata diri. Sebuah tiang akan dibangun di tempat masuk dari jalan poros kecamatan menuju kawasan wisata. Ada tarif Rp 8500 per orang untuk masuk. Area di sekitar langit api juga ditata. Pohon-pohon besar seperti jati tua, dirawat dan dibungkus kain putih. Sehingga terlihat rapi. Empu Supagatis Petilasan juga didesain seperti taman.

Tumpukan besar batu bata ditemukan di timur daerah itu enam sampai tujuh tahun yang lalu. Arkeolog dari Universitas Indonesia melakukan penelitian. Menggali dua kali. Salah satu hasil dari tumpukan batu bata yang besar kemungkinan adalah sisa-sisa bangunan yang diyakini milik tentara Majapahit, termasuk Empu Supagati, yang singgah di kawasan hutan di Kayangan Api. Sayangnya, penelitian yang didukung oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bojonegoro itu belum bisa dilanjutkan.

Kayangan Api juga sering digunakan untuk acara-acara penting. Rutin misalnya untuk melakukan fire fire untuk XV. Pekan Olahraga Nasional yang diadakan di kota Surabaya sebelum tahun 2000 dan juga pada Hari Raya Bojonegoro (20 Oktober) selalu ada arak-arakan dari Kayangan Api menuju Balai Kabupaten.

Menurut Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Bojonegoro, Moh Subeki, Kayangan Api tetap menjadi objek wisata. Setidaknya Kayangan Api menjadi salah satu paket kunjungan wisata, dari sekitar 12 tempat wisata yang tersebar di berbagai tempat di Bojonegoro. Seperti Kedung Maor, sumur minyak tua Wonocolo dan lain-lain. “Wisatawan tetap mendukung wisata alam di kabupaten ini,” ujarnya kepada ngopibareng.id dalam sebuah diskusi.

Dia berharap setelah pandemi, hotel dan restoran yang sepi akan sering dikunjungi dan diisi kembali.

Source: www.ngopibareng.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button