Tradisi Anggara Kasih di Cabeankunti, Cepogo, Boyolali: Cara Masyarakat Menjaga Sumber Air - WisataHits
Jawa Tengah

Tradisi Anggara Kasih di Cabeankunti, Cepogo, Boyolali: Cara Masyarakat Menjaga Sumber Air

RADARSOLO.ID – Lereng Merapi-Merbabu sarat dengan tinggalan arkeologis yang terbalut tradisi yang mengakar kuat. Seperti mata air Nawu Anggara Kasih di desa Cabeankuntì, Cepogo. Kini telah menjelma menjadi potensi wisata baru yang diisi dengan kirab budaya dan pasar jajanan lokal.

Cabeankunti Petirtaan dibangun pada masa klasik Jawa Tengah yaitu sekitar abad VIII – X M. Hal ini terlihat dari motif hias pada Sendang Lerep. Kemudian latar belakang religi terlihat pada ukiran hewan di Sendang Lerep yang diyakini sebagai Tantri. Atau cerita binatang mengandung ajaran moral dalam agama Buddha.

Jadi sumber Pitu (tujuh) ini difungsikan sebagai bangunan suci. Jadi siapa yang membangun situs ini? Ada dua kemungkinan. Yakni tokoh mulia yang sudah pensiun atau pertapa yang ingin mencapai moksha. Beruntung, situs Tirtaan cukup terawat baik oleh warga maupun BPCB Jateng.

Situs Sendang Pitu memang unik. Setiap mata air memiliki pagar batu candi. Ada tujuh mata air yang berjejer dari barat ke timur. Warga dari dusun yang berbeda akan rukun. Mereka membawa nasi ambengan, nasi golong, bekal sambal dan lauk pauk lainnya. Nasi kenduri dan lauk pauknya ditaruh di nampan atau diayak. Lalu makan bersama.

Anggara Kasih berasal dari penanggalan Jawa dan berarti Selasa Kliwon. Setiap Selasa warga Kliwon bergotong royong dan gotong royong untuk menyucikan sumbernya. Tradisi ini diwariskan dari generasi ke generasi dan bertahan hingga saat ini. Masyarakat tidak hanya membersihkan sumbernya, tetapi juga mengajak dan makan bersama.

Sekretaris Desa (Sekdes) Cabean Kunti Sulistyo menjelaskan, tradisi ini merupakan ungkapan rasa syukur masyarakat. Bahkan menjadi simbol penyucian diri jasmani dan rohani dengan mensucikan semua sumber air di desa Cabeankunti. Setiap pukul 07.00, warga bergotong royong mengeringkan mata air, mencabut rumput, dan membersihkan kawasan.

“Untuk melestarikan sumbernya, Anggoro Kasih, Nawu Sendang dan penyucian sedang dilakukan. Maka warga menggelar festival di Sendang Pitu, di padepokan, termasuk di masjid-masjid di masing-masing dusun. Itu dilakukan setiap delapan Kliwon setiap Selasa,” jelasnya, Jumat (2/11).

Kini tradisi Nawu Sendang telah berkembang menjadi potensi wisata desa. Yaitu dengan mengadakan kirab budaya dan pasar makanan tradisional. Standarnya warga membuat tumpeng kembul bujana tumpeng. Karnaval Tumpeng dibarengi dengan atraksi seni budaya lokal seperti Topeng Ireng hingga Jaranan. Hal ini dikarenakan Selasa Kliwon merupakan Neptunus tertinggi dalam kepercayaan orang Jawa.

Nilai kasih sayang juga dimaknai sebagai pola perilaku yang penuh kasih sayang. Tradisi masyarakat ini dikemas lebih menarik lagi. Wisata budaya berbasis tradisi ini diharapkan dapat digenjot. Selain itu keberadaan Sendang Cabeankunti sebagai sumber air bersih telah menciptakan mata pencaharian. Tidak hanya untuk warga desa Cabean Kunti, tapi juga untuk desa lainnya. Menariknya, tradisi ini telah menarik wisatawan dari luar daerah. Seperti dari Bali beberapa waktu lalu. (rgl/adi)

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button