Temui Frans Seda, putra Flores, yang menguasai keuangan Indonesia - WisataHits
Jawa Timur

Temui Frans Seda, putra Flores, yang menguasai keuangan Indonesia

Pada akhir pemerintahan Orde Lama, situasi ekonomi Indonesia sudah tertata kekacauan. Pada tahun 1960-an, kondisi ekonomi ditandai dengan meningkatnya inflasi dan melebarnya defisit anggaran akibat keuangan pemerintah yang tidak terencana.

Pada pertengahan tahun 1966, Indonesia termasuk dalam kategori negara hiperinflasi dengan tingkat inflasi sebesar 650%. Keadaan ini didahului oleh stagnasi ekonomi. Situasi ekonomi di Indonesia mungkin yang terburuk sepanjang masa.

Dalam situasi ini, muncul sosok yang bertugas menstabilkan perekonomian. Tokoh ini adalah Frans Seda, yang pernah menjadi Menteri Keuangan pada kabinet Ampera I dan II dari tahun 1966 hingga 1968.

Meski baru menjabat selama dua tahun, peran Frans Seda dalam meningkatkan keuangan publik sangat terasa. Dia berhasil menurunkan inflasi secara drastis, mereformasi organisasi Perbendaharaan dan memperkenalkan sistem anggaran berimbang dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pemuda dan Aksi Politik Frans Seda

Franciscus Xaverius Seda atau lebih dikenal dengan Frans Seda lahir pada 4 Oktober 1926 di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Ia belajar di Xaverius Muntilan College dan Sekolah burger Belanda (HBS) di Surabaya. Sementara itu, ia memperoleh gelar sarjana ekonomi dari Katolieke Economische Hogeschool, Tilburg, Belanda, pada tahun 1956.

Ia sebelumnya aktif sebagai anggota Tentara Rakyat Indonesia Kebangkitan Sulawesi (KRIS) pada masa perjuangan kemerdekaan dan sebagai anggota Batalyon Paraja/Tentara Rakyat GRISK/Tentara Rakyat periode 1945-1950.

Ia juga pernah menjadi anggota Kantor Pusat Biro Perjuangan di Yogyakarta yang diterjunkan ke Flores dan Surabaya. Ia kemudian juga menjabat sebagai Ketua Pemuda Indonesia di Surabaya, sebagai anggota Panitia Pembubaran Negara Jawa Timur dan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) Jawa Timur.

Berkat keahlian ekonomi dan organisasinya, Frans Seda mampu mengisi berbagai posisi strategis. Pengalaman di organisasi ini didapatnya ketika menjadi anggota Panitia Kongres Pemuda di Surabaya dan anggota Kongres Katolik Seluruh Indonesia di Yogyakarta (1949-1950).

Beliau juga merupakan anggota Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda dan pendiri/pengelola Ikatan Pelajar Katolik Indonesia (IMKI) di Belanda (1950-1956).

Pada masa pemerintahan demokrasi di bawah Presiden Soekarno, Frans Seda juga merupakan sosok yang patut diperhitungkan. Hal ini terlihat dari beberapa jabatan strategis yang dijabatnya, seperti Menteri Perkebunan (1964-1966) dan Menteri Pertanian tahun 1966.

Sekadar informasi: Frans Seda baru berusia 38 tahun saat diangkat menjadi menteri perkebunan. Hal ini membuktikan bahwa Frans Seda menjadi sosok penting bagi pemerintah di usia muda.

Memerangi hiperinflasi dan menstabilkan ekonomi

Perjalanan Perbendaharaan Frans Seda dimulai dengan pengangkatannya sebagai Menteri Keuangan di kabinet Ampera I. Ia diangkat pada 28 Juli 1966 di bawah kepemimpinan Presiden Suharto saat itu.

Saat menjadi menteri keuangan, Indonesia menghadapi situasi ekonomi inflasi 650%. Dalam kondisi ekonomi seperti itu, Frans Seda, sebagai menteri keuangan, bergantung pada perubahan arah kebijakan pembangunan nasional.

Awal tahun 1960-an merupakan masa kemerosotan ekonomi di Indonesia. Era ini dimulai dengan inflasi yang masih tinggi. Pada saat yang sama, defisit anggaran melebar.

Defisit ini diatasi melalui pencetakan uang, sebuah kebijakan yang justru memperburuk kondisi ekonomi. Indonesia juga terlilit hutang yang cukup besar. Cadangan devisa bahkan tidak cukup untuk menutupi kebutuhan impor.

Salah satu penyebab defisit APBN yang besar adalah tingkat belanja yang sangat tinggi, terutama untuk program-program politik. Beberapa item yang memiliki prioritas politik dan menghabiskan banyak uang adalah untuk operasi keamanan, operasi di Irian Barat dan Malaysia.

Pada tahun 1965 defisit APBN meningkat menjadi 985,5 miliar rupee atau 40% dari total anggaran negara. Sementara setahun sebelumnya jumlahnya hanya di kisaran 116,4 miliar rupiah.

Parahnya lagi, defisit ditutup dengan cara yang salah, yakni dengan mencetak uang. Pada tahun 1965 jumlah uang beredar melonjak menjadi Rp 2,713 triliun atau 4,2 kali lipat dari tahun sebelumnya. Pada triwulan pertama tahun 1965 saja, jumlah uang beredar meningkat menjadi 5,317 triliun rupee.

Menghadapi kondisi tersebut, Frans Seda segera melakukan revisi anggaran yang sebelumnya hampir semua urusan negara dilakukan tanpa perencanaan anggaran yang matang.

Secara umum, kebijakan untuk menjaga stabilitas ekonomi adalah dengan pengendalian anggaran, pengendalian perbankan, pemulihan ekonomi pasar, perhatian pada sektor ekonomi, dan merangkul negara-negara Barat untuk menarik modal asing.

Di bidang anggaran, Frans Seda yang meluncurkan konsep anggaran berimbang. Dalam penyusunan anggaran tahun 1967, ia menyusun anggaran yang ditaksir pendapatannya mencapai Rp 81,3 miliar. Anggaran ini akan disesuaikan dengan upaya. Selama masa jabatannya, diketahui bahwa ada pengeluaran “rutin” dan “pembangunan”.

Untuk meredam hiperinflasi, Frans Seda juga menaikkan harga BBM dari Rp4 menjadi Rp16 per liter. Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan yang tidak populer dan menuai protes. Namun, ia dan tim ekonominya tidak gentar dan tetap berpegang pada rencana menstabilkan perekonomian Indonesia.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai menteri keuangan, Frans Seda dikelilingi oleh para ekonom. Misalnya Prof DR Widjojo Nitisastro, Prof DR Sumitro Djojohadikusumo dan Prof DR Mohammad Sadli serta ekonom muda seperti Emil Salim.

Kerja keras Frans Seda dan tim bisnisnya membuahkan hasil. Pada akhir tahun 1968 inflasi Indonesia telah turun menjadi 112%. Faktanya, angka ini masih terlalu tinggi. Namun, mengingat upaya stabilisasi ekonomi yang dilandasi oleh kondisi politik dan ekonomi yang tidak stabil, hal ini merupakan capaian yang sangat positif.

Fondasi ekonomi yang dicanangkannya terus menstabilkan situasi ekonomi Indonesia, bahkan setelah dia tidak lagi menjadi Menteri Keuangan. Pada akhir tahun 1969, inflasi Indonesia telah turun menjadi satu digityaitu 9,9%.

Peraturan Organisasi Kementerian Keuangan

Selain menerapkan kebijakan disiplin anggaran yang dikenal dengan anggaran berimbang, Frans Seda juga melakukan pembenahan organisasi Perbendaharaan, yang kemudian disebut Perbendaharaan.

Di awal masa jabatannya, ia mengubah Direktorat Jenderal Sumbangan Negara (DDIN) menjadi Direktorat Jenderal Padjak (DDP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Pajak (DDBT). Dia kemudian mengubah Direktorat Jenderal Anggaran dan Belanja (DDUAP) menjadi Direktorat Jenderal Anggaran (DDA).

Transformasi kedirektoran ini ia lakukan sehubungan dengan pelaksanaan Dwi Dharma dan Tjatur Karya Kabinet Ampera yang menjadi prasyarat pelaksanaan pembangunan nasional di segala bidang.

Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, diperlukan peningkatan dan pengendalian pengelolaan, pengorganisasian, dan pengembangan departemen yang menjamin koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi yang efektif dan efisien.

Frans Seda juga menyadari bahwa setiap pengeluaran pemerintah harus digunakan dan dipertanggungjawabkan secara tepat. Oleh karena itu, diperlukan suatu badan yang secara efektif dan efisien menjalankan tugas pengawasan dan pemeriksaan keuangan negara.

Untuk memenuhi persyaratan tersebut, dibentuk unsur pelaksana teknis baru di lingkungan Kementerian Keuangan, yaitu Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan.

Dia melanjutkan reorganisasi Perbendaharaan. Pada tahun 1967, ia mengajukan usulan restrukturisasi organisasi Departemen Keuangan kepada Ketua Presidium Kabinet Ampera melalui surat Menteri Keuangan No. D.15.1.2.39 tanggal 23 Mei 1967.

Usulan ini membenahi Direktorat Jenderal Anggaran (DDA) dengan menambah dua direktorat, yaitu Direktorat Pengelolaan Perbendaharaan. Kemudian memindahkan Direktorat Perjalanan dari Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara ke DDA.

Kemudian ia juga merombak organisasi Ditjen Padjak dengan menambah direktorat baru yaitu Direktorat Perundang-undangan. Kemudian dilakukan pembenahan Ditjen Bea dan Cukai dengan membagi Direktorat Kepabeanan menjadi Direktorat Impor dan Direktorat Ekspor.

Frans Seda juga melakukan reorganisasi Direktorat Jenderal Keuangan, memecah Direktorat Mata Uang dan Perbankan menjadi Direktorat Mata Uang Dalam Negeri dan Direktorat Perbankan.

Di akhir masa jabatannya sebagai menteri keuangan, Frans Seda masih menjabat. Hal ini ditunjukkan dengan penguatan Inspektorat Jenderal (Idjen) dan penataan Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara (DDPKN).

Frans Seda mengambil segala langkah untuk menata kembali organisasi ini guna meningkatkan kapasitas dan mobilitas aparatur Perbendaharaan.

Bekerja sampai gelap

Fakta bahwa Frans Seda tidak lagi menjabat sebagai menteri keuangan tidak berarti bahwa peran Frans Seda dalam dunia politik dan ekonomi Indonesia lemah.

Prestasinya dalam mengawal stabilisasi perekonomian Indonesia memberinya kepercayaan baru untuk mengisi kursi menteri di Kabinet Pembangunan I, sebagai Menteri Perhubungan. Dia memegang posisi ini dari 6 Juni 1968 hingga 28 Maret 1973.

Sebagai Menteri Perhubungan, ia mencanangkan perintis program aeronautika dan maritim di berbagai wilayah Indonesia, khususnya di kawasan timur Indonesia, serta di beberapa kawasan wisata unggulan. Ia juga memprakarsai pembangunan Bandara Soekarno-Hatta untuk menggantikan Bandara Kemayoran.

Setelah menjabat Menteri Perhubungan, Frans Seda masih dipertimbangkan di pemerintahan. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah jabatan yang dipercayakan kepadanya, misalnya sebagai Duta Besar Republik Indonesia di Brussel untuk Masyarakat Ekonomi Eropa, Kerajaan Belgia dan Luksemburg dari tahun 1973 hingga 1976.

Ia kemudian juga diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia dari tahun 1976 hingga 1978 dan anggota Dewan Pertimbangan Pembangunan Indonesia Timur (DP-KTI) di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1996.

Ketika Presiden Soeharto digantikan oleh BJ Habibie, Frans Seda dipercaya sebagai penasihat ekonomi. Selain itu, pada tahun 1999 juga dipercayakan sebagai penasihat ekonomi Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri, yang kemudian menjadi Presiden ke-5 Republik Indonesia.

Selain ekonomi, Frans Seda juga menaruh perhatian besar pada dunia pendidikan. Beliau adalah salah satu pendiri Universitas dan Yayasan Katolik Atma Jaya, sebuah lembaga pendidikan Katolik untuk seluruh anak Indonesia.

Pada tahun 2009, salah satu putra terbaik Indonesia meninggal pada usia 83 tahun. Hingga akhir hayatnya, Frans Seda dikenal sebagai orang jujur ​​yang selalu memberikan yang terbaik dan serius dalam melakukan sesuatu. Hal ini menjadikannya salah satu putra terbaik di Indonesia.

Source: katadata.co.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button