Senja tukang becak di kota bandung - WisataHits
Jawa Barat

Senja tukang becak di kota bandung

bandung

Becak merupakan moda transportasi tradisional yang masih bertahan meskipun diburu waktu. Sulit ditemukan, hanya segelintir yang bisa ditemukan di pelosok kota Bandung.

Biasanya becak atau ojek berhenti di pasar dan pusat keramaian lainnya. Nasib penarik becak saat ini sudah tidak sebaik dulu lagi. Mereka tetap di tempat untuk memenuhi permintaan.

Menurut Sudarsono Katam Kartodiwiro dalam bukunya yang berjudul Bandung – Sekilas Peristiwa di Mata Seorang Filatelis, Wisata Sejarah, Becak disebut sebagai moda transportasi tradisional terakhir yang muncul di Kota Bandung. Sebelum becak muncul, jalanan Kota Bandung sudah penuh dengan gerobak, andong, andong dan lain-lain.

Diakui Sudarsono, keberadaan becak di Kota Bandung memang belum banyak dikenal. Dikatakannya, menurut Pan Schomper, anak LC Schomper, dalam bukunya tahun 1996 berjudul Selamat Tinggal Hindia Belanda, Janji Pedagang Telur, becak sudah ada di Bandung sejak tahun 1940-an.

Walikota Bandung Oekar Bratakoesoemah yang menjabat dari tahun 1947 hingga 1949 tewas ditikam tentara Jepang di Logeweg, sekarang Jalan Wastukencana, saat sedang naik becak. Oekar Bratakoesomah saat itu hendak menghadiri pertemuan Chou Sang-in atau Dewan Penasihat Militer Pusat Jepang. Peristiwa penikaman ini terjadi pada malam 7 November 1944.

Setelah becak, tidak ada lagi alat transportasi tradisional di Kota Bandung. Wajah kota Bandung telah berubah. Jalanan mulai dipenuhi kendaraan pribadi dan kendaraan umum berbasis online lainnya.

Salah seorang tukang becak di Jalan Aceh, Kota Bandung, Edi mengeluhkan persaingan transportasi online. Dia mengatakan dia tidak memiliki penumpang sepanjang hari.

“Sekarang sepi, sehari paling banyak menarik satu sampai tiga orang. Sekarang sama sekali tidak menarik,” kata Edi kepada detikJabar di Jalan Aceh, Sabtu (12/3/2022).

Penarik becak berusia 68 tahun itu tampak menyerah. Usianya yang masih muda membuatnya sulit untuk mencari pekerjaan lain. Edi sudah menarik becak sejak tahun 1980-an. Saat ditanya penghasilannya sebagai penarik becak, ia hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Kadang ada yang kasih makan di hari Jumat. Susah juga hidup tiap hari,” kata Edi.

Penghasilan Edi sebagai penarik becak tidak menentu, kadang Rp 10.000, Rp 50.000. Pria asal Cicalengka itu terkadang menolak pulang jika tak punya uang. Edi tinggal bersama teman-temannya di Jalan Bali.

“Ya, terkadang kami hanya menumpang di kios. Di sini hanya ada dua pesepeda,” kata Edi.

Karena penghasilannya tidak seberapa, Edi sering ditopang oleh anaknya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun, Edi juga mengaku memiliki tanggung jawab lain sebagai orang tua dan suami. Ini harus bekerja.

“Dia lebih banyak tidur daripada tarik. Sekarang susah,” kata Edi.

Pesan senada disampaikan Yadi, penarik becak yang mangkal di Pasar Kosambi Bandung. Padahal, penghasilan Yadi lebih tinggi dari Edi. Yadi ditujukan untuk pengunjung pasar. Setiap hari ada penumpang, meski hanya satu atau dua.

“Pagi hari mereka harus berangkat subuh. Penumpangnya harus satu atau dua orang,” kata penarik becak berusia 53 tahun itu.

Tarif becak bervariasi berdasarkan jarak. Biasanya Rp 10.000 sampai Rp 15.000. Bahkan, Yadi mengaku pernah mendapat penumpang yang hanya membayar Rp 7.000.

“Daripada tidak punya lagi. Dalam sehari bisa jadi Rp 50.000 mah. Soalnya kadang bisa sampai lima jurus,” kata pria asal Sumedang itu.

“Sedikit demi sedikit saya harus menafkahi keluarga. Sekarang susah cari kerja, mau kerja apalagi sudah tua,” tambah Yadi.

Yadi mengaku becak tersebut sudah terbengkalai. Dulu penghasilannya sebagai penarik becak sangat berbeda dengan sekarang.

(selatan/mso)

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button