NU, Pesantren, dan Landasan Peradaban Fiqih - WisataHits
Yogyakarta

NU, Pesantren, dan Landasan Peradaban Fiqih

TIME INDONESIA, BANYUWANGI – Sepertinya tidak ada habisnya berbagai masalah sosial dan kemanusiaan yang melanda negara kita. Hampir setiap hari, masyarakat kita dipenuhi dengan informasi yang beragam dan kontroversial. Mulai dari kekerasan dan tawuran antar sesama warga bangsa, kekerasan dalam rumah tangga, narkoba yang semakin merajalela, hoax yang mendarah daging, korupsi yang tiada henti, hingga ujaran kebencian yang melanda berbagai media sosial. Isu-isu ini menimbulkan tanda tanya besar di beberapa bagian masyarakat. Pesantren sebagai subkultur Indonesia prihatin dengan hal ini.

Pesantren dengan khazanah klasik seperti Kitab Kuning sebagai salah satu instrumen penting dituntut untuk berperan aktif dalam menjawab permasalahan yang ada di masyarakat saat ini.

Apa yang dirasakan pesantren ternyata menjadi perhatian Nahdlatul Ulama (NU). Baru-baru ini Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), melalui Duta Ahlinya, Ulil Abshar Abdalla, aktif menggelar pembudayaan Halaqah Fiqh di berbagai pesantren di Indonesia. Menurut Gus Ulil, panggilan akrabnya, sekitar 300 halaka akan digagas PBNU dalam lima bulan ke depan. Diakhiri dengan diselenggarakannya Konferensi Internasional Fiqh Peradaban di Jakarta, yang mempertemukan para ulama terbesar dunia saat ini untuk membahas berbagai isu kemanusiaan dalam rangka tatanan dunia global baru dan kontemporer.

Berbicara tentang peradaban tentunya tidak lepas dari keberadaan pesantren dan lembaga NU di Indonesia yang akrab dengan kekayaan keilmuan Islam atau kitab kuningnya. Ada penilaian yang agak skeptis terhadap keberadaan dan peran Kitab Kuning dalam menjawab dan memecahkan masalah kontemporer. Sikap skeptis ini dapat diterima jika pola pemahaman dan pemikiran ketika mempelajari kitab kuning tidak menyimpang dari pola lama, yang diulang hanya dari sisi materi (qauli) dan tanpa upaya memperkaya teori dan metodologi pemikiran (manhaji). .

Jika boleh jujur, para ulama klasik mampu mengibarkan bendera peradaban Islam hingga mencapai masa keemasannya, salah satunya karena kemampuan berinovasi dan berimprovisasi pemikiran di bidang teori dan metodologi. Kejeniusan para ulama klasik yang seolah-olah dihidupkan kembali oleh berbagai halaqah ini.

Wawasan sejarah tentang pentingnya hal ini diusung oleh generasi muda NU pada tahun 1980-an dengan mengadakan Halaqah di Pondok Pesantren Watucongol Muntilan Magelang pada tanggal 15-17 Desember 1988. Halaqah ini bertema “Studi Kontekstual Kitab Kuning”. Mereka yang berbicara pada kesempatan langka ini tidak memenuhi syarat. Mereka adalah KH Abdurrahman Wahid, KH Ali Yafie, KH Sahal Mahfudz dan KH M. Tholchah Hasan.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam kesempatan ini menyatakan bahwa kitab kuning, sebagai karya referensi keilmuan bagi pesantren, seharusnya lebih merupakan pendekatan garis horizontal yang menawarkan pendekatan-pendekatan ritual dan sosial. Dalam hal ini, peningkatan kajian kitab kuning sebagai pendekatan sumber masalah dapat diikuti dengan metode muzarah, yang tidak hanya mencari jawaban atas suatu masalah global, yang implikasinya seringkali tidak dipertimbangkan dengan hal-hal lain yang terkait. aspek, seperti dalam Bahtsul Masa ‘il yang terjadi di beberapa pesantren. Terlebih lagi, muzarah yang dimaksud dimodifikasi sedemikian rupa sehingga mampu merangkai konsep-konsep konkrit yang menjadi acuan yang memadai bagi perkembangan permasalahan sosial, sehingga pada gilirannya terjadi pergeseran pengetahuan dari tekstual ke kontekstual.

Beberapa petunjuk yang dihasilkan dalam Halaqah antara lain: pertama, teks kitab klasik harus dipahami dalam konteks sosial historisnya; kedua, mengembangkan kemampuan mengamati dan menganalisis teks buku; ketiga, memperbanyak muqabalah (perbandingan) dengan kitab-kitab lain, baik di lingkungan mazhab Syafi’i maupun di luar mazhab; keempat, intensifikasi diskusi intelektual antar pakar disiplin ilmu terkait materi yang disajikan dalam kitab-kitab klasik; kelima, mampu mengkonfrontir kajian teks kitab kuning dengan wacana aktual menggunakan bahasa komunikatif.

Mengikuti Gus Dur, KH Husein Muhammad (2019) menegaskan bahwa ada hal yang sebenarnya sangat berharga bagi pengembangan akademik di pondok pesantren dan belum mendapat perhatian serius dan luas saat ini, yaitu membaca ulang (i’adat al-qira’ ah) kitab kuning melalui ushul fiqh (teori hukum Islam) atau kaidah fiqih (maksim hukum) tentang isu-isu terkini. Tidak banyak kitab kuning di pesantren yang dikenal dalam bidang ini, selain Waraqat karya Imam al-Haramain (419-478 H), Latha’if al-Isyarah dan Jam’u al-Jawami’ karya Tajuddin al-Subki (wafat 769). H) dan Ashbah wa al-Naza’ir oleh Imam al-Suyuthi. Namun, kajian buku-buku ini masih sangat eksklusif dan sepertinya hanya digunakan sebagai pelengkap.

Menurut Husein Muhammad, menurut profesor Universitas Kairo Ali Sami al-Nasyar, ushul fiqh sebenarnya merupakan metode kajian ilmiah yang paling akurat, bahkan lebih “realistis” daripada logika Aristotelian, sehingga lebih sesuai dengan tuntutan kemanusiaan ilmiah. Ibrahim Madzkur, yang juga guru besar di Universitas Kairo, mengatakan bahwa ushul fiqh lebih berkelanjutan dan sejalan dengan empirisme rasional ilmu pengetahuan modern.

Pernyataan ahli dapat dimengerti. Usul fiqh memperkenalkan kita pada metodologi penelitian (al-manhaj al-istiqra’i) yang merupakan pendekatan untuk menemukan titik temu antara argumen normatif (hujjah naqliyyah) dan realitas empiris. Tentu saja, ini akan menjadi dasar penting untuk memecahkan masalah dan menemukan kenyataan. Ilmu memang sesuatu yang berkembang dan berubah, bukan sesuatu yang diketahui dan tetap (ma yu’raf wa yutqan), juga bukan sesuatu yang mapan dan tidak dapat dipatahkan.

Realitas kontemporer dewasa ini ditandai dengan perubahan yang cepat, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Pemikiran ilmiah, yang mengandalkan metode berpikir ilmiah dan empiris, memukau umat manusia dengan pengetahuan ilmiahnya yang beragam. Kemajuan pemikiran ilmiah tercermin dalam berbagai bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama. Perbatasan antar negara dan benua, dengan segala kemajuannya melalui ilmu pengetahuan, dapat diakses dengan mudah dan nyaris tanpa hambatan (global village), sehingga dunia seolah-olah semakin sempit dan kecil (small village).

Fakta lain yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa realitas sosial saat ini sangat plural bahkan multikultural. The Age of Society 5.0 adalah usia multifaset. Multi etnis, multi budaya, multi agama dan multi talenta. Tentu saja, pada saat seperti ini, tidak ada disiplin ilmu yang dapat berdiri sendiri untuk menyelesaikan masalah kemanusiaan global yang sedang menghancurkan umat manusia. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan sinergis yang berbeda untuk menyelesaikan masalah sosial-keagamaan dan kemanusiaan.

Menurut M. Amin Abdullah (2020), Guru Besar Filsafat Islam dan Kajian Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, seiring dengan perlunya apresiasi dan pengembangan dari segi metodologi keilmuan (manhaji), pemahaman ajaran Islam (baca: kitab kuning ) juga tentunya membutuhkan pendekatan yang beragam yang bersinergi dan bersinergi untuk menemukan bentuk interpretasi yang kontekstual, integratif, dan inklusif.

Isu-isu nasional dan kemanusiaan yang akut seperti tren korupsi masyarakat, meningkatnya prevalensi kekerasan di ruang publik dan pribadi, ujaran kebencian di media sosial, dan aksi radikalisme dan terorisme yang tak henti-hentinya memerlukan sikap yang arif dan bijaksana. Diperlukan upaya deradikalisasi narasi keagamaan oleh kalangan intelektual dan akademisi dengan mengutamakan pendekatan multidisiplin, interdisipliner, dan transdisiplin keilmuan. Diharapkan kerjasama di antara mereka akan mampu memecah kebuntuan permasalahan yang muncul di masyarakat. Dalam konteks ini, diperlukan pendekatan ilmiah yang multidisiplin, interdisipliner dan transdisipliner (MIT).

Urgensi pendekatan MIT ditunjukkan, misalnya – salah satunya – dalam merespon program vaksinasi massal intensif pemerintah sebelumnya Covid-19. Masalah awal yang dilontarkan masyarakat, khususnya bagi umat Islam, adalah status hukum vaksin yang akan disuntikkan secara nasional. Isu-isu sosial-kemanusiaan lainnya saat ini yang perlu ditangani misalnya, wisata halal, pantai berbasis syariah, wacana dan gerakan Khilafatul Muslim, fenomena mad rich, transaksi kripto, dan lain-lain. Dalam konteks ini, para ulama (baca: Kiai dan praktisi Bahtsul Masa’il) dapat secara bijak berkolaborasi dengan berbagai kalangan intelektual dari berbagai disiplin ilmu untuk memecahkan masalah yang berbeda ini.

Dari sini terlihat bagaimana pola pikir pemahaman kitab kuning yang dijunjung tinggi Pesantren mau tidak mau harus berkolaborasi dan bersinergi dengan pendekatan-pendekatan baru untuk memaknai realitas sosial yang begitu cepat berkembang.

Diharapkan melalui kontekstualisasi atau pembacaan ulang Kitab Kuning dan pendekatan MIT, landasan fikih peradaban akan mampu memutus mata rantai penafsiran keagamaan yang hanya berdasarkan makna tekstual, kaku dan kaku.

Jika model dan pola pikir tersebut dihargai dan dihadirkan, maka ketakutan akan penyebaran narasi keagamaan yang radikal secara tekstual dapat diminimalisir dan bergeser ke pinggiran (periferal wacana). NU dan Pesantren akan mampu memberikan kontribusi nyata dalam mewujudkan wacana besar fikih peradaban dalam kerangka pluralitas bangsa dan tatanan dunia global. Masalah hari ini bahkan lebih mudah untuk diidentifikasi dan dipecahkan. Di sini urgensi penalaran fikih peradaban dapat dilihat.

***

*)Oleh: Moh Nur Fauzi, SHI, MH; Dosen pada Program Studi Pengantar Studi Islam Fakultas Manajemen Pendidikan Islam Tarbiyah dan Keguruan IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi.

*) Penulisan opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis, bukan tanggung jawab penerbit timesindonesia.co.id

**) Bagian Opini TIMES Coffee atau TIMES Indonesia tersedia untuk umum. Panjang maksimum naskah adalah 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan resume singkat dengan foto diri Anda dan nomor telepon yang dapat dihubungi.

**) Naskah akan dikirim ke alamat email: [email protected]

**) Penerbit berhak untuk tidak mempublikasikan opini yang disampaikan jika tidak sesuai dengan prinsip dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Dapatkan update informasi harian terpilih dari TIMES Indonesia dengan bergabung di Grup Telegram TI Update. Suka, klik tautan ini dan bergabung. Pastikan Anda telah menginstal aplikasi Telegram di ponsel Anda.

Source: www.timesindonesia.co.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button