Kisah pengrajin tenun eceng gondok, pandemi belum terdampak, tapi harga bahan naik seiring harga bahan bakar - WisataHits
Yogyakarta

Kisah pengrajin tenun eceng gondok, pandemi belum terdampak, tapi harga bahan naik seiring harga bahan bakar

Sederet pengrajin menenun eceng gondok di sebuah rumah di Dusun Kenteng, Caturharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (9/8/2022). (Sumber: Kompas TV/Kurniawan Eka Mulyana)

penulis: Kurniawan Eka Mulyana | Penerbit: Edy A Putra

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV – Ginardi, pengrajin anyaman eceng gondok, berbagi dampak pandemi dan kenaikan harga BBM bersubsidi terhadap usahanya.

Nyanyian lagu Jawa terdengar dari pengeras suara alat perekam di salah satu sudut rumah di Dusun Kenteng, Caturharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dini hari, Kamis (9/8/2022).

Sinar matahari sesekali terpantul di riak air di saluran irigasi yang mengalir di depan rumah. Sementara itu, puluhan kerajinan anyaman eceng gondok yang dijemur di dekatnya terlihat memesona.

Bunyi knalpot mobil yang sering melintas tidak mengganggu aktivitas tiga perempuan dan empat laki-laki bertopi berkelahi dengan tongkat eceng gondok.

Sesekali mereka mengobrol dan bersenandung mengikuti irama lagu “Ojo Dibandingke” yang mengiringi mereka bekerja.

Tak jauh dari belasan, mungkin ratusan, kerajinan berbahan baku eceng gondok yang sudah jadi bertumpuk beberapa rumpun tangkai eceng gondok kering berwarna cokelat.

Sementara itu, di sisi kiri, tepat di samping tembok, terdapat semacam ember yang terbuat dari tong plastik berisi cairan berwarna putih. Di atasnya ada seng bergelombang, yang dipasang ke bawah.

Cairan berwarna putih merupakan zat antijamur yang digunakan untuk merendam atau merendam kerajinan anyaman yang telah melalui proses pengeringan dan Diploma.

Sedangkan seng bergelombang dipasang dengan tujuan untuk mengalirkan kendaraan yang direndam dalam cairan antijamur.

“Anda belum datang, Tuan Masih mengambil barang. Sama-sama Tunggu dulu,” kata istri Ginardi, pemilik bengkel eceng gondok, ramah.

Dia kemudian melanjutkan pekerjaannya sebagai penenun jadi dengan enam karyawannya.

Ginardi, penenun eceng gondok, angkat bicara soal dampak pandemi dan kenaikan harga minyak pemanas (BBM) bersubsidi terhadap usahanya. (Sumber: Kompas TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Jari-jarinya tampak gesit menyelipkan tangkai eceng gondok di antara anyaman. Ada juga yang menggunakan semacam jarum besar untuk membuat tali tas.

Ginardi datang saat adzan Zuhur. Truk pikap yang dikendarainya berisi cukup banyak kerajinan anyaman eceng gondok.

Keenam karyawan tersebut segera bangkit dan menuju mobil untuk menurunkan barang-barang kemudian kembali ke rumah masing-masing karena sudah memasuki jam istirahat makan siang.

Pria yang menggeluti eceng gondok sejak 1999 ini kemudian menceritakan bagaimana memulai usaha ini dan mampu mempekerjakan puluhan tetangganya.

Pandemi Covid-19 yang menjadi masa terberat bagi sebagian besar pelaku ekonomi tidak terlalu disesalkan Ginardi.

Selama dua tahun masa pandemi, usahanya tetap berjalan lancar, meski menerima banyak pesanan berkali-kali.

“Saat masa pandemi berjalan lancar, banyak pesanan. Tetapi keadaan menjadi tenang setelah pandemi berakhir. Sudah hampir dua bulan sejak Lebaran, agak sepi,” katanya.

Meski lolos dari cengkeraman pandemi, Ginardi mengaku tidak tahu bagaimana kenaikan harga BBM bersubsidi akan berdampak pada usahanya.

Saat ini stok sejumlah alat dan bahan yang digunakan dalam produksi masih mencukupi, antara lain lem dan antijamur.

Karena itu, dia tidak mengetahui harga bahan dan peralatan tersebut setelah harga BBM bersubsidi dinaikkan.

“Disini stok masih dikonsumsi sebelum harga BBM naik, jadi seperti lem, stok sudah banyak. Jadi saya tidak tahu apakah harganya akan naik atau tidak.”

“Biaya produksi kemungkinan akan naik karena transportasi (biaya) pemindahan bahan baku dari Tegal ke sini otomatis akan meningkat,” katanya.

Dia terdiam sejenak, lalu sepertinya mengingat sesuatu. Rupanya, dia ingat bahwa harga bahan baku untuk mengepang, yakni eceng gondok, sempat naik.

Sebelum kenaikan harga BBM bersubsidi, Ginardi membeli eceng gondok kering seharga Rp 5.500 seikat. Namun, pada pembelian terakhir, pemasok menaikkan harga menjadi Rp 6.000 per bundel.

“Oh iya seperti kemarin kemaren eceng gondok sebelum harga BBM naik Rp 5.500 ternyata setelah sampai disini baru pengiriman pertama di charge Rp 5.500.”

Selama ini Ginardi membeli bahan baku eceng gondok dari sejumlah daerah di luar Yogyakarta, seperti Ambarawa, Tegal, hingga Demak, Jawa Tengah.

Karena di daerah Yogyakarta bahan baku eceng gondok sudah tidak tersedia lagi.

Dari ketiga kawasan tersebut, eceng gondok dengan kualitas terbaik berasal dari Ambarawa. Namun, saat ini Ginardi tidak lagi membeli bahan baku dari Ambarawa karena persediaan yang menipis.

“Eceng ngambil dari Demak, Tegal waktu ngambil dari Ambarawa dulu. Tapi sekarang hanya Demak dan Tegal yang tersisa karena Ambarawa sudah dikosongkan untuk tempat wisata,” katanya.

Asli Tegal dan Demak, eceng gondok memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Untuk bahan baku yang berasal dari Tegal, ukurannya lebih panjang, katanya.

Sedangkan bahan baku Demak lebih kecil, namun lebih baik dari segi kualitas potong dan kebersihan.

“Yang panjang dari Demak. Tapi kualitas Demak masih kalah dengan Tegal.”

Seorang pegawai Ginardi melakukan proses pencelupan anyaman ke dalam cairan antijamur, Kamis (9/8/2022). (Sumber: Kompas TV/Kurniawan Eka Mulyana)

“Eceng gondok tegal kecil tapi bisa bersih. metode Pemasok Cuttingnya juga bagus karena saya ajar, jadi kualitasnya lebih bagus dari Demak,” lanjutnya.

Proses pembuatan

Berbekal bahan baku berupa tangkai eceng gondok kering, Ginardi kemudian mengolahnya menjadi kerajinan anyaman.

Setidaknya ada dua cara menenun, yaitu dengan eceng gondok keringTekan atau ratakan dan gunakan eceng gondok utuh.

Source: www.kompas.tv

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button