Hidup nomaden di tenda, pasangan ini mengajak anak muda untuk peduli lingkungan - WisataHits
Jawa Tengah

Hidup nomaden di tenda, pasangan ini mengajak anak muda untuk peduli lingkungan

semarang

Pasangan Kota Semarang, Pristiawan, 45, dan Dinda Wulandari, 33, siap meninggalkan hiruk pikuk kehidupan kota. Mereka lebih suka tinggal di tenda dan berpindah dari satu desa ke desa lain.

Para penggiat lingkungan tidak datang dari berkemah, mereka juga memberikan pendidikan bagi warga sekitar tempat mereka tinggal.

Mereka tinggal di Dusun Salaran di kaki Gunung Telomoyo, Getasan, Kabupaten Semarang. Tiga tenda terlihat di dekat lapangan Dusun Salaran. Tenda-tenda tersebut memiliki fungsi masing-masing yaitu sebagai tempat istirahat, menjamu teman-teman aktivis yang akan datang, dan juga dapur.

jika ketemu Detik Jawa Tengah, Pristiawan lesehan duduk di samping tenda dan memotong bambu untuk membuat bingkai lampion berbentuk huruf. Sementara istrinya berjuang di tenda dapur. Kondisi fisik Pristiawan tidak sempurna, kaki kanannya diamputasi akibat kecelakaan. Namun ia memiliki tekad untuk menyebarkan pengetahuan lingkungan yang ia ketahui melalui cara hidup nomaden.

“Jadi kami pindah dari satu kota ke kota lain, dari satu desa ke desa lainnya. Kami belajar bagaimana menerapkan gaya hidup ramah lingkungan, meminimalkan jejak ekologis, jejak karbon yang ditimbulkan oleh aktivitas hidup sehari-hari,” ujarnya saat ditemui Jawa Tengah di tendanya, Senin (8/8).

Sepasang suami istri asal Kota Semarang, Pristiawan (45) dan Dinda Wulandari (33) siap meninggalkan hiruk pikuk kehidupan kota.  Mereka lebih suka tinggal di tenda dan berpindah dari satu desa ke desa lain.Sepasang suami istri asal Kota Semarang, Pristiawan (45) dan Dinda Wulandari (33) siap meninggalkan hiruk pikuk kehidupan kota. Mereka lebih suka tinggal di tenda dan berpindah dari satu desa ke desa lain. Foto: Fishing Adhitya Purbaya/detikJateng

Yang mendorong Pristiawan adalah banyak anak muda di pedesaan yang berada tepat di sebelah hutan tetapi tidak tahu bagaimana menjaga alam. Bahkan, banyak yang tidak terbiasa dengan berbagai jenis pohon dan merasa canggung saat diminta menebang.

“Kemarin saya bertanya kepada anak-anak muda di sini tentang jenis-jenis pohon dan tumbuhan di sini, banyak yang belum tahu. Kemudian ternyata cara memegang cangkul yang aneh ketika ditanya cara memegang cangkul. Di beberapa desa masih banyak anak muda yang masih sehebat dulu waktu saya dekat Merapi,” ujarnya.

Menurut Pristiawan, fenomena ini tidak lepas dari perkembangan teknologi dan gaya hidup. Banyak anak dan remaja desa yang sibuk dengan gadgetnya, lalu pergi ke kota atau tempat lain untuk hang out di akhir pekan.

“Ya salah satunya main handphone. Main di luar juga jarang. Kami juga mengadakan workshop mainan tradisional, ternyata banyak yang belum tahu, ini di kampung. Contohnya gobak sodor (permainan tradisional). di Jawa Tengah) tidak tahu,” katanya.

Hal-hal seperti inilah yang menggerakkan Pristiawan dan para penggiat lingkungan karena merekalah orang-orang terdekat yang bisa menjaga lingkungan. Banyak kegiatan yang direncanakan, termasuk Festival Kamp Seni Hutan. Anak-anak di desa juga akan dikenalkan dengan tarian tradisional dan akan tampil disana.

Sepasang suami istri asal Kota Semarang, Pristiawan (45) dan Dinda Wulandari (33) siap meninggalkan hiruk pikuk kehidupan kota.  Mereka lebih suka tinggal di tenda dan berpindah dari satu desa ke desa lain.Sepasang suami istri asal Kota Semarang, Pristiawan (45) dan Dinda Wulandari (33) siap meninggalkan hiruk pikuk kehidupan kota. Mereka lebih suka tinggal di tenda dan berpindah dari satu desa ke desa lain. Foto: Fishing Adhitya Purbaya/detikJateng

“Kita akan mengadakan workshop pengelolaan sampah, rajut. Kemudian festival kamp seni hutan, pasar rakyat, pertunjukan seni budaya. Di pasar rakyat akan ada konsep kembali ke makanan nenek moyang, minim sampah plastik, menggunakan daun, bahkan meminimalisir sampah. Daripada pengelolaan sampah yang rumit, lebih penting masyarakat bisa kembali ke kebiasaan ekologis,” jelasnya.

Pristiawan juga menyoroti perkembangan industri pariwisata di Gunung Telomoyo. Menurutnya, pembangunan ini mengancam kelestarian hutan dan sumber air di sekitar gunung.

“Kalaupun keberadaan Hutan Telomoyo berdampak besar terhadap keberadaan Rawa Pening saat ini. Semua ini terkait, ada sekitar 14 sungai di Telomoyo yang mengalir ke Rawa Pening. Jika erosi dan tanah longsor terjadi di sini, dampaknya akan berkurang di sana. Tidak ada organisasi di hulu itu tentang bagaimana masyarakat harus menjaga dan melindungi hutan,” tambahnya.

Ia juga menyoroti perkembangan industri pariwisata yang terletak di sisi barat gunung. Bahkan konkretisasi atau pembangunannya sudah sampai di kawasan Pag Gedog. Jika tidak hati-hati, dikhawatirkan akan terjadi longsor.

Baca cerita lengkapnya di halaman berikutnya…

Source: www.detik.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button