Ekspedisi Gerakan Anak Negeri Tana Toraja (1) - WisataHits
Jawa Barat

Ekspedisi Gerakan Anak Negeri Tana Toraja (1)

Jelajahi dan nikmati nasi langka dan termahal di dunia “Pulu Mandoti”

Ekspedisi Gerakan Anak Nasional (GAN) ke-6 kali ini melakukan perjalanan ke Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Melintasi utara dan selatan, melintasi 16 kota/kabupaten. Kabupaten Tana Toraja, salah satu destinasi wisata dengan warisan budaya yang unik.

NIHRAWATI AS, Sulawesi Selatan

Pada hari pertama ekspedisi Anda akan belajar lebih banyak tentang kuliner khas Sulawesi Selatan. Makanan tradisional, sering disajikan saat menyambut tamu penting atau pada saat perayaan. Ke-12 peserta yang terdiri dari perwakilan seluruh media di bawah naungan Radar Bogor Group ini mulai memasuki kota Daeng ini dengan sarapan Coto Makassar.

Coto Makassar, biasanya disajikan di pagi hari. Kuah kental aneka bumbu campur daging sapi ini disandingkan dengan ketupat ini dinikmati di depan Universitas Hasanuddin. Coto Tamalanrea I. Jam menunjukkan pukul 9.00 WITA.

Saat matahari terbit, pemilihan daging biasanya tidak lengkap. Ketika rombongan tiba pilihannya juga minim. Harga per porsi Coto Makassar sangat ramah di kantong, hanya Rp 12.000 saja. Harga ketupat Rp 1.000/buah.

Makan Coto dilanjutkan dengan menyantap aneka kue khas Bugis Makassar, dua suku dominan di Sulawesi Selatan. Jamuan teman bernama Haryuli di rumahnya cukup lengkap. Dari barongko, kue yang terbuat dari pisang yang dibungkus daun dengan campuran telur, susu, gula dan santan. Jajanan ini sama-sama ditemukan di seluruh wilayah Sulawesi Selatan.

Kue ini dibuat khusus untuk acara-acara penting. Lalu ada katri sala, campuran kue manis dan nasi di bagian bawah. Kue ini juga ditemukan di daerah lain seperti Jawa Barat. Lalu ada spons Cukke. Disebut bolu cukke karena kue bolu dengan gula aren ini dikeluarkan dari cetakannya dengan cara cukke’ (dipotong) setelah dipanggang. Hidangan lainnya adalah buroncong (di Jawa Barat disebut kue pancong).

Ada juga jalangkote atau pastel. Saat di Sulawesi Selatan, makan jalangkote dengan kuah yang diencerkan. “Nama-namanya susah diucapkan,” kata Asep, content creator Pojoksatu yang berulang kali salah menyebut nama Barongko.

Jajanan khas ini juga disajikan di salah satu kafe Adapada yang menjual jajanan Bugis Makassar. Barongko tersedia lagi. Juga dengan tambahan Kue Taripang (Kue Gemblong).

Setelah perut kenyang di daerah Makassar, perjalanan hari pertama membawa kami ke Sulawesi Selatan bagian utara. Ikuti Maros, kembali melalui Bandara Sultan Hasanudiin lalu melewati Kabupaten dan Kepulauan Pangkajene (Pangkep).

Di wilayah 115 pulau ini terkenal dengan Ikan Bakar Bandengnya yang bernama Sop Saudara. Namun, saat makan siang usai, makanan tradisional Dange’ yang dijual di pinggir jalan Poros Pangkep-Barru juga menjadi pilihan.

Jajanan manis ini hanya dijual di daerah Pangkep Sulawesi Selatan. Puluhan kios berjejer di sepanjang jalan. Warung-warung kecil di lokasi ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Rasa yang unik menjadi satu hal yang membuat penjualan kue tradisional ini tidak kalah dengan kue-kue modern.

Terbuat dari tepung beras hitam, kelapa parut dan gula merah, kue ini dibuat dengan cara yang unik dan mudah. Cukup aduk lalu tuang ke dalam cetakan yang terlebih dahulu dibakar di atas kompor. “Hanya cetakan yang dibakar. Setelah panas maksimum telah dihapus, bahan ditempatkan dalam cetakan. Ini terlihat mudah. Tapi itu tidak harus terjadi jika tangan yang menanganinya berbeda,” kata Ibu Marni.

Harganya cukup murah, Rp 25.000 untuk 10 buah. Untuk menjaga dange tetap hangat, masukkan ke dalam rice cooker yang lebih hangat. Setelah mencicipi Dange’, perjalanan dilanjutkan melalui Kabupaten Barru dan Kota Pare-Pare. Di kota kelahiran Presiden BJ Habibie itu, ia sempat mencicipi durian sejenak di salah satu kafe tepi laut.

Kota yang terkenal dengan Tugu Cinta Sejati Habibie Ainun ini terkenal dengan kelezatan kuliner roti mantaonya. Tim ekspedisi tidak sempat mencobanya secara langsung, namun menjadi oleh-oleh karena bisa memakan waktu beberapa hari. Perjalanan yang semakin sore dilanjutkan menuju Enrekang. Kabupaten yang terletak di kaki Gunung Latimojong ini menjadi salah satu destinasi utama di hari pertama.

Mencapai daerah ini melalui Kabupaten Pinrang. Ada lagi makanan khas di daerah ini, yaitu “Nasu Palekko”. Namun, tawaran mencicipi Pulu Mandoti di Enrekang membuat para anggota ekspedisi siap mengosongkan perut. Meski hanya sekitar dua jam dari kota Pare-Pare, beberapa titik di jalan rusak parah sehingga membuat perjalanan terasa lama.

Waktu telah menunjukkan pergantian hari namun keseruan mencapai Dusun Kelimgua, Desa Botongan, Kecamatan Barakka tidak surut. Di kecamatan Barakka ini merupakan satu-satunya daerah tempat tumbuhnya beras termahal dan terlangka di Indonesia bahkan dunia.

Melewati Watch Hill, kurang lebih 10 km melalui kecamatan Barakka menuju Dusun Kelimgua. Untuk mencapai tempat itu, Anda harus mendaki jalan sempit dan gelap di sebelah kanan dan kiri ngarai. Tim enggan melanjutkan perjalanan meski dipandu oleh ponsel.

Dengan semangat team leader yang juga CEO Radar Bogor Group, Hazairin Sitepu bahwa hal-hal luar biasa harus menunggunya, akhirnya dia sampai di kediaman Pak Ansar Sayogia.Beras langka dan termahal di dunia Beras langka dan termahal di dunia “Pulu Mandoti”

Ada juga nasi ketan merah yang disebut Pulu Mandoti, meski masih pagi. Begitu juga dengan kopi khas Duri, suku di Enrekang ini membawa mata kembali membaca.

Pulu Mandoti harus dinikmati tanpa kuah. Meskipun beberapa kelompok sudah mencampurnya dengan sup yang ada di meja makan. Pulu mandoti disajikan dengan nasu likku (ayam dimasak dengan lengkuas). Atau kadang dinikmati dengan ikan teri dan sambal.

Padi Pulu Mandoti hanya tumbuh di dua wilayah di Enrekang, menurut Ansar. Padi langka ini tumbuh di desa Salukana, tidak jauh dari tempat tinggalnya. Rasanya lebih pulen dan harum, beda dengan nasi merah biasa. Harga langsung untuk petani Rp 70.000/liter. Sesuai dengan harga 10 liter beras.

Pulu Mandoti merupakan beras varietas lokal berupa ketan wangi yang langka. Padi Pulu Mandoti tumbuh di daerah pegunungan pada ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut. Desa Salukanan dan Kendenan di Kecamatan Baraka terletak sekitar 60 kilometer dari Kota Enrekang, ibu kota Kabupaten Enrekang.

Tidak diolah seperti nasi biasa. Harus direndam terlebih dahulu. Aroma nasi mulai tercium saat direndam, dan aroma harum pandan bisa tercium saat proses memasak. Padi ini tergolong langka karena tidak bisa ditanam di luar kedua desa tersebut. “Jika ditanam di luar kedua area tersebut, aroma dan warna merahnya akan berubah,” kata Ansar, pensiunan guru.

Menurut suami Hasnawati Lodang, sudah banyak yang mencoba menanam tapi gagal. Bahkan sudah banyak yang datang untuk meneliti beras langka ini.

Pulu Mandoti sendiri telah mendapatkan sertifikat Indikasi Geografis dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang secara jelas mengakuinya sebagai kekayaan hayati asli Enrekang. Betapa kayanya masakan Indonesia. Nantikan catatan perjalanan Ekspedisi Tana Toraja selanjutnya, masih dengan wisata kuliner. (**)

Source: radarsukabumi.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button