Cegah kerusakan bangunan bersejarah sebagai tempat wisata, ini saran ahlinya - WisataHits
Yogyakarta

Cegah kerusakan bangunan bersejarah sebagai tempat wisata, ini saran ahlinya

Harianjogja.com, JOGJA—Banyaknya bangunan cagar budaya memiliki potensi pengembangan usaha di sektor yang besar. Namun, kerusakan merupakan salah satu dampak yang perlu dipikirkan pemerintah sejak awal. Topik ini dibahas dalam diskusi Sakapari 10 bertajuk Kurasi Masa Lalu, Membangun Bisnis Arsitektur secara online pada Sabtu (27/8/2022).

Pakar arsitektur Universitas Islam Indonesia Arif Wismadi mengatakan, pemerintah perlu secara jelas menempatkan bangunan cagar budaya pada jenis usaha tertentu. Antara lain, Short Head atau sejumlah kecil bangunan dengan popularitas tinggi dan bangunan Long Tail yang banyak dengan popularitas tidak signifikan. Ia mencontohkan Borobudur termasuk kategori kepala pendek karena tidak ditemukan di beberapa negara. Tentu saja karena banyaknya pengunjung di Borobudur, dampaknya adalah kerusakan.

“Implikasinya harus diperhatikan karena ini berkaitan dengan prinsip keadilan bagi generasi penerus agar dapat terus menikmati warisan ini. Kita lihat saat Borobudur dibersihkan ada 3.000 permen karet yang menempel, ini harus diperhitungkan juga di gedung-gedung lain yang terdaftar,” kata Wismadi saat dipantau Harian Jogja melalui YouTube, Minggu (28/8/2022). .

BACA JUGA: Dukung Penyampaian Axis of Philosophy, Puluhan Wanita Berjenggot dan Fashion Show Berkebaya di Malioboro

Arif mengatakan pemerintah kini telah menaikkan harga tiket Borobudur. Hanya saja harga yang relatif tinggi tidak menjamin wisatawan akan mendapatkan nilai layanan apapun selain harga tiket sebelum naik. Karena bentuk pelayanannya masih sama seperti dulu. Oleh karena itu, Arif menilai pentingnya konsep Experience Economy dengan menciptakan pengalaman yang tak terlupakan bagi pengunjung.

“Ketika ada ekonomi pengalaman, harganya naik, tetapi tidak harus merusak. Seperti misalnya di Prambanan, ketika prewedding dibayar hingga Rp 1,7 juta, itu adalah experiential economy. Mungkin kita bisa berdiskusi untuk mengaplikasikannya pada cagar budaya lain yang konsepnya hampir sama,” ujarnya.

Pakar wisata pusaka dari Universitas Malaysia Nangkula Utaberta mengatakan, sebagian besar pakar meyakini banyak masalah yang akan muncul ketika bangunan pusaka dijadikan sebagai tempat wisata. Di sisi lain, hampir semua negara mengandalkan pariwisata untuk meningkatkan pendapatan nasionalnya.

“Jadi bagaimana proses kurasi dapat diikuti secara ketat untuk warisan ini sebelum menetapkannya sebagai bangunan terdaftar? Melalui mekanisme yang berbeda, mungkin masing-masing negara akan memiliki konsep yang berbeda,” ujarnya.

BACA JUGA: GeNose C19 UGM yang sempat diragukan kini berkembang untuk mendeteksi penyakit lain

Source: jogjapolitan.harianjogja.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button