Yogyakarta

Carabikang Mbah Kalim, Permata Tersembunyi Jalan Sosrowijayan Jogja

Harianjogja.com, JOGJA— Rabu pagi itu, matahari pagi menemani Mbah Kalim. Tidak seperti biasanya, dia bangun terlambat sehingga dia hanya bisa membuat setengah dari adonan birunya yang besar.

Biasanya pada pukul 04.00 WIB pagi dia mulai menyiapkan adonan, namun karena dia bangun kesiangan maka proses persiapan dan penjualannya menjadi lebih lambat dari hari sebelumnya. Sekitar pukul 05.30 WIB, keduanya baru saja menyiapkan bahan-bahannya.

Terlambat bangun tak menyurutkan Mbah Kalim untuk terus berjualan di Jalan Sosrowijayan, Kota Jogja. Saat barang sudah siap, anak membawa panci besar berisi adonan carabikan. Daun pisang, kertas nasi, dan plastik dimasukkan ke dalam keranjang bambu, dan jangan lupa membawa karung arang seberat 10 pon untuk bahan bakar memasak carabikang.

DIDUKUNG:

Pada pembukaan IKM di Umbulharjo, Dinas Perinkopukm Jogja berharap IKM naik peringkat

Pembeli yang merupakan beberapa warga lokal datang silih berganti tapi pasti. Kuantitas yang dibeli juga bervariasi, ada yang membeli lima ekor carabikang dengan harga Rp 1.000 per buah atau dalam jumlah besar mulai dari 10 hingga 20 buah sekaligus. Saat pembeli datang, tangannya yang ringkih tak henti-hentinya menuangkan racikan tepung beras warna pink, santan matang, tambahan gula, garam, dan pewarna makanan. Jumlah pembeli Mbah Kalims Carabikang tidak sebanyak pada hari biasa seperti pada akhir pekan.

Dia meletakkan tumpukan daun pisang dan kertas nasi yang dibungkus carabikang di pahanya sambil menggunakan pisau yang berfungsi ganda sebagai spatula untuk mengangkat carabikang yang sudah matang atau memindahkannya ke wadah persegi panjang di atas daun pisang. Saat dipesan, carabikang seharga Rp 1000 per buah menebarkan aroma memanjakan di udara pagi, rasanya tak kalah nikmat, keseimbangan rasa gurih dan manis begitu santun menembus rongga mulut.

Sebelum berjualan di kawasan Malioboro Timur, di ujung Jalan Sosrowijayan dekat Grage Business Hotel Yogyakarta, Mbah Kalim berjualan di Pasar Waru selama tiga tahun.

Namun, karena lahan pasar diubah menjadi lahan hotel, Mbah Kalim harus pindah lokasi. Meski Mbah Kalim telah pindah, pelanggan Carabikang ini telah bertahan selama 40 tahun.

“Saya jual semampu saya, biar sederhana saja,” kata Mbah Kalim yang beberapa kali mengeluh ada yang memesan dari karabikangnya pada pukul setengah lima 30 pagi, padahal saat itu dia masih menyiapkan barang-barangnya di bawah satu. gubuk reyot.

Bahkan ketika dia kesal, dia menyapa kenalan acak dengan sangat ramah dan bahkan berbagi cerita dengan pelanggan lain.

Untuk menjaga kehangatan dan tekstur yang lembut, Mbah Kalim selalu memberikan carabikang yang baru dimasak kepada pelanggannya, alasan tangannya yang rapuh yang tidak pernah berhenti menuangkan adonan ke dalam bentuk bulat dengan delapan lingkaran di dalamnya.

Gerakan tangannya yang gesit tidak sesuai dengan usianya yang ke-75, juga tidak sesuai dengan ingatannya tentang keterlibatan klien, yang seringkali diabaikan untuk sesaat.

“Waktu saya masih muda, saya biasa menjual berbagai jenis gorengan, seperti pisang goreng yang terbuat dari pisang raja atau kepok, juga ketan,” kata Mbah Kalim.

Sekarang dia hanya fokus berjualan carabikang, terkadang juga menjual kerupuk mie buatan sendiri atau intip ketan.

Para pembeli dengan sabar menunggu Mbah Kalim memasak adonan carabikang sambil sesekali menunggu bara api arang terbang sambil menyalakan kompor kecilnya. Aroma carabikang yang tidak diragukan lagi sering memenuhi indera pembeli dan orang yang lewat ketika baranya terlalu panas.

Mbah Kalim akan mengangkat cetakan dan meletakkan seng tipis di atas kompor agar tidak cepat gosong. Mbah Kalim tak segan-segan memberikan tips agar carabikang tidak lengket. Dia menjelaskan bahwa penting untuk membiarkan cetakannya sampai sangat panas sebelum menuangkan adonan.

BACA JUGA: Enaknya Oyek Ikan Wader Kebumen di Warung India

Sekitar pukul delapan pembeli yang datang mulai sepi. Mbah Kalim menyesap tehnya dengan sesendok setengah gula yang dibawanya dari rumah, lalu melanjutkan memanggang sisa adonan Cararabikan yang hanya memenuhi seperempat wadah.

Sambil menunggu adonan matang, Mbah Kalim bercerita bahwa setiap pagi sebelum berjualan dia tidak sarapan tapi hanya minum susu atau tenaga dan ketika berjualan atau selesai berjualan dia sarapan di rumah. Pagi itu, Mbah Kalim menyapa Bu Nur, tetangganya yang berjualan nasi, gorengan, dan aneka minuman rasa. Kemudian dia membeli dua bungkus nasi untuk dimakan di beberapa titik.

Setelah berjualan, Mbah Kalim akan pergi sendiri ke rumahnya yang berjarak tiga sampai empat jalan di sebelah timur tempat berjualan, dia hanya akan meninggalkan barang-barangnya, karena nanti sesampainya di rumah anaknya, dia akan bergegas ke tempat berjualan. dan membersihkan semuanya.

Lihat berita dan artikel lainnya di Google Berita

Source: news.google.com

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button